Kamis, 26 September 2013

APAKAH MAITREYA ITU BUDDHA ATAU BODHISATTVA?

APAKAH MAITREYA ITU BUDDHA ATAU BODHISATTVA?

Artikel Dharma ke-36, September 2013

Ivan Taniputera
26 September 2013




Dua orang sedang berdebat dengan sengit.

A: Maitreya itu Buddha.
B: Bukan! Maitreya itu Bodhisattva.
A: Tidak bisa. Maitreya itu Buddha.
B: Itu tidak benar! Maitreya itu Bodhisattva.
A: Pokoknya Maitreya adalah Buddha dan saya tahu itu pasti benar.
.......

Demikianlah mereka berdebat dan tidak ada seorang pun bersedia mengalah. Namun apakah mereka sudah berjumpa dengan Maitreya? Apakah baik A atau pun B tahu dengan pasti bahwa Maitreya itu seorang Buddha atau Bodhisattva? Mereka hanya mengetahui dari "tulisan" dan "kata orang." Tiada seorang pun pernah membuktikannya sendiri.

Marilah kita renungkan. Barangkali sebagian besar dari kita melekat pada "tulisan" dan "kata orang" yang kita lekati sebagai "kebenaran mutlak." Di luar apa yang kita yakini adalah salah. Kendati kita hanya mengandalkan "tulisan" dan "kata orang" namun kita berlagak seolah-olah telah membuktikannya sendiri. Ibaratnya seseorang yang hanya mengenal kota Paris dari brosur-brosur perjalanan, lalu berlagak seolah-olah telah mengunjungi sendiri kota tersebut. Padahal sebuah kota bisa terus menerus mengalami perubahan, sehingga sebuah brosur perjalanan bisa saja menjadi tidak akurat. Namun bayangkan orang itu mempertahankan dengan gigih apa yang dibacanya dari brosur perjalanan tersebut. Segenap penggambaran kota Paris yang tidak sesuai dengan brosur perjalanan miliknya adalah keliru. Apakah kita sering bersikap seperti itu?

Lalu apakah Maitreya itu Buddha atau Bodhisattva? Bagi saya tidaklah penting apakah Maitreya itu Buddha atau Bodhisattva. Bahkan saya mengenal Maitreya juga hanya dari pustaka-pustaka suci dan literatur Buddhis. Saya belum pernah berjumpa sendiri dengan Maitreya. Sejujurnya saya pun tidak mengetahui apakah Maitreya benar-benar ada atau tidak. Agama Buddha sendiri juga tidak mengajarkan agar kita percaya membuta begitu saja, bukan? Bagi saya perdebatan semacam itu tidaklah penting. Lebih penting bagi kita adalah berjuang merealisasi pembebasan, atau jika tujuan itu dianggap terlalu muluk, maka yang penting adalah bagaimana menjadikan diri saya berbahagia. Segenap perdebatan yang tidak perlu adalah melelahkan pikiran.

Kedua, mana yang lebih penting memperdebatkan apakah Maitreya itu Buddha dan Bodhisattva atau merealisasi tingkat Bodhisattva dan Kebuddhaan? Memperdebatkan mengenai makanan tidak akan membuat Anda kenyang. Kalau Anda ingin kenyang, makanlah, bukan berdebat atau meributkan mengenai makanan.

Alkisah ada keluarga yang sebelum makan berdebat panjang lebar, mengenai bagaimanakah tampilan makanan itu seharusnya, bagaimanakah piring, gelas, sendok, serta garpu hendaknya diatur, dan hal-hal lain yang remeh temeh. Hasilnya bukan perut yang kenyang, melainkan mulut beserta pikiran yang lelah.

Semoga dapat menjadi bahan renungan bermanfaat.

Jumat, 06 September 2013

FESTIVAL GADIS LENGGAK-LENGGOK TINGKAT DUNIA

FESTIVAL GADIS LENGGAK-LENGGOK TINGKAT DUNIA

Artikel Dharma ke-35, September 2013

Ivan Taniputera
6 September 2013



Alkisah di sebuah negeri antah berantah hendak diadakan Festival Gadis Lenggak Lenggok Tingkat Dunia 2013. Meskipun demikian, acara ini menuai kontroversi karena adanya pihak yang pro maupun kontra. Salah satu organisasi kemasyarakatan di negeri antah berantah dengan gigih menentangnya, karena dianggap bertentangan dengan keyakinan mereka. Mereka bahkan mengancam siap menggunakan kekerasan dan kekuatan fisik demi menggagalkan festival internasional tersebut. Pernyataan ini memancing reaksi kelompok lain yang kurang menyukai organisasi kemasyarakatan tersebut. Ada yang memaki-maki saja dan bahkan ada pula yang siap bertempur melawan mereka hingga titik darah penghabisan. Di sini kita menyaksikan bahwa negeri antah berantah tersebut terancam disintegrasi atau perpecahan yang akut. Sementara itu, para musuh negeri antah berantah diam-diam menyaksikannya dengan penuh suka cita.

Bagaimanakah kita menelaah hal ini dari sisi Dharma? Apakah kita sebagai umat Buddha seharusnya pro atau kontra terhadap penyelenggaraan Festival Gadis Lenggak Lenggok Tingkat Dunia? Saya akan mengemukakan berbagai pandangan saya. Pertama-tama, kita hendaknya mengingat bahwa baik pro maupun kontra itu adalah dua pandangan ekstrim. Dalam tataran kebenaran pamungkas, maka tiada lagi keserba-menduaan antara "pro" dan "kontra." Semuanya adalah pandangan ekstrim hasil manipulasi pikiran. Dengan demikian, terhadap festival tersebut kita hendaknya mengembangkan suatu jalan tengah dan mencoba mengamati segala sesuatu sebagaimana adanya, tanpa memendam kebencian atau kesukaan meluap-luap terhadap festival semacam itu.

Kalau kita telaah lebih jauh lagi, Hyang Buddha mengajarkan bahwa hawa nafsu keinginan rendah (tanha) adalah sumber ketidak-bahagiaan di muka bumi ini. Tujuan pamungkas Agama Buddha adalah membangkitkan kebahagiaan sejati terbebas dari segenap penderitaan. Salah satu obyek hawa nafsu keinginan adalah pesona ragawi atau sensualitas (kama). Pikiran senantiasa mencari sosok-sosok yang indah dan menggiurkan. Oleh karenanya, lenggak-lenggok tubuh molek di atas panggung adalah salah satu upaya mengumbar pesona ragawi (kama), selaku salah satu obyek hawa nafsu keinginan. Mengingat bahwa tujuan pamungkas Agama Buddha adalah menransformasikan hawa nafsu keinginan rendah (tanha) menjadi kebahagiaan sejati, maka tentu saja Festival Gadis Lenggak Lenggok Tingkat Internasional sangat tidak sejalan dengan Agama Buddha. Namun kita tidak perlu membencinya. Kita cukup menjauh saja dan tidak perlu membenci atau berupaya menggagalkannya dengan kekerasan. Kebencian dan kekerasaan hanya akan menghasilkan gelombang kebencian beserta kekerasan baru.

Selanjutnya, festival semacam itu mengandung kesan adanya "perlombaan." Kendati ada yang mengatakan bahwa festival tersebut tidak hanya menonjolkan pesona ragawi saja, melainkan juga intelektualitas beserta peri kemanusiaan. Meskipun demikian, peri kemanusiaan bukanlah sesuatu yang menurut saya pantas dilombakan. Peri kemanusiaan adalah kewajiban setiap makhluk yang merasa dirinya manusia dan tidak perlu dilombakan. Peri kemanusiaan harus berasal dari hati nurani manusia itu sendiri, bukan sesuatu yang dimanipulasi. Jadi, kita tidak perlu berlomba menjadi suatu "sosok paling berperi kemanusiaan di dunia." Menurut filsafat Timur, orang yang paling mulia bukanlah yang sanggup menaklukkan gunung tertinggi, melainkan menaklukkan ke-aku-annya sendiri. Ini adalah sesuatu yang luar biasa sulit. Menaklukkan gunung tertinggi masih lebih mudah ketimbang menaklukkan sang "aku."

Demikianlah, menurut hemat saya, kita sebagai umat Buddha tidak perlu menyukai atau membenci festival tersebut. Namun cukup bagi kita menjauhinya saja. Semoga pihak-pihak yang bertikai dapat membebaskan diri dari kebencian dan permusuhan. Semoga mereka menyadari bahwa kita sebagai suatu bangsa dapat diumpamakan sebagai satu tubuh. Jika tangan kanan mencubit tangan kiri, maka rasa tidak nyaman akan melanda seluruh tubuh.

Semoga bermanfaat.