Senin, 26 Agustus 2013

MENGAPA KITA HENDAKNYA TAKUT BERBUAT JAHAT?

MENGAPA KITA HENDAKNYA TAKUT BERBUAT JAHAT?

Artikel Dharma ke-34, Agustus 2013

Ivan Taniputera
26 Agustus 2013


Saya akan membuka renungan kali ini dengan meriwayatkan pengalaman saya yang sungguh-sungguh terjadi di Jerman dan beberapa kisah ilustrasi. Sewaktu kuliah di Jerman, seorang teman menceritakan bahwa asrama-asrama mahasiswa (Studentenwohnheim) di sana enggan menerima mahasiswa yang berasal dari suatu negara tertentu. Penyebabnya adalah mahasiswa yang berasal dari negara tersebut, sewaktu ke luar dari asrama begitu kuliahnya selesai akan menjual seluruh barang-barang milik asrama. Jadi saat masuk, fasilitas dan peralatan di  kamar asrama, seperti kompor, lemari es, dan lain-lain, masih tersedia lengkap; namun sewaktu mahasiswa asal negara tersebut ke luar, seluruh fasilitas dan perlengkapan di kamar sewaannya itu akan licin tandas. Itulah sebabnya, mereka enggan menerima penyewa kamar asal negara itu. Dari kasus ini, kita mendapati bahwa, meski mahasiswa yang mencuri barang-barang asrama nampaknya "hanya" melakukan tindakan pencurian, namun ia sesungguhnya telah merugikan banyak orang; yakni para mahasiswa senegaranya yang jujur dan sungguh-sungguh membutuhkan kamar. Dengan demikian, buah karma buruknya akan terus berakumulasi dari tahun ke tahun dan entah sampai kapan. Tentu dampaknya akan sangat mengerikan di masa mendatang.

Selanjutnya terdapat kisah ilustrasi, mengenai dua orang karyawan di sebuah perusahaan. Salah seorang karyawan gemar beramal dan juga merupakan sosok yang rajin serta jujur. Oleh karenanya, ia akan dipromosikan ke jabatan lebih tinggi. Karyawan yang satu memiliki rasa iri dan berupaya menjelek-jelekkan karyawan jujur tersebut. Akibatnya, sang karyawan jujur tidak jadi dipromosikan. Dalam kasus ini, karyawan jahat seolah-olah hanya melakukan perbuatan buruk pada satu orang saja. Tetapi tanpa disadarinya, buah perbuatan buruknya akan terus berkembang dan terakumulasi. Jika sang karyawan yang baik mendapatkan kenaikan gaji, ia  setiap tahunnya dapat menyantuni lebih banyak orang. Ia mungkin dapat menjadi orang tua asuh bagi semakin banyak anak yatim. Jadi, tanpa disadari, karyawan jahat itu telah melakukan perbuatan buruk pada banyak orang, dan bukan hanya satu. 

Seseorang yang mengarang cerita porno atau bertentangan dengan kesusilaan, hendaknya menyadari bahwa selama cerita karangannya itu masih beredar di muka bumi, ia akan terus mendapatkan buah karmanya.

Ilustrasi lain adalah orang yang membangun jembatan demi kepentingan banyak orang. Buah perbuatan bajiknya juga akan terus terakumulasi, selama jembatan itu masih ada.

Sutra Salistamba juga mengungkapkan bahwa salah satu sifat karma adalah laksana benih yang dapat terus berkembang menjadi semakin banyak. Anehnya banyak orang di zaman sekarang tidak lagi merasa takut pada karma buruk. Padahal jika mereka melakukan keburukan, kemungkinan tanpa disadari dampaknya akan terus bergulir laksana bola salju, tanpa dapat kita kendalikan lagi.

Setelah merenungkan artikel ini, kita memahami mengapa kita hendaknya tidak melakukan perbuatan buruk.

Minggu, 25 Agustus 2013

TAMAN BUNGA YANG INDAH

TAMAN BUNGA YANG INDAH

Artikel Dharma ke-33

Ivan Taniputera
25 Agustus 2013





Kali ini kita akan merenungkan sebuah taman yang indah. Taman itu justru terdiri dari beraneka ragam komponen yang berbeda satu sama lain. Namun jika semua itu dipadukan akan nampak keindahannya. Masing-masing komponen itu saling hidup harmonis dan tidak pula saling menyerang atau menghancurkan. Setiap komponen mempertahankan karakteristiknya masing-masing tetapi tidak pula berupaya meniadakan karakteristik komponen lainnya. Demikian pula, Agama Buddha terdiri dari beraneka ragam aliran. Justru adanya beraneka ragam aliran ini akan menciptakan kesemarakan bagi Agama Buddha.

Masing-masing aliran hendaknya tidak menjelekkan satu sama lain. Apabila masing-masing aliran saling menjelekkan, justru akan mencoreng Agama Buddha secara keseluruhan. Setiap aliran hendaknya tidak saling mengunggulkan alirannya masing-masing. Mengunggulkan aliran yang kita anut memperlihatkan semangat ke"aku"an dan "milikku" yang kuat, dimana tentu saja ini bukanlah yang diajarkan Hyang Buddha. Lebih jauh lagi, apakah gunanya kalau aliran  atau agama kita memang benar-benar "unggul"? Apakah dengan ke"unggul"an tersebut akan membawa kita makin dekat pada pembebasan spiritual? Apakah dengan berhasil membuktikan ke"unggul"an aliran kita dibandingkan dengan aliran-aliran lain membuat kita merealisasi buah spiritual paling pamungkas? Marilah kita renungkan hal tersebut. Ternyata "unggul" dan tidaknya sebuah aliran, tidaklah membawa kita makin dekat pada pembebasan batiniah. Bahkan jika masih ada dualisme "unggul" dan "tidak unggul" itu artinya kita masih bergerak pada ranah kebenaran duniawi (samvrti satya). Demikian pula ranah "sesat" dan "tidak sesat" juga masih merupakan ranah kebenaran duniawi.

Oleh karenanya, jika ada umat Buddha yang masih menyesat-nyesatkan aliran lain, maka itu pertanda bahwa ia belum memahami kebenaran pamungkas (paramartha satya). Begitu pula jika ada yang mengatakan "aliranku adalah bentuk Agama Buddha paling mutakhir dan aliran lain sudah ketinggalan zaman," maka ia tidak memahami kebenaran pamungkas. Dalam ranah kebenaran pamungkas tidak ada lagi dualisme "mutakhir" dan "ketinggalan zaman." Ada lagi umat Buddha yang merasa jijik dengan aliran lain yang dianggapnya "sesat." Inipun juga tidak mencerminkan hakikat kebenaran pamungkas. Kita hendaknya dapat menyerap hakikat sejati segala sesuatu.

Selain itu, masih ada lagi hal lebih penting ketimbang berdebat masalah "unggul" dan "tidak unggul" atau "sesat" dan "tidak sesat." Dunia ini dipenuhi oleh berbagai permasalahan. Kemiskinan, peperangan, masalah sumber daya alam, dan lain sebagainya. Dunia sudah dipenuhi oleh kebencian. Jika kita masih berkutat antara "unggul" dan "tidak unggul" maka itu justru akan menambah kebencian di muka bumi ini. Lebih baik, setiap aliran saling bekerja sama dan menaburkan sumbangsih masing-masing. Bahkan umat Buddha juga hendaknya sanggup membina kerja sama dengan agama lainnya. Barulah dengan demikian, bunga dan tumbuhan dalam sebuah taman akan memancarkan keindahannya yang menyejukkan.

Rabu, 21 Agustus 2013

AKHIRNYA KEMATIANLAH YANG AKAN MENJADI PENGUASAMU

AKHIRNYA KEMATIANLAH YANG AKAN MENJADI PENGUASAMU

Artikel Dharma ke-32, Agustus 2013

Ivan Taniputera
21 Agustus 2013




Wahai kalian yang bantai membantai
Hanya demi seuntai ideologi
Wahai kalian yang bunuh membunuh
Hanya demi rebutkan sejengkal tanah
Wahai kalian yang saling mencabut nyawa
Hanya demi keyakinan yang dibela
Wahai kalian yang saling menghilangkan kehidupan
Hanya demi membela sebongkah kesombongan
Wahai kalian yang saling menumpahkan darah dengan tatapan nanar
Demi buktikan diri yang paling benar
Wahai kalian yang saling meremukkan asa
Demi menjadi penguasa
Sadarilah bahwa Raja Kematianlah yang kelak akan menjadi penguasa kalian
Kalianlah yang kelak akan menjadi budak Raja Kematian.
Setiap kali ayunan pedang, setiap kali letupan peluru,
Sang Kematian telah menanti kalian di ujung sana
Membawa kalian pada alam kekelaman
Damailah Duniaku
Inilah sebait doa demi perdamaian di muka bumi
Semoga jangan ada lagi benci
Cinta kasih dan perdamaian akan bersemai senantiasa.

Sajak di atas saya tulis karena keprihatinan terhadap pertumpahan darah, kekerasan, dan kekejian terhadap kemanusiaan yang belakangan ini marak di mana-mana. Jelas sekali bahwa umat manusia sedang sakit. Marilah kita melimpahkan pahala kebajikan agar negeri-negeri yang sedang dilanda anarki dan gelombang kekerasan dapat menjadi damai kembali.

Orang saling bertengkar dan mengagungkan agama maupun sektenya sebagai yang paling benar. Tetapi marilah kita renungkan, kalau sudah berhasil membuktikan agama atau sektenya sebagai yang paling benar, lalu apa? Orang saling berperang demi sebuah ideologi. Tetapi apakah semua itu sepadan dengan nyawa-nyawa yang hilang? Nyawa yang hilang tidak dapat kembali lagi.

Marilah kita hidup tanpa saling mencela. Marilah kita hidup tanpa saling menghina satu sama lain.

Semoga bermanfaat.

Selasa, 20 Agustus 2013

PIKIRAN KOKOH BAGAI BERLIAN

PIKIRAN KOKOH BAGAI BERLIAN

Artikel Dharma ke-31, Agustus 2013

Ivan Taniputera
20 Agustus 2013




Renungan kali ini diambil dari Sutra Mahavairocana:

"Hyang Buddha berkata: "Pikiran Pencerahan (bodhicitta) adalah musababnya, belas kasih agung (mahakaruna) adalah akarnya, metoda jitu (upaya) dalam pembebasan adalah yang pamungkas. Wahai penguasa segenap rahasia, apakah Pencerahan (bodhi)? Ia adalah mengenal pikiran sebagaimana adanya. Wahai penguasa segenap rahasia, bagian terkecil sekalipun dari Pencerahan nan unggul dan sejati (anuttara samyak sambodhi) tidaklah dapat dicapai melalui pikiran kecendekiaan (intelektual). Mengapa demikian halnya? Karena bodhi itu tiada berwujud, wahai penguasa segenap rahasia, dharma-dharma itu tiada berwujud. Bodhi memiliki wujud laksana angkasa."

Kutipan di atas secara gamblang menjelaskan mengenai berbagai aspek menuju Pencerahan Sempurna. Pertama-tama, seorang hendaknya membangkitkan Pikiran Pencerahan atau bodhicitta, yakni aspirasi merealisasi Pencerahan. Selanjutnya menapaki jalan menuju Pencerahan dengan berlandaskan belas kasih agung. Para bodhisattva kemudian menerapkan berbagai metoda jitu guna merealisasi pembebasan. Metoda jitu inilah yang disebut upaya. Dalam Buddhisme Zen, seorang guru akan menggunakan metoda unik guna mencerahi siswanya. Ada seorang siswa yang merealisasi pencerahan setelah melihat gurunya memadamkan obor.

Sutra di atas kembali menekankan bahwa pengenalan pikiran sebagaimana adanya adalah pencerahan. Mengenali sebagaimana adanya bukan berarti kita ingin mengubah pikiran kita menjadi ini dan itu. Sesungguhnya pikiran itu tidak dapat dimanipulasi. Semakin seseorang berupaya memanipulasi pikiran, makin besar pula keputus-asaan yang dialaminya. Dengan menerima pikiran sebagaimana adanya, pikiran akan menjadi tenang dengan sendirinya. Yang penting adalah kita senantiasa sadar dan mengamatinya.

Pencerahan nan unggul tidak dapat pula direalisasi melalui kegiatan intelektual, karena kegiatan intelektual masih beroperasi dalam berbagai "wujud" dan "karakteristik." Dengan kata lain, kegiatan intelektual masih dibangun atas berbagai definisi, simbol, dan kata-kata. Itulah sebabnya, pada kutipan di atas disebutkan bahwa Pencerahan itu "tiada berwujud." Artinya Pencerahan tidak dapat diwakili oleh simbol-simbol atau kata-kata.

Tetapi bukan berarti kegiatan intelektual tidak penting. Mengatakan bahwa kegiatan intelektual tidak penting adalah juga pandangan ekstrim. Padahal Pencerahan adalah pembebasan dari segenap pandangan ekstrim.

Semoga bermanfaat.

BACAAN LEBIH LANJUT:

Yamamoto, Chikyo. Mahavairocana Sutra, International Academy of Indian Culture and Aditya Prakashan, New Delhi, 2001.

Senin, 19 Agustus 2013

UDANG LAHIR BUNGKUK BUKAN KARENA SUDAH TUA, TIKUS LAHIR BERKUMIS BUKAN KARENA SUDAH TUA

UDANG LAHIR BUNGKUK BUKAN KARENA SUDAH TUA, TIKUS LAHIR BERKUMIS BUKAN KARENA SUDAH TUA

Artikel Dharma ke-30, Agustus 2013

Ivan Taniputera
19 Agustus 2013



Artikel kali ini mengajak Anda jangan mudah tertipu oleh tampilan lahiriah. Suatu kali seseorang berpenampilan rapi memasuki sebuah toko. Ia mengenakan dasi dan kemeja bermerk. Parfum mahal tercium menyengat. Ternyata pria tersebut adalah penipu yang sedang mencari kelengahan pemilik toko. Ada lagi kisah mengenai seorang gadis yang tertipu oleh kekasihnya. Kekasihnya itu sering datang dengan berganti-ganti mobil, sehingga disangkanya orang kaya. Ternyata semua mobil itu adalah pinjaman. Demikianlah, umat manusia sering tertipu oleh tampilan lahiriah.

Begitu pula banyak orang yang dari luarnya tampak bijaksana dan mengenakan berbagai atribut keagamaan, namun mereka sesungguhnya adalah para penipu belaka. Mereka justru laksana orang buta membimbing orang buta. Yang patut dikasihani, orang-orang semacam ini kerap berhasil menjaring banyak pengikut. Tidak sedikit pula, para penipu tersebut mengobarkan kebencian dan fanatisme sempit yang membuta. Mereka justru mendatangkan celaka dan kemalangan di muka bumi. Oleh karenanya, kita jangan tertipu oleh tampilan lahiriah seseorang. Kita harus memiliki kemampuan menembus hakikat di balik suatu tampilan lahiriah. Kita hendaknya tidak melekat pada suatu tampilan lahiriah.

Bahkan Hyang Buddha dalam Sutra Vajracchedika (Sutra Intan) mengajarkan agar kita jangan mencari hakikat Kebuddhaan pada suatu tampilan fisik. Tampilan fisik tidak menampilkan hakikat kebenaran sejati.

Jebakan lain yang harus kita waspadai adalah tampilan berbagai kesenangan duniawi. Semuanya itu nampak menyenangkan, menggiurkan, dan menjanjikan, namun bila direnungkan secara mendalam, hakikatnya pun adalah semata-mata tipuan. Jeratan tipuan inilah yang menjerumuskan manusia ke alam-alam rendah, sehingga merupakan jebakan sangat mengerikan. Namun anehnya, orang justru tidak takut padanya dan malah semakin bernafsu mengejarnya. Ujung-ujungnya adalah penderitaan yang semakin dalam.

Marilah kita hening sejenak dan menanyakan pada diri sendiri, apakah kita masih tertipu?

Semoga bermanfaat.

MENENANGKAN PIKIRAN

MENENANGKAN PIKIRAN

Artikel Dharma ke-29, Agustus 2013

Ivan Taniputera
19 Agustus 2013




Banyak orang mengeluh kesulitan dalam menenangkan pikirannya baik pada saat bermeditasi ataupun bersadhana. Meskipun demikian, pikiran itu dapat diumpamakan dengan segelas air yang keruh oleh pasir. Semakin seseorang berupaya dengan keras menenangkan pikirannya, semakin pula pikiran itu bergolak. Ibaratnya adalah semakin kuat kita mengaduk air keruh pada gelas tersebut, akan semakin bergolak pula pasirnya, sehingga air tak kunjung menjadi jernih. Namun apabila kita membiarkannya begitu saja, pasir secara perlahan akan mengendap. Air akan menjadi jernih dengan sendirinya.

Oleh karenanya, agar pikiran tenang kita juga perlu mengembangkan kepasrahan. Tatkala pikiran Anda bergolak amati saja dengan penuh kerelaan. Terimalah pikiran Anda sebagaimana adanya. Amatilah rangkaian timbul dan tenggelamnya beraneka ragam buah pemikiran, namun jangan terseret olehnya. Dengan demikian, pikiran Anda akan menjadi tenang dengan sendirinya.

Semoga bermanfaat.

Sabtu, 17 Agustus 2013

MONSTER

MONSTER

Artikel Dharma ke-28, Agustus 2013

Ivan Taniputera
17 Agustus 2013



Jika membaca kitab Bardo Thodol, pustaka Tibet yang membahas mengenai pengalaman proses kematian, kita mendapati bahwa selama menjalani rangkaian proses kematian, seseorang akan menyaksikan berbagai makhluk yang nampak mengerikan. Barangkali perjalanan spiritual kita dalam mengenal sang diri juga akan menjadi proses mengerikan pula. Dalam perjalanan tersebut kita barangkali akan menjumpai banyak "monster" atau "makhluk-makhluk mengerikan." Semua itu tak lain dan tak bukan melambangkan penyangkalan-penyangkalan diri, sifat-sifat buruk, kenangan-kenangan tak menyenangkan, trauma, beserta segenap hal-hal negatif dalam diri kita.

Banyak orang memiliki sifat-sifat dan pikiran buruk yang ingin mereka sembunyikan. Sebagai contoh, seorang tokoh panutan masyarakat yang berupaya menyembunyikan pikiran-pikiran beserta tabiat buruk agar reputasi mereka di hadapan masyarakat tidak rusak. Semua ini akan direpresi sedemikian rupa, agar tak tampil ke permukaan. Manusia juga memiliki berbagai penyesalan yang tersimpan dalam relung batinnya. Trauma-trauma masa kecil barangkali masih menimbulkan jejak luka mendalam dalam alam kesadaran seseorang. Belum lagi segenap kenangan-kenangan sedih dan mengerikan dalam batin seseorang.

Apabila kita berupaya dengan sungguh-sungguh mengenal hakikat sang "aku," maka tak pelak lagi Anda akan berhadapan dengan semua "monster" atau "makhluk-makhluk mengerikan" tersebut. Meskipun demikian, lari atau bersembunyi dari mereka juga tak menyelesaikan masalah. Banyak orang berupaya melarikan diri dari seluruh "monster" ataupun "makhluk-makhluk mengerikan" tersebut. Mereka lalu mengembangkan mekanisme penyangkalan diri. Meskipun demikian, inipun adalah juga dukkha.

Ajaran Hyang Buddha tidak mengajarkan kita agar lari atau bersembunyi dari segenap "monster" atau "makhluk mengerikan." Kita hendaknya dengan penuh kejujuran dan kerelaan menghadapinya. Tidak perlu kita merasa malu bila kita masih memiliki kepribadian-kepribadian buruk, trauma, kesedihan, dan lain sebagainya. Yang penting kita harus jujur. Saya dengan jujur mengatakan bahwa saya masih memiliki amarah, kebencian, iri hati, dan sifat-sifat buruk lainnya. Kita harus mengakuinya dengan jujur. Barulah dengan demikian, kita dapat mengembangkan jiwa atau kepribadian yang sehat.

Hyang Buddha juga tak mengajarkan agar kita merepresi segenap keburukan dalam diri kita. Sesuatu yang direpresi pada dasarnya akan tetap ada, hanya saja berada dalam keadaan laten. Namun jika kita menyadarinya, maka segenap keburukan-keburukan tersebut akan sanggup ditransformasikan menjadi hakikat mulia. Hanya menyadari, itulah jalan menuju pengenalan terhadap sang "aku."

Semoga bermanfaat.

KEBENCIAN

KEBENCIAN

Artikel Dharma ke-27, Agustus 2013

Ivan Taniputera
17 Agustus 2013



Renungan kali ini diambil dari Kitab Udana:

"Siapa yang menyakiti makhluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan,
walaupun dia sendiri mencari kebahagiaan,
dia tidak mendapatkannya sesudah kematian.
Siapa yang tidak melukai makhluk hidup dengan tongkat  untuk memperoleh kebahagiaan,
sementara dia sendiri mencari kebahagiaan,
dia mendapatkannya sesudah kematian."

[kutipan di atas diambil dari "Kitab Suci Udana" yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dra. Lanny Anggawati dan Dra. Wena Cintiawati, penyunting: Bhikkhu Jotidhammo, terbitan Vidyasena, Yogyakarta, 1995, halaman 24]

Kita menyaksikan bahwa dewasa ini kekejaman. kebencian, dan sikap intoleransi makin marak di muka bumi ini. Dunia menjadi semakin berdarah-darah. Manusia melukai dan membunuh sesamanya karena kemelekatan yang sempit terhadap suatu paham. Dunia nampaknya memerlukan lebih banyak cinta kasih dan semangat toleransi. Hanya demi fanatisme membuta terhadap suatu paham  umat manusia tidak segan-segan menyakiti orang-orang tak sepaham dengannya.

Berdasarkan kutipan di atas, jelas sekali orang yang menaburkan kebencian, tidak akan mendapatkan kebahagiaan sesudah kematian. Mereka sebenarnya juga orang-orang yang patut dikasihani.

Mungkin barangkali kita tidak sanggup atau tidak berani melakukan apa-apa demi mengatasi semua pertumpahan darah tersebut. Namun kita dapat mencurahkan doa kita demi perdamaian dunia. Semoga cinta kasih dapat bersemi di tengah-tengah mereka yang saling membenci tersebut.

Semoga duniaku mengalami kedamaian selamanya.

MERDEKA

MERDEKA

Artikel Dharma ke-26, Agustus 2013

Ivan Taniputera
17 Agustus 2013



Hari ini negara kita merayakan hari Proklamasi Kemerdekaan yang ke-68. Oleh karenanya artikel Dharma ke-26 ini akan didedikasikan guna merenungkan mengenai kemerdekaan. Apakah kita sudah merdeka? Guna menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menanyakan lebih jauh merdeka dari apa? Jika mencermati berita-berita dalam surat kabar belakangan ini, kita merasakan kengerian terhadap beragam tindak kejahatan yang tak segan-segan lagi melukai atau bahkan membunuh korbannya. Kita mendapati berita mengenai tragedi kemanusiaan yang berkecamuk di berbagai belahan dunia, seolah-olah nyawa manusia telah menjadi sedemikian tak berharganya.

Kita menyadari betapa rapuhnya kehidupan ini. Mungkin dalam batin kita timbul pula rasa takut, terutama oleh maraknya aksi kejahatan dewasa ini. Oleh karenanya, kita segera menyadari bahwa kita belum bebas dari rasa takut.  Kita juga masih belum bebas dari ketidak-bahagiaan. Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini tidak ada yang benar-benar memuaskan. Demikianlah banyak hal-hal lain yang masih membelenggu kita, sehingga batin kita tidak merasakan kebebasan sejati. Inilah yang disebut dukkha dalam Agama Buddha.

Jika merenungkan lebih jauh, segenap kejahatan itu berakar dari tiga hal, yakni keserakahan, kebencian, dan pandangan salah. Ketiga hal ini, selaku akar kejahatan merupakah musabab ketidak-bahagiaan umat manusia. Dengan demikian, akar musabab "keterjajahan" umat manusia adalah tiga akar kejahatan ini. Guna mengatasinya, kita harus menerapkan penawar bagi ketiga-akar kejahatan tersebut. Bagaimana caranya? Jawabnya sangat sederhana:

1. Guna menawarkan keserakahan, terapkanlah ketidak-serakahan.
2. Guna menawarkan kebencian, terapkanlah ketidak-bencian.
3. Guna menawarkan pandangan salah, carilah kebijaksanaan.

Solusi ini memang terdengar sederhana, sehingga banyak orang meremehkannya, "Ah, kalau itu saja saya juga tahu." Meskipun demikian, dapatkah Anda melaksanakannya? Terkadang teramat sulit bagi kita menyirnakan ketiga akar kejahatan tersebut. Sebagai contoh terdapat kasus seseorang yang begitu gila belanja (shopaholic), sehingga harus mengunjungi psikiater atau ahli ilmu kejiwaan. Keserakahannya tersebut telah menjadi demikian akut, sehingga harus meminta pertolongan pakar demi menyembuhkannya.

Banyak orang yang dilanda kebencian karena fanatisme terhadap suatu keyakinan atau ideologi, sehingga terdorong menghabisi nyawa orang-orang yang tak sepaham dengannya. Pola pemikiran penuh kebencian yang dilandasi fanatisme membuta seperti ini, juga sangat sulit disirnakan. Belum lagi beragam pandangan salah yang bercokol dalam benak umat manusia, sehingga merugikan sesama manusia dan mengancam kelangsungan planet Bumi ini.

Demi mengatasi pandangan salah, kita harus terus menerus belajar, janganlah melekat atau merasa puas dengan seluruh paham atau pengetahuan yang telah kita miliki. Melekat pada sebuah paham atau pemikiran pada akhirnya akan membuahkan fanatisme membuta. Kita hendaknya terus terbuka pada hal-hal dan pengetahuan baru, tanpa harus terpengaruh atau melekat padanya.

Marilah kita terus-menerus memerdekakan diri kita dari keserakahan, kebencian, dan pandangan salah. Marilah kita mulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu.

Semoga bermanfaat. SALAM MERDEKA!

Kamis, 15 Agustus 2013

SEKELUMIT SEJARAH AGAMA BUDDHA DI JERMAN

SEKELUMIT SEJARAH AGAMA BUDDHA DI JERMAN

Artikel Dharma ke-25, Agustus 2013

Ivan Taniputera
15 Agustus 2013




Saya mengenal Agama Buddha semasa kuliah di Jerman. Kebetulan vihara pertama yang saya kunjungi di Berlin adalah Buddhistisches Haus yang terletak di kawasan Frohnau, sebelah utara Berlin. Artikel Dharma ke-25 ini saya dedikasikan bagi Dr. Paul Dahlke (1865-1928), yang merupakan pendiri Buddhistisches Haus. Beliau merupakan salah seorang perintis bagi perkembangan Agama Buddha di Jerman. Dr. Paul Dahlke dilahirkan pada tanggal 25 Januari 1865 di Osterode, Prusia Timur. Kini kawasan ini tidak lagi menjadi wilayah Jerman, karena Prusia Timur diserahkan pada Polandia sebagai akibat kekalahan Jerman pada Perang Dunia II.

Semasa kecil, Dr. Paul Dahlke banyak merasakan pahit getirnya kehidupan. Ayahnya adalah seorang pegawai sipil dengan gaji kecil yang harus menghidupi banyak anaknya. Meskipun demikian, Beliau dapat menyelesaikan pendidikannya sebagai dokter. Beliau lantas mengambil spesialis homeopati. Kemampuan Beliau dalam menyembuhkan pasiennya menjadi tersohor, sehingga reputasi Beliau dikenal di mana-mana.

Kendati demikian, Dr. Dahlke masih merasa kurang puas terhadap hakikat kehidupan ini, dan ingin mengenal lebih jauh "hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya." Pencarian spiritual ini membawa Beliau ke Srilanka pada tahun 1900, yakni berjumpa dengan Y.A. Bhikkhu Sri Sumangala Thera dari Vihara Maligakanda. Inilah perjumpaan pertama Dr.  Dahlke dengan Agama Buddha. Setelah itu, Beliau kerap mengadakan perjalanan dari Jerman ke India.
Dr Dahlke memimpikan berdirinya sebuah pusat pengajaran Agama Buddha di Berlin. Akhirnya ia berkesempatan membeli sebidang tanah berhutan di kawasan Frohnau. Kendati demikian, Jerman mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I, yang diikuti oleh inflasi besar-besaran. Itulah sebabnya, pembangunan Buddhistisches Haus menjadi terhambat. Dr. Dahlke bekerja keras mengumpulkan uang melalui praktiknya demi terselesaikannya bangunan tersebut.

Pada tahun 1924, bangunannya sebagian besar sudah selesai, sehingga dapat dipergunakan. Kerja keras tersebut menguras kesehatan Dr. Dahlke, sehingga Beliau wafat pada tahun 1928. Namun perjuangan keras Dr. Dahlke ini dapat dirasakan hingga sekarang.

Waktu pertama kali mengunjungi tempat ini, saya merasakan bahwa tempatnya sungguh indah. Terdapat anak tangga dari pintu gerbang bergaya Maurya-nya menuju ke bangunan utama, sehingga menyerupai biara Shaolin yang saya tonton di film-film. Buddhistisches Haus yang ada di Frohnau ini setiap hari Minggu secara rutin mengadakan ceramah Agama Buddha. Selain itu, terdapat pula perpustakaan dan tempat meditasi yang tenang. Lingkungan sekitarnya yang berpanorama indah sangat mendukung sekali dalam pencarian ketenangan beserta makna hidup.

Demikianlah, semoga kita dapat meneladani kegigihan Dr. Paul Dahlke.

Semoga bermanfaat.

KISAH MENGHARUKAN MENGENAI BALAS BUDI

KISAH MENGHARUKAN MENGENAI BALAS BUDI

Artikel Dharma ke-24, Agustus 2013

Ivan Taniputera
13 Agustus 2013




Ini juga merupakan peristiwa nyata yang saya alami sendiri. Saya baru saja mengunjungi sebuah toko guna membeli barang-barang keperluan sehari-hari. Ternyata toko tersebut tidak menyediakan barang yang saya butuhkan. Oleh karenanya, saya lantas berpindah ke toko yang berada di seberangnya. Kebetulan di toko pertama tadi terdapat seorang tukang parkir. Nampak bahwa ia menderita keterbelakangan mental atau Down Syndrome. Saya lantas memindahkan mobil saya ke seberang dan memberikan uang ke tukang parkir tersebut. Toko yang berada di seberang jalan merupakan toko berhalaman luas, sehingga tidak memerlukan tukang parkir.

Setelah menyelesaikan acara berbelanja, saya memasuki mobil saya, dan siap memundurkan mobil saya. Ternyata waktu itu jalanan ramai, sehingga saya agak kesulitan mengeluarkan mobil saya. Tanpa dinyana-nyana, tukang parkir yang ada di seberang jalan itu berlari membantu saya mengatur lalu lintas di depan toko, sehingga akhirnya saya dapat mengeluarkan mobil saya.

Barangkali ini merupakan sebuah kisah kecil yang tak berarti. Barangkali para pembaca akan menganggap ini hanya sebuah kisah yang terlalu sederhana dan tak bermakna apa-apa. Namun dari tukang parkir tersebut saya belajar banyak hal, yakni mengenai balas budi. Karena saya sudah membayarnya dan saya saat itu sudah berada di "luar daerah kerjanya," maka bisa saja dia tak peduli. Tetapi ia justru berlari membantu saya. Ia bisa saja tidak peduli, namun ia memilih peduli.

Seseorang yang memiliki keterbelakangan mental bisa mengetahui prinsip balas budi, sedangkan orang-orang yang "normal" kerapkali melupakan prinsip balas budi. Jika demikian halnya, siapakah yang lebih terbelakang? Marilah kita tanyakan pada diri sendiri. Saya bersyukur bahwa saya tidak dilahirkan dengan keterbelakangan mental. Dengan bersyukur saya mengerti indahnya kehidupan. Dengan mengerti indahnya kehidupan saya mengerti apa arti kasih.

Dharma yang bermanfaat tidak perlu terlalu melambung tinggi, melainkan ada di hadapan dan sekitar kita.

Semoga dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua.

KALAMA SUTTA DAN BAHAYANYA PENALARAN LOGIS

KALAMA SUTTA DAN BAHAYANYA PENALARAN LOGIS

Artikel Dharma ke-23, Agustus 2013

Ivan Taniputera
13 Agustus 2013




Untuk menjawab pertanyaan ini, silakan lihat gambar di atas. Seorang pemburu menembakkan senapannya secara horizontal dengan ketinggian h dari tanah. Pada saat bersamaan dengan meluncurnya peluru dari senapan, seekor kera melepaskan pegangannya dari dahan pohon yang juga sama-sama berketinggian h dari tanah. Apabila pengaruh hambatan udara diabaikan, manakah yang akan mencapai tanah terlebih dahulu, kera atau peluru?

Ada orang menjawab kera karena jarak lintasan yang ditempuhnya ke tanah lebih pendek. Ada yang menjawab peluru, karena berasumsi bahwa peluru lebih cepat gerakannya.

Namun semuanya adalah jawaban yang keliru. "Logika" tanpa memahami hukum-hukum yang melandasi bekerjanya segala sesuatu berpeluang membawa kita pada kesalahan.

Keduanya akan tiba di tanah pada saat bersamaan. Bagaimana bisa demikian, kita akan menyusun persamaan geraknya masing-masing.

Peluru akan bergerak membentuk parabola, sehingga kita harus menguraikan gerakannya menjadi sumbu x dan y.
Agar mudah sumbu x adalah sumbu horizontal yang mengarah ke kanan. Sumbu y adalah sumbu vertikal yang mengarah ke bawah.

Persamaan geraknya adalah:

Sumbu y - komponen vertikal:

ay (t) = g = konstan
vy (t) = g.t
y (t) = 1/2 gt2

Sumbu x - komponen horizontal:

ax (t) = a
vx (t) = vo + at
x (t) = vo.t + 1/2.a.t2

Peluru akan mencapai tanah bila y(t) = h

Maka h = 1/2.g.t2. Jadi peluru akan mencapai tanah setelah t = akar (2.g.h). Perhatikan bahwa kecepatan peluru mencapai tanah tidak ditentukan oleh massanya. Massanya besar atau kecil jika dijatuhkan dari ketinggian (h) yang sama, akan sama-sama tiba di tanah dalam waktu t = akar (2.g.h). Jadi massa yang lebih besar tidak jatuh lebih cepat ketimbang yang massanya lebih kecil. Berapapun kecepatan horizontal peluru, tidak ada pengaruhnya pada komponen vertikal, termasuk ketinggian.

Kita beralih pada kera. Kera hanya memiliki komponen gerak pada sumbu y, sehingga persamaan geraknya sama dengan persamaan gerak sumbu y pada peluru:


ay (t) = g = konstan
vy (t) = g.t
y (t) = 1/2 gt2

Begitu pula kera akan mencapai tanah jika y(t) = h. Jadi hasilnya adalah sama-sama t = akar (2.g.h). Artinya baik kera maupun peluru akan tiba pada saat bersamaan.

Pertanyaan di atas sekali lagi membuktikan bahwa penalaran logis yang dilakukan oleh pikiran kita tidaklah selamanya dapat diandalkan. Pikiran kita masih terselubungi oleh banyak kilesha, sehingga bukanlah wahana yang selalu dapat diandalkan. Meskipun merasa telah memberikan jawaban "logis" namun pada kenyataannya jawaban-jawaban tersebut bisa salah. Oleh karenanya, janganlah mengandalkan atau melekat pada logika.

Hyang Buddha sendiri dalam Kalama Sutta menyatakan sebagai berikut:

“Wahai suku Kalama,
Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah memikirkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, Petapa itu adalah guru kami’.
Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini jika dilaksanakan dan dipraktekkan, akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan', maka kalian harus menjalankannya.
Sumber kutipan Kalama Sutta:
- Kitab Petikan Anguttara Nikaya jilid 1: “Kepada Suku Kalama”, Anguttara Nikaya III, 65). Dipilih dan diterjemahkan dari bahasa Pali oleh : Nyanaponika dan Bhikkhu Bodhi. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh : Dra.Wena Cintiawati dan Dra. Lanny Anggawati. Editor : Bhikkhu jotidhammo Thera, M.Hum. dan Rudy Ananda Limiadi, S.Si, M.M.

Oleh karenanya, jelas sekali Hyang Buddha menyarankan agar kita jangan melekat pada penalaran logis kita. Hyang Buddha mengajarkan agar kita selalu mengembangkan kebijaksanaan dan jangan melekat pada penalaran kita sendiri.

Orang mungkin bertanya, "Apakah dengan demikian kita tak perlu menggunakan logika kita?" Ini adalah juga pandangan yang keliru. Manusia yang hidup di ranah dualistik biasa hanya berayun dari satu pandangan ekstrim ke pandangan ekstrim lainnya. Tidak menggunakan logika sama sekali adalah juga sisi lain dari pandangan ekstrim, dan Agama Buddha bukanlah pandangan ekstrim, melainkan mengajarkan Jalan Tengah.

Manusia boleh saja berpegang pada logika, namun harus terus menerus belajar dan mengasah kebijaksanaannya. Sains sebenarnya juga berpegang pada prinsip ini. Sains akan terus menerus melakukan riset berkesinambungan, dan bila ada hasil penelitian baru yang membuktikan bahwa konsep sebelumnya adalah salah, maka sains akan memperbaharui dirinya. Kendati demikian, banyak orang yang meskipun menyadari bahwa pandangannya keliru, tetap berpegang teguh pada kesalahannya tersebut. Apakah kita merupakan orang-orang seperti itu?

Semoga bermanfaat.

Minggu, 11 Agustus 2013

BAHAYANYA TERLALU MENGANDALKAN LOGIKA DAN PEMIKIRAN DIRI SENDIRI

BAHAYANYA TERLALU MENGANDALKAN LOGIKA DAN PEMIKIRAN DIRI SENDIRI

Artikel Dharma ke-22, Agustus 2013

Ivan Taniputera
11 Agustus 2013



Saya sering mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

Jika kita menjatuhkan sebongkah batu besar dan kerikil dari ketinggian sama serta pada saat bersamaan, manakah di antara keduanya yang akan tiba terlebih dahulu di tanah, dengan catatan bahwa hambatan udara diabaikan? Banyak orang akan langsung menjawab, "Batu besar!" Logika mereka adalah sesuatu yang lebih berat, pasti akan lebih cepat gerakannya, sehingga tiba di tanah terlebih dahulu. Namun logika semacam ini, walau terdengar "masuk akal" bagi sebagian orang adalah salah besar. Batu besar dan kerikil akan tiba pada saat bersamaan di tanah, karena kecepatan jatuhnya benda tidaklah bergantung pada massa atau beratnya.

Pertanyaan berikutnya adalah jika kita mengelindingkan silinder logam dan silinder kayu berdimensi sama di sebuah bidang miring secara bersamaan serta dari ketinggian sama, manakah yang akan tiba lebih dahulu di bawah bidang miring? Di sini kita menganggap bahwa tidak terjadi selip atau menggelincir. Banyak orang menjawab silinder logam akan tiba terlebih dahulu di bawah bidang miring. Alasannya karena silinder logam lebih berat. Ini juga pemikiran keliru. Kedua silinder akan tiba pada saat bersamaan.

Ini memperlihatkan betapa berbahayanya berpegang pada logika kita sendiri. Logika saja terbukti tak memadai dalam menjawab segala hal. Buktinya banyak orang memberikan jawaban keliru. Kita juga memerlukan pemahaman terhadap prinsip di balik bekerjanya segala sesuatu. Dalam kasus benda jatuh dan silinder pada bidang miring tadi, kita memerlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsip fisika.

Semasa Abad Pertengahan, orang menganggap bahwa matahari yang mengelilingi bumi. Alasannya, matahari memang nampak bergerak di langit. Namun pada kenyataannya pandangan inipun keliru. Bahkan orang yang menyatakan kebenaran ilmiah justru mendapatkan hukuman atau kecaman dari lembaga keagamaan tertentu.

Fakta sejarah tersebut kembali membuktikan bahwa terlalu melekat atau berpegang pada apa yang kita anggap benar adalah sangat berbahaya. Kita perlu memiliki wawasan mendasar di balik bekerjanya segala sesuatu. Inilah yang disebut wawasan kebijaksanaan. Wawasan kebijaksanaan sejati disebut panna dalam Agama Buddha. 

Banyak orang merasa sudah memiliki panna dan berdebat dengan sengit. Mereka dengan penuh semangat menyerang lawan debatnya, bahkan jauh lebih bersemangat ketimbang pasukan dalam Perang Dunia II yang paling bersemangat. Karena merasa diri paling benar, lantas menyerang habis-habisan lawan berdebatnya. Padahal kita telah membuktikan bahwa apa yang kita rasa sangat benar dan sesuai logika kita, belum tentu benar. Melekat pada suatu pandangan adalah sangat berbahaya. Itulah sebabnya, Hyang Buddha mengajarkan agar kita tidak melekat pada pandangan apapun. Barulah dengan demikian, kita menjadi orang yang bebas.

Semoga bermanfaat.

JUBAH SANG SRAMANA

JUBAH SANG SRAMANA

Artikel Dharma ke-21, Agustus 2013

Ivan Taniputera
11 Agustus 2013




Gagasan menulis Artikel ini timbul sewaktu saya mengingat bahwa beberapa waktu yang lalu terdapat rohaniwan-rohaniwan Buddhis palsu yang melakukan tindak kriminal. Meskipun mengenakan jubah, tindakan dan pikiran mereka jauh dari Buddhadharma. Renungan kali ini diambil dari Sutra Ratnakuta (大寶積經, Dabaojijing, Taisho Tripitaka 310), bagian Pernaungan Bajik dan Mulia:

"Oleh karenanya, Kasyapa, seorang bhikshu yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga, namun belum merealisasi buah seorang sramana hendaknya melakukan delapan macam penghormatan pada jubah yang ia kenakan. Apakah kedelapan penghormatan itu? Sewaktu ia mengenakan jubah Sangha, ia hendaknya mengembangkan:

(1) Pikiran mengenai stupa;
(2) Pikiran mengenai Yang Dijunjungi Dunia;
(3) Pikiran mengenai kedamaian pamungkas;
(4) Pikiran mengenai kebajikan;
(5) Pikiran menghormati [jubah] sebagai sosok Hyang Buddha;
(6) Pikiran rasa malu;
(7) Pikiran penyesalan; dan
(8) Pikiran bahwa jubah tersebut akan membebaskan dirinya dari hawa nafsu keinginan rendah, kebencian, beserta pandangan salah, dan akan mendorong dirinya memenuhi praktik-praktik benar seorang sramana di kehidupan-kehidupan mendatangnya.

Kasyapa, seorang bhikshu hendaknya menghormati jubah Sangha melalui kedelapan hal di atas."

Hyang Buddha menyatakan bahwa sramana yang tidak menghormati jubah Sangha dengan cara seperti itu adalah sramana palsu. Mereka akan terjatuh ke neraka-neraka kecil.

Oleh karenanya, berdasarkan kutipan di atas, jubah Sangha adalah sangat mulia dan merupakan salah satu wahana pelatihan spiritual. Jika seorang bhikshu meskipun mengenakan jubah, tetapi tidak dapat menghormati jubahnya dengan kedelapan cara tersebut, maka ia adalah sramana palsu.

Semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

A Treasury of Mahayana Sutras: Selections from the Maharatnakuta Sutra, diterjemahkan oleh The Buddhist Association of the United States, dengan  Garma C. C. Chang selaku general editor.

Sabtu, 10 Agustus 2013

MENJADI PULAU PERLINDUNGAN BAGI DIRI SENDIRI

MENJADI PULAU PERLINDUNGAN BAGI DIRI SENDIRI

Artikel Dharma ke-20, Agustus 2013

Ivan Taniputera
10 Agustus 2013






Di dalam Sutta Cakkavati-Sihanada, Hyang Buddha mengajarkan agar kita menjadi pulau bagi diri kita sendiri dan perlindungan bagi diri kita sendiri. Beliau mengajarkan pula kita agar kita jangan mencari perlindungan di tempat lainnya. Banyak orang memenggal ajaran tersebut sampai di sini saja, sehingga akhirnya menimbulkan pandangan salah. Timbul kesombongan bahwa seolah-olah kita tidak memerlukan apa-apa lagi. Seolah-olah hanya diri sendirilah yang patut diandalkan. Pemahaman semacam ini jelas bukan memupus ke"aku"an, melainkan justru sebaliknya makin mengobarkan semangat ke"aku"an. 

Padahal kalau direnungkan, jika sakit kita masih memerlukan seorang dokter. Kita berhutang budi pada guru-guru kita semenjak jenjang pendidikan paling rendah hingga paling tinggi. Pakaian yang kita kenakan apakah kita buat sendiri? Laptop atau komputer yang kita pakai, apakah kita yang membuatnya sendiri? Beras dan sayuran yang kita makan, apakah kita sendiri yang menanamnya? Jelas sekali kita masih memerlukan bantuan orang lain. Bahkan kita tidak hanya memerlukan bantuan orang lain saja. Banyak bakteri dan mikroorganisme lainnya yang bermanfaat bagi kita.

Lalu bagaimanakah makna sesungguhnya ajaran Hyang Buddha tersebut?

Jawabannya sangat mudah. Kita tinggal membaca kelanjutan Sutta Cakkavati-Sihanada tersebut. Pada bagian selanjutnya, Hyang Buddha mengajarkan agar kita mengamati tubuh (kaya), perasaan (vedana), pikiran (citta), dan obyek pikiran (dhama) sebagaimana adanya, dengan penuh ketekunan sehingga sanggup melenyapkan segenap keserakahan.

Jadi, inti ajaran tersebut adalah meditasi pengamatan terhadap tubuh, perasaan, pikiran, dan obyek pikiran sebagaimana adanya. Samadhi yang benar itulah pulau dan perlindungan bagi diri kita sendiri. Menjadi pulau dan perlindungan bagi diri sendiri tidak berarti kita memisahkan atau mengasingkan diri dengan segala sesuatu. Obyek yang benar-benar otonom dan mandiri atau tak bergantung lainnya adalah mustahil menurut Ajaran Hyang Buddha, karena segala sesuatu saling berkaitan dengan hal lainnya.

Semoga bermanfaat.

EMPATI

EMPATI

Artikel Dharma ke-19, Agustus 2013

Ivan Taniputera
10 Agustus 2013



Ini adalah peristiwa yang benar-benar saya alami sewaktu kerusuhan di Jakarta bertahun-tahun lalu. Waktu itu saya tinggal di daerah perumahan dan tidak dapat pergi ke mana-mana. Pergi ke luar kompleks perumahan guna mendapatkan makanan tentunya juga merupakan sesuatu yang mustahil. Di dalam kompleks perumahan terdapat sebuah depot yang biasa menjual makanan. Saat terjadinya kerusuhan, ia menjual makanannya dengan harga beberapa kali lipat harga biasanya. Sang pemilik depot memanfaatkan peristiwa kerusuhan tersebut demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Memang benar bahwa setiap orang berhak mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Namun pertanyaannya apakah meraup keuntungan dengan memanfaatkan kesulitan orang lain adalah sesuatu yang bermoral? Tentunya ada banyak jawaban bagi hal ini. Tiap manusia memiliki alasan dan pemikirannya sendiri-sendiri. Saya tidak bermaksud memperdebatkan atau mendiskusikan lebih jauh mengenai hal ini. Saya tidak hendak mengatakan bahwa pemilik depot telah berlaku etis atau tidak etis. Biarlah para pembaca sendiri yang menilainya.

Saya hanya hendak menyampaikan bahwa kehidupan akan lebih mudah dan indah jikalau seandainya setiap orang sanggup memiliki empati, terutama bagi mereka yang dilanda kesulitan atau kesusahan. Menumbuhkan empati adalah juga latihan spiritual dan sekaligus menciptakan masyarakat yang lebih indah. Apabila setiap orang sanggup membangkitkan empati satu sama lain, maka dunia ini akan menjadi lebih indah dan semakin layak didiami. Dengan mengembangkan empati kita berlatih berbagi, yakni berbagi 'hati" kita dengan orang lain, padahal sebelumnya "hati" itu hanya milik kita sendiri.

Di tengah-tengah dunia yang semakin materialistis ini, barangkali semakin sulit membangkitkan empati. Namun, justru inilah tantangannya. Kita ditantang agar dapat menjadi bodhisattva-bodhisattva dunia sebagaimana yang dibabarkan dalam Sutra Teratai. Semoga dunia yang kita diami ini jangan sampai kekurangan para bodhisattva dunia.

Demikian semoga bermanfaat.

Jumat, 09 Agustus 2013

KAMU SESAT

KAMU SESAT!

Artikel Dharma ke-18, Agustus 2013

Ivan Taniputera
9 Agustus 2013



Suatu kali saat pengumuman hasil ujian, seorang anak ternyata tidak lulus ujian. Ia kemudian mencari nama anak yang menjadi musuh bebuyutannya di daftar pengumuman hasil kelulusan. Ternyata anak yang menjadi musuh bebuyutannya juga tidak lulus. Saat kebetulan berjumpa dengan musuh bebuyutannya itu, ia lantas mengejek, "Kamu memang bodoh. Ujian saja tidak lulus." Apakah dengan mengejek demikian, ia menjadi lulus ujian? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Dia mengejek lawannya tidak ada pengaruhnya terhadap hasil kelulusannya sendiri.

Dewasa ini, antar agama dan aliran keagamaan sering menganggap sesat satu sama lain. Mereka saling menuding bahwa agama atau aliran yang tak sepaham dengan mereka sebagai "sesat."  Apakah dengan menganggap sesat agama atau aliran lain, lantas agama dan kepercayaannya menjadi benar? Jawabannya adalah tidak. Sama dengan kisah mengenai hasil kelulusan di atas, mengatakan atau menganggap agama beserta aliran lain sebagai sesat bukanlah kriteria bahwa agama ataupun aliran kita adalah benar.

Ketimbang murid yang sama-sama tidak lulus itu saling mengejek satu sama lain, lebih baik mereka belajar bersama, agar pada kesempatan berikutnya sanggup lulus ujian. Begitu pula agama dan aliran keagamaan dewasa ini, hendaknya bekerja sama memecahkan persoalan-persoalan umat manusia yang semakin rumit dan berat seiring berkembangnya zaman. Penderitaan yang dialami umat manusia semakin bertambah kompleks. Tidak ada gunanya saling menganggap sesat satu sama lain. Tindakan semacam itu jelas tak membawa dampak positif bagi umat manusia. Semuanya hanya dilandasi konsep "aku" dan "milikku."

Tujuan ajaran Hyang Buddha bukanlah menganggap sesat agama lain, namun membebaskan diri dari penderitaan. Memanfaatkan Buddhadharma untuk berdebat dan menyalahkan agama maupun aliran lain jelas sangat menyimpang dengan ajaran Hyang Buddha.

Semoga renungan ini mendatangkan manfaat.  

Kamis, 08 Agustus 2013

BAHAYANYA MENGIKUTI KAWAN YANG TIDAK BAJIK

BAHAYANYA MENGIKUTI KAWAN YANG TIDAK BAJIK

Artikel Dharma ke-17, Agustus 2013

Ivan Taniputera
8 Agustus 2013



Renungan kali ini diambil dari Sutra Ratnakuta (大寶積經, Dabaojijing, Taisho Tripitaka 310), bagian berjudul Tampilan Cahaya (出現光明會):

"Barangsiapa yang mengikuti kawan tidak bajik,
Merusak dharma kebaikan dirinya dan orang lain,
Serta kehilangan dhyana beserta aturan-aturan moralitas
Atau mundur darinya
Tak akan menyukai sutra ini."


Ada seorang ibu yang dilapori oleh guru di sekolah anaknya, bahwa anaknya kini gemar mengacau di kelas, padahal sebelumnya sang anak itu bersifat penurut. Ternyata ia terpengaruh kawan-kawannya. Memang benar bahwa kawan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Oleh karenanya, kita harus berhati-hati dalam memilih kawan. Hal ini bukanlah berarti kita bersifat membeda-bedakan. Namun kita hendaknya tetap waspada agar jangan sampai kawan-kawan yang tidak bajik memengaruhi kita sedemikian rupa, sehingga akhirnya kita menukar kebajikan dengan kejahatan. Kita hendaknya tidak berkawan dengan orang-orang yang tidak bijaksana. Kendati demikian, bukan berarti kita membenci mereka.

Seorang kawan yang tidak bajik dapat menjerumuskan kita ke jurang yang dalam. Banyak orang yang rusak hidupnya karena pergaulan salah. Sebaliknya, seorang kawan yang bajik (disebut kalyanamitra dalam Agama Buddha) akan membimbing kita pada kebenaran, sehingga akhirnya kita sanggup merealisasi Pembebasan Sempurna. Marilah kita senantiasa mengikuti kawan-kawan yang bajik dan menghaturkan doa pelimpahan jasa kebajikan agar kawan-kawan yang tidak bajik dapat segera beralih menuju jalan kebenaran.

Para orang tua sendiri hendaknya jangan terlalu sibuk bekerja, melainkan juga peduli mengawasi siapakah kawan-kawan anaknya. Seorang kawan dapat memberikan pengaruh seumur hidup dalam kehidupan seseorang. Jangan dengan dalih sibuk bekerja lantas orang tua mengabaikan siapakah kawan-kawan anaknya. Penyesalan di kemudian hari tidaklah berguna.

Semoga bermanfaat.

Selasa, 06 Agustus 2013

JERAT-JERAT PARA PUTERI MARA

JERAT-JERAT PARA PUTERI MARA

Artikel Dharma ke-16, Agustus 2013

Ivan Taniputera
6 Agustus 2013




Barangsiapa yang mempelajari Agama Buddha tentunya sudah mengenal kisah Hyang Buddha digoda oleh puteri-puteri Mara (iblis dalam Agama Buddha). Mereka memamerkan sensualitasnya di hadapan Hyang Buddha dengan tujuan menggoyahkan Beliau dari samadhinya. Para pakar Agama Buddha dewasa ini yang berasal dari berbagai disiplin ilmu menciptakan beraneka ragam teori mengenai godaan puteri-puteri Mara. Meskipun demikian, kita tidak akan membahas berbagai teori yang rumit-rumit tersebut. Menurut saya, ajaran Agama Buddha haruslah membumi dan tidak terlalu melambung tinggi. Dharma bukan terletak di awang-awang melainkan di lingkungan sekitar kita.

Sebenarnya godaan para puteri Mara itu tak pernah berakhir dan tak akan pernah berakhir hingga semua insan membebaskan diri dari hawa nafsu keinginan rendah (tanha). Beberapa waktu yang lalu saat berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan, terdapat gerai yang bertujuan memasarkan produksi rokok. Kita dapat menyaksikan para gadis pramuniaga dengan penampilan menggoda sedang menawarkan barang dagangannya pada para pengunjung pusat perbelanjaan. Di pusat-pusat perbelanjaan pun banyak gadis yang mengenakan busana menampilkan sensualitasnya. Saya juga pernah mendengar bahwa di perusahaan-perusahaan yang menawarkan produk investasi juga memperkerjakan tenaga pemasaran wanita dengan penampilan menarik. Puteri-puteri Mara masih menampilkan tari erotisnya.

Kita dapat menyimpulkan bahwa puteri-puteri Mara, baik zaman dahulu maupun sekarang senantiasa menampilkan sensualitasnya. Puteri-puteri Mara akan terus memamerkan sensualitasnya. Bagaimana dengan di vihara? Apabila ada umat wanita yang berpakaian dengan memamerkan sensualitasnya, apakah juga dapat disepadankan dengan puteri-puteri Mara? Silakan direnungkan bersama.

Marilah kita berpakaian rapi dan sopan saat ke vihara. Karena berpakaian rapi dan sopan adalah juga latihan spiritual.

Semoga bermanfaat.

ILMU PENGASIHAN (ILMU PELET ATAU ILMU PEMIKAT)

ILMU PENGASIHAN (ILMU PELET ATAU ILMU PEMIKAT)

Artikel Dharma ke-15, Agustus 2013

Ivan Taniputera
6 Agustus 2013




Bahan renungan kita kali ini diambil dari Sutra Shurangama (Lengyanjing, Taisho Tripitaka 946). Pada bagian pembukaan sutra tersebut diriwayatkan mengenai Ananda yang terpikat oleh ilmu pengasihan seorang gadis. Oleh karenanya, demi menyadarkan Ananda dari pengaruh ilmu tersebut, Hyang Buddha lantas mengajarkan Dharani Shurangama. Apakah makna kisah di atas? Kemungkinan sebagian besar dari kita hanya menerima hikayat tersebut begitu saja, tanpa berusaha merenungkan lebih jauh. Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini, kita akan mencoba merenungkan maknanya secara lebih mendalam.

Pertama-tama, uraian dalam Sutra Shurangama tersebut memperlihatkan bahwa Agama Buddha tidak menolak keberadaan ilmu-ilmu semacam itu, termasuk ilmu pengasihan atau yang juga dikenal sebagai ilmu pelet. Tujuan ilmu adalah memikat orang lain. Mungkin sebagian besar orang menganggap bahwa ilmu semacam ini sudah ketinggalan zaman. Namun anggapan demikian adalah anggapan yang sangat keliru.

Ilmu pengasihan atau ilmu pelet tidak pernah kadaluarsa, selamanya akan tetap ada, hanya saja bentuknya berubah. Ilmu pengasihan di zaman sekarang tetaplah ada. Sebagai contoh, mungkin di antara para pembaca yang pernah mempelajari desain grafis. Salah satu penerapannya adalah merancang kemasan sebuah produk, agar pembeli tertarik pembelinya. Dengan tujuannya juga "memikat," bukan? Oleh karenanya, ilmu semacam ini tentunya juga dapat digolongkan sebagai "ilmu pemikat." Ilmu semacam ini bekerjanya berdasarkan "wujud kasat mata," seperti bentuk, warna, dan lain sebagainya.

Para pemuda di zaman sekarang gemar mengenakan baju bermerk, mobil bagus, atau potongan rambut sedang tren agar dapat memikat gadis pujaan hatinya. Kalau di zaman dahulu, mungkin ilmu pengasihan atau pemikat dengan menggunakan sarana mantra-mantra serta kemenyan, namun kini ilmu itu telah berubah menjadi "mantra-mantra" berupa merk-merk modern yang belum tentu dapat dijangkau semua orang. Seorang gadis akan mudah terpikat melihat pemuda mengendarai mobil sport keluaran terbaru. Meskipun wujudnya berubah, namun tujuannya tetap sama, yakni memikat hati orang yang dikasihinya. Kemenyannya kini diganti dengan parfum bermerk yang mahal. Mungkin satu bulan gaji dapat dihabiskan guna membeli parfum semacam itu.

Meskipun demikian, ilmu pengasihan atau pemikat dapat pula disalah gunakan. Ini terjadi baik di zaman dahulu maupun sekarang. Banyak orang terpikat oleh program-program investasi yang menjanjikan keuntungan luar biasa. Beberapa waktu yang lalu, kita dapat membaca di berbagai surat kabar, mengenai orang-orang yang menjadi korban investasi palsu. Barangkali kita juga sering mendapatkan SMS bahwa kita menang undian tertentu. Namun itu semua hanya tipuan. Meskipun demikian, banyak juga orang yang tertipu dan kehilangan uangnya. Orang terpikat oleh janji-janji menggiurkan berupa keuntungan besar yang didapat dengan mudah tanpa perlu bekerja keras.

Bila kita merenungkan lebih jauh, sesungguhnya ilmu pemikat hanya dapat bekerja jika masih terdapat nafsu keserakahan dalam diri manusia (lobha). Seseorang yang sudah bebas dari segenap nafsu keinginan (tanha) tidak akan terpengaruh oleh kekuatan ilmu pemikat.

Sebagai penutup renungan ini, kita perlu senantiasa waspada terhadap segenap ilmu pemikat bertujuan tidak baik yang ada di sekitar kita. Apabila Ananda saja yang menghabiskan sebagian besar waktunya mengikuti Hyang Buddha dapat terkena ilmu semacam itu, tentunya kita harus lebih mewaspadai lagi agar tak terkena ilmu semacam itu. Kuncinya terletak pada pengendalian pikiran.

Semoga bermanfaat.

Senin, 05 Agustus 2013

SEDIKIT MENGENAL DHARMAPADA GANDHARI

SEDIKIT MENGENAL DHARMAPADA GANDHARI

Artikel Dharma ke-14, Agustus 2013

Ivan Taniputera
6 Agustus 2013

Pada artikel kali ini, saya ingin memperkenalkan mengenai Dharmapada Gandhari. Ini adalah padanan Dhammapada dalam bahasa Prakrit, yang dipergunakan oleh aliran Mahayana. Naskah Dharmapada ini juga dapat dalam kanon Taisho Tripitaka, yakni nomor 210 (法句經, Fajujing). Hanya penomoran dan urutan bait-baitnya saja yang berbeda.

Sebagai contoh adalah Dhammapada 79 yang berbunyi:


Dhammapiti sukham seti
vippasannena cetasa
ariyappavedite dhamme
sada ramati pandito.


Bait ini sepadan dengan Dharmapada Gandhari 204, yang berbunyi:


Dhama pridi suhu sayadi
Viprasanena cedaso
ari'a pravedidi dharmi
Sada ramadi panidu

Artinya adalah:

Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia dengan pikiran yang tenang.
Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya.
[terjemahan dari http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/pandita-vagga/]

Nasihat di atas sangat bermanfaat sekali dalam kehidupan. Banyak orang mengatakan bahwa dirinya sudah mengenal Dharma. Bahkan menyatakan diri sebagai pakar Dharma dan menggunakannya dalam perdebatan. Namun berdasarkan kutipan di atas, jelas sekali bahwa tolok ukur seseorang mengenal Dharma atau belum adalah apakah batinnya sudah tenang atau belum. Apabila batinnya belum tenang ataupun gembira, maka sangat mungkin dirinya masih jauh dari Dharma. Jika sanggup memenangkan perdebatan atau dalam artian dapat membungkam lawan debatnya, hatinya merasakan kegembiraan yang meluap-luap; sedangkan jika kalah dalam perdebatan batinnya merasakan amarah luar biasa. Tentunya  bukan ini yang diajarkan Hyang Buddha, karena baik kalah dan memang masih mengandung dukkha.

Sungguh tepat sekali yang dikatakan oleh Bhikkhu Buddhadasa dalam karyanya berjudul "I and Mine" halaman 23, bahwa kita tidak perlu menjadi pakar terhadap seluruh pustaka suci Buddhis, namun hal terbaik adalah mengetahui bahwa hakikat kehidupan adalah dukkha, dan mencari jalan pembebasan dari dukkha.

Semoga bermanfaat.

Acuan:

Teks Dhammapada dalam bahasa Pali dan Inggris terdapat pada:

http://www.tipitaka.net/tipitaka/dhp/verseload.php?verse=079

Teks Dharmapada Gandhari beserta padanannya dalam Dhammapada dapat diunduh di:

http://ishare.iask.sina.com.cn/download/explain.php?fileid=34711574

ANGKA 13

ANGKA 13

Artikel Dharma ke-13, Agustus 2013

Ivan Taniputera
5 Agustus 2013



Kebetulan ini adalah artikel Dharma ketiga belas saya di bulan Agustus ini. Oleh karenanya saya akan menulis mengenai angka tiga belas. Banyak orang takut pada angka tiga belas. Rumah-rumah yang seharusnya bernomor tiga belas lantas diganti menjadi 12 A. Lantai yang seharusnya adalah lantai ke-13, biasanya diganti sebutannya menjadi lantai 12 A. Menurut sebagian orang, angka tiga belas dapat membawa kesialan. Meskipun demikian, pada kesempatan kali ini kita akan merenungkannya berdasarkan prinsip wawasan kebijaksanaan (panna). 

Ada banyak teori mengenai asal usul ketakutan terhadap angka 13, namun kita tidak akan mengulasnya di sini. Hanya saja terlepas dari semua teori tersebut, apakah mungkin kita membuang angka 13 dari urutan bilangan kita? Jika angka 13 dihapus apakah yang ada setelah 12? Apakah yang ada sebelum 14? Jadi angka 13 adalah suatu kewajaran di dalam urutan bilangan. Kita tidak dapat menghapuskannya. Karena semua bilangan itu telah ada kedudukannya sendiri yang wajar dalam urutan lambang bilangan, maka tidak ada yang baik ataupun buruk.

Meskipun nomor sebuah rumah diganti dengan 12 A sekalipun atau nomor lainnya, tetap saja itu tidak mengubah urutannya. Apakah setiap tanah atau rumah urutan ke-13 harus dikosongkan? Meskipun nomor tingkat dalam sebuah gedung diganti dengan 12 A sekalipun atau nomor lainnya, tetap saja urutannya dalam tingkatan gedung tersebut tidak dapat diubah. Tidak mungkin kita menciptakan ruang kosong di antara tingkat ke-12 dan 14. Ini adalah sesuatu yang mustahil. 

Pengalaman nyata, terdapat tempat usaha tertentu yang bernomor 13, namun pada kenyataannya bisnis mereka malah justru berkembang pesat. 

Semoga bermanfaat.

Minggu, 04 Agustus 2013

MANTRA PEREDA BENCANA DAN RASA TAKUT

MANTRA PEREDA BENCANA DAN RASA TAKUT

Artikel Dharma ke-12, Agustus 2013

Ivan Taniputera
4 Agustus 2013



Pada artikel kali ini saya akan menerjemahkan bagian Sutra Mahaparinirvana (大般涅槃經, Dà bān nièpán jīng, Taisho Tripitaka 375), bab 1,  terkait Mantra Pereda Bencana dan Rasa Takut.

"Pada saat itu raja mara alam nafsu keinginan bernama Papiya, dengan disertai sekumpulan besar dewa dan gadis-gadis pengikutnya, membuka pintu neraka dan menuangkan air dingin nan murni. Ia berkata, "Kini tiada lagi yang perlu kalian lakukan selain memusatkan pikiran kalian pada Hyang Tathagata, Yang Terpuji, dan telah merealisasi Penerangan Sempurna. Bersukacitalah dan haturkan persembahan terakhir kalian. Kalian kini akan mengalami malam kedamaian nan panjang. Selanjutnya, Marapapiya menyirnakan segenap senjata baik besar maupun kecil beserta segenap racun dan penderitaan di neraka. Ia menurunkan hujan yang memadamkan api di neraka. Melalui kekuatan Hyang Buddha, ia merealisasi kondisi pikiran semacam ini. Ia menyebabkan para iblis melepaskan pedang baik besar maupun kecil, busur, busur silang, baju zirah, senjata, tombak, perisai, kaitan panjang, palu besi, kapak, kereta perang, dan tali pengaitnya. Bahkan persembahan yang mereka haturkan adalah dua kali lebih banyak ketimbang manusia maupun dewa. Bahkan payung terkecilnya sekalipun sanggup menutupi jagad raya tingkat menengah. Mereka menghadap Hyang Buddha, menyentuh kakiNya dengan kepala mereka, seraya berkata, "Yang Dijunjungi Dunia, kami kini mencintai dan melindungi Mahayana. Pria dan wanita di muka bumi ini, demi menghaturkan persembahan, karena rasa takut, demi menipu orang lain, demi mendapatkan keuntungan, karena mengikuti orang lain, menerima ajaran Mahayana, entah benar entah salah. Demi menyirnakan ketakutan semacam itu, kami mengumandangkan dharani sebagai berikut:

Da Zhe Zha Zha La Da Zhe Lu Lo Li Ma Ha Lu Lo Li A La Mo La Tuo La So Ha
[Taki Tatarataki Rokarei Makarokarei Ara Shara Tara Shaka: lafal Jepang]

Kami melafalkan dharani ini bagi mereka yang telah kehilangan keberaniannya, bagi mereka yang dilanda ketakutan, yang membabarkan Dharma bagi orang lain, yang berharap agar Dharma jangan sampai sirna, yang berharap meremukkan kaum tirthika, demi melindungi dirinya sendiri, demi melindungi Dharma nan Ajaib, sewaktu melewati padang belantara, padang rumput, atau tempat-tempat mengerikan lainnya. Tiada perlu ketakutan lagi terhadap [bahaya] air, api, singa, harimau, serigala, perampok, atau raja [berniat jahat]. Wahai Yang Dijunjungi Dunia, dengan bersenjatakan dharani tersebut, tiada sesuatupun perlu ditakutkan. Kami akan melindungi orang yang melafalkan dharani itu, dan ia akan seperti kura-kura yang dilindungi keenam anggota tubuhnya dalam sebuah tempurung. Wahai Yang Dijunjungi Dunia, apa yang kami katakan ini bukanlah omong kosong. Pada kenyataannya kami akan memperbesar kekuatan orang bersenjatakan dharani ini. Kami hanya berharap, wahai Tathagata, agar Engkau sudi berbelas kasih menerima persembahan terakhir kami." Lalu Hyang Buddha berkata pada Marapapiya, "Aku tak menerima segenap persembahanmu. Aku telah memiliki dharani-mu. Ini akan menjadikan para makhluk beserta keempat anggota Sangga hidup dalam kedamaian" Setelah mengatakan hal itu Buddha tidak berkata-kata lagi serta tak menerima persembahan Marapapiya. Tiga kali Marapapiya memohon Hyang Buddha agar menerima persembahan mereka, tetapi Hyang Buddha menolaknya. Karena harapannya tidak dipenuhi, Marapapiya merasa sedih, mengundurkan diri, dan duduk di satu sisi.

Berdasarkan kutipan dari Sutra Mahaparinirvana di atas, kita mengetahui bahwa mantra itu dapat melindungi dari beragam bencana dan bahaya.

Berikut ini adalah link sutra tersebut dalam bahasa Mandarin:

http://www.cbeta.org/result/normal/T12/0375_001.htm

Berikut ini adalah link sutra tersebut dalam bahasa Inggris:

http://www.shabkar.org/download/pdf/Mahaparinirvana_Sutra_Yamamoto_Page_2007.pdf

[mantranya ada di halaman 14]

Semoga bermanfaat.

Sabtu, 03 Agustus 2013

VEGETARIAN YANG BENAR

VEGETARIAN YANG BENAR

Artikel Dharma ke-11, Agustus 2013

Ivan Taniputera
4 Agustus 2013




Di hari Minggu siang ini saya tiba-tiba ingin berbagi mengenai vegetarian yang benar. Agama Buddha mengajarkan bahwa kita hendaknya melakukan segala sesuatu dengan benar, termasuk vegetarian. Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Suatu kali saya mengunjungi sebuah rumah makan dan tiba-tiba masuk seseorang yang lantas berkata pada juru masak, "Saya pesan makanan sayuranis ya, karena saya ini vegetarian." Tak beberapa lama makanan yang dipesan orang itu pun dihidangkan. Tiba-tiba, sebelum sempat menyantap makanan pesanannya, orang itu bangkit berdiri dan menghampiri juru masak serta bertanya, "Tadi sebelum memasak makanan pesanan saya, wajannya sudah dicuci khan?" Juru masak menjawab, "Maaf belum, Pak. Bapak tadi tidak berpesan agar wajannya dicuci terlebih dahulu." Orang itu berkata lagi dengan nada marah, "Bodoh kamu. Tadi  saya sudah bilang kalau saya vegetarian. Harusnya kamu mengetahui bahwa jika wajannya tidak dicuci terlebih dahulu, makanan saya bisa tercemar oleh daging." Ia lantas memaki-maki juru masak. Untunglah pemilik rumah makan datang menengahi mereka.

Kasus lainnya adalah seseorang yang marah karena ada orang mencelupkan sendok pengambil makanan berdaging ke makanan vegetariannya tanpa sengaja.

Padahal bervegetarian sebenarnya adalah latihan spiritual dalam membangkitkan belas kasih. Apabila yang dihasilkan hanya kemarahan, maka latihan Anda sudah gagal. Ada juga orang yang bervegetarian, memaki-maki orang lain dengan berkata, "Kamu sudah menyebabkan praktik vegetarian saya gagal. Kamu itu berdosa!" Sebenarnya siapakah yang berdosa? Dosa dalam Agama Buddha, yang bersama lobha (keserakahan) dan moha (pandangan salah) membentuk Tiga Akar Kejahatan (Triakusala mula), berarti kebencian. Jadi dalam hal ini, siapakah yang memendam kebencian? Oleh karenanya, bervegetarian perlu dilakukan dengan cara yang benar.

Banyak juga orang melakukan vegetarian dengan tujuan yang keliru. Sebagai contoh, ada orang bervegetarian dengan tujuan mendapatkan jodoh. Ada orang bervegetarian dengan tujuan supaya bisnisnya maju. Masalahnya, mendapatkan jodoh tidak bisa didapat hanya dengan bervegetarian. Apabila Anda tidak pernah mencoba menambah kenalan Anda, dan hanya berdiam diri saja di rumah, bagaimana mungkin Anda dapat berjumpa dengan jodoh Anda. Barangkali orang yang berpikiran semacam itu terobsesi dengan film atau cerita mengenai seorang pangeran atau puteri tersesat ke rumahnya. Agar bisnis dapat mencapai kemajuan, tidak cukup hanya bervegetarian. Terdapat banyak hal yang perlu dilakukan agar bisnis Anda mengalami kemajuan. Anda perlu ketekunan, kemampuan membaca pangsa pasar, meluaskan wawasan, dan lain sebagainya. Jika segala sesuatu dapat diselesaikan dengan bervegetarian, maka semua orang tinggal bervegetarian saja.

Semoga bermanfaat.

BELAJAR SESUATU HARUS BERTAHAP

BELAJAR SESUATU HARUS  BERTAHAP

Artikel Dharma ke-10, Agustus 2013

Ivan Taniputera
3 Agustus 2013




Renungan ini diambil dari Sutra Seratus Perumpamaan (Baiyujing, 百喻經, Taisho Tripitaka 209). Terdapat seorang kaya yang bodoh. Suatu kali ia mengunjungi gedung tiga tingkat milik sahabatnya. Setelah menyaksikan keindahan panorama dari tingkat ketiga, timbul keinginan mendirikan bangunan tiga tingkat seperti yang dimiliki sahabatnya. Orang kaya itu lalu mengundang seorang ahli bangunan yang mahir. Sang ahli bangunan menyatakan kesanggupannya mendirikan bangunan seperti itu. Sang orang kaya lantas memerintahkan agar ia segera bekerja. Ahli bangunan kemudian mengukur tanah dan meratakannya. Namun, sewaktu orang kaya melihat ahli bangunan beserta anak buahnya sedang bekerja, ia malah marah-marah, "Apakah yang sedang kaulakukan? Aku hanya menginginkan tingkat ketiganya saja. Aku tak menginginkan tingkat pertama maupun keduanya." Sang ahli bangunan menjawab, "Tetapi mustahil mendirikan tingkat ketiga tanpa tingkat pertama dan keduanya." Orang kaya berkata dengan kesal, "Jadi engkau tak dapat mendirikan tingkat ketiganya saja? Jika engkau tak sanggup, enyahlah dari hadapanku." Orang lantas menertawakan kebodohan orang kaya tersebut.

Sebagaimana halnya mendirikan bangunan bertingkat, dalam mempelajari sesuatu kita harus bertahap. Kita harus belajar mulai dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Jika kita langsung mempelajari ilmu tingkat tinggi, maka dasar kita kurang kuat dan sulit mencapai hasil yang baik. Dalam bermeditasi kita juga perlu mempelajarinya secara bertahap. Jangan langsung mempelajari teknik-teknik meditasi tingkat lanjut. Demikian pula dalam melatih sadhana dalam Tantrayana, semuanya memerlukan tahapan-tahapan dalam pelatihan.

Kisah ini juga mengajarkan bahwa kendati kita sudah mempelajari ilmu tingkat tinggi, jangan meremehkan ilmu tingkat dasar. Kita hendaknya mengingat bahwa kita dulu juga belajar ilmu tingkat dasar. Mustahil bagi kita memahami kuliah di perguruan tinggi, tanpa duduk terlebih dahulu di jenjang pendidikan lebih rendah. Bahkan orang yang jenius sekalipun juga belajar secara bertahap, hanya saja bedanya mereka sanggup menyelesaikan tahapan-tahapan tersebut lebih cepat dibanding kita.

Matematika walau setinggi apapun, tetap mengandung tambah, kurang, kali, dan bagi; yakni sesuatu yang kita pelajari di bangku sekolah dasar. Marilah kita dengan sabar belajar sesuai dengan urutan dan tahapan yang ada.

Semoga bermanfaat.

RAJA YANG MENGORBANKAN DIRI BAGI RAKYATNYA

RAJA YANG MENGORBANKAN DIRI BAGI RAKYATNYA

Artikel Dharma ke-9, Agustus 2013

Ivan Taniputera
3 Agustus 2013



Kisah ini diambil dari Sutra Orang Bijaksana dan Orang Bodoh (賢愚經, Xianyujing, Taisho Tripitaka 202), kisah ke-27. Kisah ini dibuka dengan pertanyaan Ananda  mengapa kelima orang pertapa yang dipimpin oleh Kaundinya dapat mendengar pembabaran Dharma perdana oleh Hyang Buddha. Sebagai jawabannya, Hyang Buddha meriwayatkan suatu kisah kehidupan masa lampau. Pada zaman dahulu terdapat seorang raja penguasa dunia (cakravartin) bernama Sudolagarne. Suatu kali seorang peramal mengatakan bahwa hujan tidak akan turun selama lima belas tahun. Akibatnya, tentu saja akan timbul bencana kekeringan dan kelaparan. Raja Sudolagarne lantas menghitung jumlah persediaan gandum dan mendapati bahwa gandum tersebut hanya cukup menghidupi rakyatnya selama dua belas tahun. Karenanya raja merasa sangat sedih. Ia lalu berikrar agar dapat terlahir sebagai ikan besar, sehingga sanggup memberi makan seluruh rakyat dengan dagingnya. Kemudian, Raja Sudolagarne memanjat sebatang pohon dan menjatuhkan dirinya, sehingga tewas. Ia terlahir sebagai ikan besar yang panjangnya lima ratus yojana.

CATATAN: 1 yojana kurang lebih 1,5 kilometer.

Saat itu, di sungai tempat ikan tersebut berada, terdapat lima orang pemotong kayu yang sedang mencari makan. Sewaktu ikan raksasa itu melihat mereka, ia mempersilakan mereka memakan dagingnya. Dengan demikian, kelima orang pemotong kayu merupakan yang pertama dalam memperoleh daging sang ikan. Mereka kelak terlahir sebagai lima orang pertapa yang berkesempatan mendengar pembabaran Dharma pertama Hyang Buddha. Sedangkan ikan tersebut kelak menjadi Buddha Shakyamuni.

Kisah di atas sebenarnya mengajarkan mengenai kepemimpinan Buddhis, yakni seorang pemimpin hendaknya bersedia mengorbankan diri bagi rakyatnya. Di zaman sekarang, justru banyak pemimpin yang menindas rakyat atau anak buahnya. Akibatnya, rakyat dan anak buah yang menderita. Ada pula pemimpin yang tidak tahan banting, mendapatkan kritikan sedikit saja, langsung mencurahkan isi hatinya di hadapan publik. Menjadi seorang pemimpin yang baik memang tidak mudah, karena harus memiliki semangat pengorbanan yang kuat. Apakah di zaman sekarang ini, masih ada pemimpin yang baik? Marilah kita renungkan bersama. 

Semoga bermanfaat.


CATATAN: Pembabaran Dharma pertama Hyang Buddha di Taman Rusa, Benares, dihadiri oleh lima orang pertapa yang dipimpin oleh Kaundinya.

SATU SENYUMAN UNTUK SELURUH DUNIA

SATU SENYUMAN UNTUK SELURUH DUNIA

Artikel Dharma ke-8, Agustus 2013

Ivan Taniputera
3 Agustus 2013



Saya akan membuka artikel saya dengan mengisahkan pengalaman saya waktu masih bekerja di Jakarta. Saya memiliki penjual kue langganan, yang sangat murah senyum. Oleh karena itu, pelanggannya banyak sekali di kompleks perumahan tersebut. Jika ada yang menawar juga tak pernah marah. Seolah-olah dalam hidupnya tidak ada beban. Saya mencoba membandingkannya sewaktu berkunjung ke sebuah bank yang cukup besar. Banyak orang berpakaian mewah dengan jas dan dasi, namun wajahnya ditekuk serta tak mencerminkan keceriaan sedikitpun. Mungkin mereka memiliki lebih banyak uang dan harta, namun siapakah yang kebahagiaannya lebih banyak?

Sesungguhnya sewaktu melihat senyuman orang lain, batin kita menjadi lebih tenang. Oleh karenanya, senyuman merupakan pemberian amal. Dalam Agama Buddha, senyuman yang tulus dikategorikan pada "pemberian berupa pembebasan dari rasa takut" (abhaya-dana). Pembebasan dari rasa takut di sini adalah ketenangan dalam batin.

Banyak orang mengatakan bahwa untuk beramal harus memiliki banyak uang terlebih dahulu. Namun ini adalah anggapan yang keliru karena hanya dengan tersenyum dan menganggukkan kepala dengan tulus saja, kita sudah beramal pada orang lain. Apabila wajah kita memancarkan kebahagiaan, maka itu sudah beramal pada orang lain.

Meskipun demikian, hanya memberikan sebuah senyuman yang tulus tidaklah selamanya mudah. Terkadang wajah rasanya berat sekali. Mengapa demikian? Karena batin kita belum merasakan kedamaian. Oleh karena itu, tersenyum sesungguhnya juga adalah latihan spiritual yang mendalam, walau banyak  orang meremehkannnya. Kita harus menjadikan batin kita damai terlebih dahulu, sehingga dapat tersenyum dengan tulus.

Barangkali kita berpikir,"Apakah arti sebuah senyuman tulus." Senyuman yang tulus turut menaburkan perdamaian pada seluruh dunia. Itulah sebabnya, jika kita menyaksikan rupang Bodhisattva Avalokitesvara, maka Beliau selalu menampilkan senyuman. 

Semoga bermanfaat.

Jumat, 02 Agustus 2013

PERMAINAN ULAR TANGGA

PERMAINAN ULAR TANGGA

Artikel Dharma ke-7, Agustus 2013

Ivan Taniputera
3 Agustus 2013




Hampir sebagian besar orang tentu pernah bermain ular tangga. Ini merupakan permainan yang sangat populer. Pada kesempatan kali ini, marilah kita merenungkan filosofi di balik permainan ular tangga. Permainan ini dapat mencerminkan kehidupan para makhluk di tengah samsara. Para insan yang belum merealisasi pencerahan dapat naik dan turun pada papan permainan tersebut, yang melambangkan roda samsara atau lingkaran kelahiran beserta kematian. Mereka naik dan turun pada berbagai alam kehidupan, sebelum merealisasi pembebasan sejati.

Dalam kehidupan nyata, kita menyaksikan bahwa kehidupan seseorang dapat naik dan turun. Ada orang yang masa mudanya hidup miskin atau pas-pasan, namun masa tuanya bergelimang harta atau berkecukupan. Ada juga orang yang menjadi kaya dengan cepat melalui cara tidak halal, misalnya korupsi; namun tak lama kemudian mengalami kejatuhannya serta harus mendekam dalam tahanan. Ada juga orang yang masa mudanya kaya, namun mengalami kebangkrutan. Memang begitulah kehidupan manusia. Senantiasa dinamis dan mengalami perubahan terus-menerus.

Oleh karenanya, kita harus senantiasa waspada dalam menghadapi arus perubahan ini. Kita harus mampu membangkitkan kebijaksanaan kita, sehingga tidak mudah mengalami kejatuhan, antara lain dengan tidak tergoda oleh harta tak halal. Kita harus mewaspadai pula tawaran investasi yang menjanjikan keuntungan dengan mudah. Kita harus ingat bahwa segala sesuatu memerlukan usaha dan kerja keras. Sesuatu yang nampaknya merupakan jalan pintas sangat perlu diwaspadai.

Semoga bermanfaat.

JANGAN BERLEBIHAN

JANGAN BERLEBIHAN

Artikel Dharma ke-6, Agustus 2013

Ivan Taniputera
3 Agustus 2013




Renungan ini diambil dari Sutra Seratus Perumpamaan (Baiyujing). Dikisahkan mengenai seseorang bodoh yang diundang makan di rumah temannya. Namun sewaktu mencicipi hidangan, ternyata masakannya masih hambar. Oleh karenanya, sang teman lalu membubuhkan garam pada masakan tersebut. Setelah dicoba kembali, ternyata rasanya menjadi lebih enak. Orang bodoh itu lantas menyangka bahwa jika sedikit garam saja sudah bisa menimbulkan rasa yang enak. tentunya garam pasti rasanya sangat luar biasa. Ia lantas mengambil tempat garam dan menuangkan sebanyak mungkin garam ke mulutnya. Ternyata, mulutnya menjadi serasa terbakar.

Berdasarkan kisah perumpamaan ini kita mengetahui bahwa segala sesuatu tak boleh berlebihan, bahkan termasuk apa yang disebut sebagai "Dharma" sekalipun. Segala sesuatu bila berada dalam proporsi yang tepat akan menjadi indah atau bermanfaat. Sebaliknya, jika berlebihan justru merugikan atau membahayakan. Dalam menjalankan apa yang kita yakini dan anggap bermanfaat atau baik juga hendaknya tidak berlebihan. Kita harus menjaga diri agar tak terjatuh dalam fanatisme membuta.

Salah satu analogi lagi adalah air dan api. Semua mahkluk hidup memerlukan air. Namun air berlebihan yang kita sebut "banjir" atau "tsunami" justru sangat membahayakan makhluk hidup. Api juga sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tetapi api berlebihan, yang biasa disebut "kebakaran" justru sangat berbahaya. Itulah sebabnya, kita harus mengetahui proporsi yang tepat dalam segala hal.

Semoga bermanfaat.

BERTUKARNYA KEBAIKAN DENGAN KEJAHATAN

BERTUKARNYA KEBAIKAN DENGAN KEJAHATAN

Artikel Dharma ke-5, Agustus 2013

Ivan Taniputera
2 Agustus 2013



Ini satu lagi Dharma dalam kehidupan sehari-hari. Wawasan ini saya dapatkan sewaktu mengupas kulit kacang tanah guna dijadikan bubur kacang. Pertama-tama butir-butir kacang yang ada dalam mangkuk semuanya berwarna merah karena masih ada kulitnya. Lalu satu demi satu kacang-kacang itu saya kupas kulitnya, sehingga tinggal menyisakan butiran-butiran tanpa kulit berwarna kuning. Mulanya hanya ada sedikit sekali butiran berwarna kuning. Mangkuk masih didominasi oleh kacang berwarna merah. Lama kelamaan butiran berwarna kuning yang telah dikupas kulitnya menjadi bertambah banyak, sehingga makin dominan. Akhirnya semua butiran kacang menjadi berwarna kuning, yang menandakan bahwa pengupasan kulit kacang telah selesai, dan kacang siap diolah menjadi bubur kacang.

Tiba-tiba timbul gagasan dalam benak saya, bahwa ini merupakan proses bagaimana kebaikan dapat bertukar dengan kejahatan. Awalnya, kita membiarkan saja sedikit pelanggaran. Kita berkata, "Biarlah hanya sedikit pelanggaran. Tidak apa-apa." Seiring dengan berjalannya waktu, pelanggaran bertambah banyak, dan kita yang tak merasakannya, terus menerus berkata, "Ah, tidak apa-apa. Hanya sedikit pelanggaran." Lama-kelamaan, tiada lagi kebaikan yang tersisa, hanya kita terus menerus mengatakan "tidak apa-apa." Baik sengaja maupun tak sengaja kita terus menerus menambah jumlah pelanggaran.

Oleh karenanya, dalam mempraktikkan disiplin moralitas (sila), kita tak boleh mengatakan "tidak apa-apa" bagi pelanggaran walau sekecil apapun. Sekali melanggar sila, pasti ada pelanggaran kedua, dan demikian seterusnya. Akibatnya tiada lagi kebajikan yang tersisa. Kejahatan walau sekecil apapun hendaknya tidak dilakukan.

Semoga ini dapat menjadi bahan renungan yang baik bagi kita semua. Semoga bermanfaat.

KEJUJURAN

KEJUJURAN

Artikel Dharma ke-4, Agustus 2013

Ivan Taniputera
2 Agustus 2013

Buddhadharma tidak harus merupakan kumpulan kata-kata atau kalimat yang muluk dan melambung tinggi, sehingga terkesan "indah" ataupun "sulit dipahami." Buddhadharma sesungguhnya sangatlah sederhana dan dapat dijumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Berikut ini adalah pengalaman saya yang sungguh-sungguh terjadi terkait kejujuran. Peristiwanya terjadi pada kurang lebih tahun 2002. Waktu itu saya sedang dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Surabaya. Barang bawaan saya sungguh banyak dan berat. Oleh karenanya, saya lantas meminta seorang anak yang biasa membawakan barang agar membantu saya. Namun, pada saat itu saya datang terlalu awal ke Stasiun Gambir, yakni kurang lebih pukul 20.00, padahal kereta api tiba sejam kemudian.

Dengan demikian, saya terpaksa menunggu selama sejam di tempat jalur keberangkatan kereta api. Karena kereta apinya belum ada, saya meminta anak itu agar menaruh barang-barang bawaan saya di lantai jalur keberangkatan kereta. Saya membayar keseluruhan ongkos yang telah disepakati bersama dan anak itu menjanjikan bahwa sejam kemudian dia akan datang lagi guna membantu saya mengangkat barang bawaan dari lantai ke dalam gerbong. Anak itu lalu meninggalkan saya. Sebenarnya saya tidak begitu berharap anak itu akan kembali lagi. Saya pikir jika dia tidak kembali, dengan sedikit mengerahkan lebih banyak tenaga, saya tetap akan berhasil mengangkatnya ke dalam gerbong.

Akhirnya, setelah menunggu kereta api yang akan membawa saya kembali ke Surabaya datang. Ternyata anak itu menepati janjinya. Ia kembali lagi dan membantu saya mengangkati barang bawaan ke dalam gerbong. Sungguh suatu teladan kejujuran yang luar biasa. Bisa saja ia tidak kembali lagi karena telah menerima seluruh pembayaran jasanya. Namun anak itu memegang teguh janjinya. Sebagai penghargaan atas kejujurannya itu, saya memberikan tambahan uang.

Anak itu mungkin hidup dalam kekurangan, sehingga ia harus bekerja hingga larut malam. Kendati demikian, banyak orang yang telah bergelimang kemewahan, masih melakukan tindakan-tindakan tidak halal demi meningkatkan pendapatannya sendiri. Kecurangan di kalangan orang-orang yang justru berkelimpahan harta duniawi makin meraja lela. Seandainya mereka bisa belajar dari kejujuran anak kecil itu. 

Di manakah Hyang Buddha mengajarkan nilai kejujuran? Hyang Buddha mengajarkan nilai kejujuran pada Kebenaran Mulia yang berbunyi samma vacca (Pali) atau samyak vak (Sansekerta). Artinya adalah "ucapan benar." Di sini kita hendaknya bersikap jujur dan tidak menipu atau membohongi orang lain. Kejujuran juga adalah sesuatu yang utama dan mulia dalam Agama Buddha.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat, tidak hanya bagi umat Buddha saja, melainkan seluruh umat manusia.