Rabu, 25 Januari 2012

Membebaskan Buddhisme dari Sektarianisme

Membebaskan Buddhisme dari Sektarianisme

Ivan Taniputera

Kita tidak dapat memungkiri bahwa sebagaimana halnya dengan agama-agama dan keyakinan lainnya, Buddhisme terpecah menjadi beberapa sekte atau aliran. Timbulnya beberapa sekte atau aliran ini memang perlu disikapi secara positif dan negatif sekaligus. Berdasarkan sudut pandang positif, kita tidak dapat memungkiri bahwa timbulnya berbagai aliran merupakan reaksi terhadap berbagai "selera" manusia yang berbeda-beda dalam dunia spiritual. Dengan demikian, adanya satu aliran saja tidak akan dapat mengakomodasi pandangan semua orang. Hal ini dapat kita analogikan dengan sebuah rumah makan yang menyediakan berbagai menu. Adanya berbagai pilihan menu ini tentu saja sangat menggembirakan para pengunjung restoran karena mereka beroleh kesempatan untuk menyantap hidangan sesuai dengan seleranya masing-masing. Bila kita hanya menyediakan satu menu saja, maka orang yang menggemari makanan lainnya tentu tidak akan berkunjung ke rumah makan kita. Buddhisme adalah ajaran yang sangat kaya dengan "84.000 ajarannya." Tentu saja kita tidak akan sanggup mempelajari semuanya, sehingga akhirnya para guru sesepuh di zaman dahulu menyeleksi metode-metode yang sesuai dengan pemahamannya, melatihnya, dan kemudian mengajarkannya pada para murid mereka. Dengan demikian, timbullah beberapa sekte. Di dalam Mahayana sendiri kita kenal aliran-aliran Vinaya (Lu, memusatkan perhatian pada Vinaya), Sukhavati (Jingdu, memusatkan perhatian pada Sutra-sutra Sukhavati), Dhyana (memusatkan diri pada pelatihan meditasi Chan), Tantra (Mizong, memusatkan perhatian pada Sutra Mahavairocana dan Susiddhikara), Panggung Surgawi (Tiantai, memusatkan perhatian pada Sutra Saddharmapundarika), Trisastra (Sanlun, memusatkan perhatian pada tiga karya Nagarjuna), dan lain sebagainya. Tidak ada yang lebih unggul atau baik di antara semua sekte-sekte, kendati seorang praktisi boleh saja meyakini bahwa metode yang dilatihnya adalah yang paling bermanfaat (bagi dirinya). Masing-masing aliran itu telah menghasilkan banyak suciwan yang merealisasi pembebasan bagi dirinya dan mendatangkan manfaat bagi banyak makhluk.

Sisi positif kedua, banyaknya sekte mencerminkan kekayaan tradisi Buddhis yang tidak ada habis-habisnya untuk dipelajari. Kita patut mengakui bahwa pengaruh budaya suatu bangsa yang baru menerima Buddhisme turut mempengaruhi perkembangan sekte di negeri tersebut. Hubungan ini berlangsung secara timbal balik sehingga saling memperkaya. Buddhisme menjadi dapat lebih dipahami oleh masyarakat negeri tersebut, tentu saja dengan tidak meninggalkan semangat Buddhisme yang asli.

Kini kita akan membahas sisi negatif yang menyedihkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa sekte telah timbul dan mengatas-namakan Buddhisme tetapi mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran dasar Guru kita, Buddha Gautama. Marilah kita ambil contoh suatu sekte X yang telah berkembang di negeri kita dan memperoleh jumlah pengikut signifikan. Di atas altar sekte itu terpampang tulisan berbunyi "Tuhan yang Maha Esa." Tentu saja hal ini agak menggelikan karena Buddhisme sendiri tidak pernah mengajarkan adanya Tuhan. Saya tidak mengetahui bagaimana konsep ketuhanan mereka, tetapi jelas sekali sebutan itu sangat rancu. Saya lebih setuju jika mereka menggunakan istilah "Nibanna yang Maha Esa," tetapi tidak menganjurkannya karena istilah "maha esa" sendiri merupakan suatu "nama" atau "definisi," padahal nibanna tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Jadi yang terbaik ya barangkali tidak perlu menuliskan apa-apa. Kedua, sekte tersebut mengajarkan bahwa era Buddha Sakyamuni telah berakhir dan digantikan oleh Buddha selanjutnya. Ajaran ini bertentangan dengan literatur-literatur Buddhis yang ada. Buddhisme dengan jelas mengajarkan bahwa Buddha berikutnya (Phra Arya Metteya atau Maitreya) akan turun setelah adanya suatu megapolis bernama Ketumat dan usia manusia akan menjadi sangat panjang. Meskipun demikian, kita tidak dapat memungkiri bahwa ajaran tersebut juga mengajarkan ajaran yang bagus. Tetapi satu hal yang sangat bertentangan dengan praktek Buddhis adalah ajaran bahwa seseorang dapat masuk surga dengan menerima tiga pusaka versi mereka. Buddhisme mengajarkan bahwa seseorang dapat masuk surga dengan menjalankan Pancasila Buddhis dan bukannya dengan menerima pusaka dalam bentuk apapun. Tentu saja sebagai umat Buddhis kita harus mengembangkan toleransi yang baik. Kita tidak perlu merusak atau menghancurkan tempat ibadah mereka, jika berpendapat itu adalah sekte menyimpang yang mengatas-namakan Buddhis. Yang dapat kita lakukan adalah membina umat Buddhis sendiri agar mengenal Dharma yang benar dan bila ada kesempatan memperkenalkan pada umat sekte tersebut apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Buddha Gautama. Jadi kita tidak perlu menempuh jalan konfrontatif, semua dapat dilakukan melalui dialog, sebagaimana yang saya lakukan dengan umat aliran tersebut. Perkembangan menggembirakan, berdasarkan pengamatan saya, kini aliran tersebut sudah banyak mengajarkan Dharma Sang Buddha yang benar.

Sisi negatif kedua yang cukup menyedihkan adalah gontok-gontokkan antara Mahayana dan Theravada. Masing-masing saling menjelekkan satu sama lain. Ini tentu saja melemahkan perkembangan Buddhisme di Indonesia. Umat yang baru mengenal Buddhisme akan bingung. Penganut Theravada mengatakan bahwa alirannya merupakan yang terbaik dan menganggap sesat Mahayana. Sebaliknya, umat Mahayana mengatakan bahwa Theravadisme tidak cukup memiliki cinta kasih dan merupakan Dharma kelas bawah. Pandangan semacam ini tidak sehat bagi perkembangan Buddhisme di Indonesia. Untunglah, saat saya baru pertama kali mengenal Buddhisme di Jerman, hal semacam itu tidak saya alami. Saya mendapati bahwa umat Theravada dan Mahayana di sana sangat akur. Kegiatan-kegiatan di vihara Theravada (Frohnau) diumumkan pula di vihara Mahayana (Foguangshan, Innungstrasse) dan begitu pula sebaliknya. Terkotak-kotaknya umat Buddha melemahkan perkembangan Buddhisme itu sendiri.

Memang kita patut mengakui bahwa Theravada tidaklah 100 % sama dengan Mahayana. Jika kita melihat peta penyebaran Buddhisme, maka jelas sekali bahwa wilayah yang didiami umat Buddha terbentang pada jarang 1/3 keliling bumi (sekitar 15.000 km). Mulai dari Srilanka hingga Jepang. Secara logis, izinkanlah saya bertanya, "Mungkinkan menjaga homogenitas di tempat seluas itu?" Marilah kita ambil Tiongkok sebagai contoh. Kawan saya mengatakan bahwa jarak yang berbeda sekitar 100 km saja sudah terdapat bahasa daerah berbeda yang tidak dapat dipahami satu sama lain. Nah, bandingkan dengan jarak sekitar 15.000 km tersebut. Jadi sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, budaya juga ikut membentuk sekte yang ada. Suatu agama agar dapat diterima masyakarat harus dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Mari kita cermati kembali apa dilakukan oleh Kukai (Kobo Daishi) sewaktu hendak menyebarkan Buddhisme di Jepang. Apakah Beliau langsung mendirikan panggung dan membabarkan Dharma? Jawabnya tidak. Yang pertama Beliau lakukan adalah pergi mengunjungi sebuah kuil Shinto dan memohon izin kepada dewa yang dipuja di sana untuk menyebarkan Buddhisme. Dewa itu akhirnya menjawab bahwa seluruh dewa-dewi Shinto sesungguhnya adalah emanasi para Buddha dan Bodhisattva. Akhirnya Buddhisme mendapat simpati rakyat Jepang dan berkembang pesat semenjak saat itu. Mari kita bandingkan suatu agama yang tidak dapat diterima di Tiongkok karena mengajarkan penghancuran patung-patung. Meskipun sudah memasuki Tiongkok semenjak abad ke-17, tetapi ia tidak mengalami perkembangan berarti hingga saat ini. Bandingkan pula dengan aliran Sarvastivada yang akhirnya lenyap dari Tiongkok karena tidak bersedia menyesuaikan dengan budaya setempat. Tentu saja, penerimaan budaya setempat hendaknya tidak menghilangkan semangat asli Buddhisme. Yang Arya Yogi Chen pernah mengatakan: "Oranglah yang hendaknya menyesuaikan diri pada Dharma dan bukannya Dharma yang menyesuaikan diri dengan orang itu." Jadi jelas Dharma tidak dapat dikompromikan. Tetapi ajaran yang terlalu kaku juga tidak akan bermanfaat. Jadi sekali lagi kita harus kembali pada Jalan Tengah. Suatu penyesuaian boleh saja asalkan tidak menghilangkan semangat asli Buddhisme. Oleh karena itu, sekali lagi mengharapkan suatu ajaran Buddhis yang 100 % sama di tempat seluas itu sangatlah mustahil. Buddhisme Theravada di Muangthai dan Myanmar sendiri sudah berbeda. Masing-masing mengembangkan tradisinya sendiri. Masing-masing memiliki metode meditasinya sendiri. Kita patut mengakui bahwa perbedaan itu memang ada.

Kini yang perlu kita lakukan adalah memahami mengapa perbedaan itu dapat terjadi. Ambil contoh masalah jubah. Di negara tropis seperti India mengenakan jubah tanpa lengan tidak masalah, tetapi apa yang terjadi bila Buddhisme menyebar hingga ke kutub utara atau Siberia yang suhunya mencapai minus 50 derajat Celsius? Jika jubah semacam itu dipertahankan, bisa-bisa bhikkhunya akan mati kedinginan. Tentu saja, Buddha tidak pernah mengajarkan seseorang untuk mati kedinginan bukan? Jadi Vinaya perlu kita ambil esensinya dan bukan menerimanya secara harafiah. Esensi pattimokkha adalah mengajarkan seorang biarawan Buddhis untuk hidup secukupnya. Tentu apa yang dimaksud "secukup"nya ini berbeda dari masing-masing lokasi geografis ke lokasi geografis lainnya. Kita tidak dapat memukul rata semuanya. Di tempat-tempat yang beriklim dingin orang membutuhkan pakaian dan makanan yang berbeda dengan orang di daerah tropis. Hidup "secukup"nya tidak sama dengan hidup "kekurangan" atau menyiksa diri. Jadi, selama hal itu tidak menimbulkan kemelekatan maka masalah jubah hendaknya tidak dipersoalkan. Banyak orang yang menuduh Mahayana telah menyimpang dalam hal penggunaan jubah, padahal hal ini tidaklah benar. Bila kita hanya menilik seseorang dari jubahnya saja, di Muangthai banyak pula bhikkhu yang mengenakan jubah yang "benar" tetapi melakukan penyimpangan dalam hal lainnya. Memang benar, bahwa Vinaya yang ditetapkan Buddha tidak dapat dikompromikan. Tetapi ini dalam artian esensinya dan bukan makna harafiahnya. Seorang bhikshu Mahayana boleh saja mengenakan pakaian berlengan, jika memang itu yang dibutuhkannya. Tetapi jika ia mulai menghiasi pakaiannya dengan mutiara atau emas, barulah itu boleh dianggap penyimpangan. Sejarah membuktikan bahwa Vinaya Pali sendiri juga mengalami evolusi dari waktu ke waktu.
Lalu bagaimanakah, suatu aliran dapat diterima sebagai bagian dari Buddhisme? Setidaknya ada beberapa syarat:

(1)Mengakui Buddha Sakyamuni sebagai guru utama
(2)Mengakui Empat Kebenaran Mulia dan Delapan Jalan Tengah
(3)Menerima anatta, dukkha, anicca
(4)Mengakui adanya hukum karma dan patticcasamupada
(5)Menerima nibanna sebagai tujuan tertinggi

Lima butir di atas mencerminkan dasar Buddhisme yang tidak dapat diingkari sebagai seseorang yang mengaku murid Buddha.

Teori dan Praktik Dalam Buddhisme

Teori dan Praktik dalam Buddhisme
Ivan Taniputera dipl. Ing.
16 November 2006

Pengantar

Karya tulis ini dihasilkan karena keprihatinan penulis terhadap perselisihan yang terjadi di dunia Buddhis sehubungan dengan masalah teori dan praktek. Sebagian umat Buddha menyatakan bahwa praktek lebih penting dibandingkan teori, sehingga mereka tidak lagi bersedia mendalami ajaran Dharma lebih lanjut. Bahkan terjadi kecenderungan untuk melabeli orang lain yang tidak sepaham dengan mereka sebagai orang yang "hanya dapat berteori tanpa berpraktek." Jadi, apa yang dimaksud dengan "praktek" ini lalu dijadikan semacam alat untuk merendahkan orang lain. Sebaliknya, ada umat Buddha yang menyatakan bahwa teori lebih penting ketimbang praktek, atau dengan kata lain seseorang hendaknya mempelajari teorinya terlebih dahulu sebelum menjalankan praktek Buddhis. Tetapi, pandangan ini juga membawa efek samping, yakni dapat membuat seseorang terlena dan terus menerus mempelajari teori tanpa mempraktekkannya. Selain itu, tanpa dipraktekkan ajaran Buddhis dapat membawa pada kebingungan, pertanyaan ataupun spekulasi yang tidak bermanfaat, sebagaimana yang akan diulas dalam tulisan ini.
Dengan demikian, karya tulis ini dimaksudkan sebagai wahana untuk menempatkan teori dan praktek pada proporsinya yang benar, sebagaimana yang diajarkan oleh Buddha beserta para guru pewaris Jalan. Kita akan mengupas manakah yang lebih penting teori atau praktek dalam Buddhisme. Oleh karena merupakan penganut Buddhisme Mahayana-Tantrayana, penulis akan lebih banyak mengutip sutra Mahayana serta naskah-naskah Tantra.

1.Teori dan praktek mana yang lebih penting?

Ajaran Buddha yang secara umum mengandung aspek teoritis serta praktikal, bertujuan untuk membuat umat manusia dan semua makhluk berbahagia serta terbebas dari penderitaan. Kukai (774 - 835), seorang sesepuh aliran Shingon (Tantrayana) di Jepang menyatakan bahwa teori dan praktek adalah dua hal yang tak terpisahkan, seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut ini:

Buddhisme esoterik (Tantrayana) menurut Kukai, dibagi dua kategori, yakni: aspek teoritis (kyoso) dan aspek praktikal (jiso). Hal ini dapat diumpamakan dengan dua roda kereta atau sepasang sayap seekor burung (1)

Dengan demikian, teori dan praktek jelas sekali merupakan dua hal yang tak terpisahkan, khususnya bagi Buddhisme Vajrayana dan tentunya seluruh aliran Buddhisme secara umum. Jadi tidak ada yang lebih penting dibandingkan dengan yang lainnya. Berdasarkan analogi kereta dan burung di atas, apabila salah satu roda kereta lebih besar dibandingkan yang lain, maka kereta itu tidak akan dapat berjalan dengan baik. Hal yang sama berlaku pada seekor burung, jika salah satu sayapnya lebih besar dibandingkan yang lainnya, maka burung itu juga tidak dapat terbang dengan baik. Jadi teori dan praktek adalah dua hal yang tak terpisahkan dan harus dilakukan secara seimbang. Pada bagian selanjutnya akan diulas apakah yang akan terjadi bila terdapat ketidak-setimbangan di antara keduanya.

2.Teori atau intelektualisme mengabaikan praktek

Bagian ini akan membahas mengenai apakah yang dimaksud dengan berteori tetapi mengabaikan praktek, serta akibat-akibat buruknya bagi perjalanan spiritual seseorang. Myoe (abad ke-13), seseorang sesepuh aliran Kegon dan Shingon (Tantrayana) pernah mengatakan:

..., seseorang hendaknya belajar bila ada waktu luang. Namun apabila engkau hanya menyibukkan dirimu dengan studi intelektual, maka pikiranmu akan dilelahkan oleh sampah-sampah perbedaan doktrinal. Pada akhirnya, engkau akan terjerat ke arah itu, menjadi tidak tenang, dan benakmu hanya semata-mata disibukkan oleh buah-buah pikiran. Renungkan hal ini baik-baik (2)

Dengan demikian, teori dianggap telah mengabaikan praktek apabila pikiran seseorang hanya semata-mata dipenuhi oleh kebingungan. Salah satu wujud kebingungan itu, misalnya berhubungan dengan perbedaan doktrinal yang terjadi di antara berbagai sekte atau aliran Buddhisme. Kebingungan ini timbul karena Dharma hanya dipahami secara intelektual dan tidak dipraktekkan. Hal terburuk yang mungkin terjadi adalah timbulnya pandangan bahwa sekte atau alirannya sendiri yang paling benar; sedangkan yang lainnya adalah sesat. Sebagai contoh, adalah pandangan terhadap Buddha Amitabha yang populer dalam Buddhisme Mahayana. Ada sebagian orang yang mengkritik bahwa keyakinan terhadap Buddha Amitabha ini bertentangan dengan ajaran Buddha yang asli, sehingga dapat dianggap sebagai ajaran sesat. Mereka menggunakan kanon Pali sebagai acuan yang membantah eksistensi Buddha Amitabha beserta alam Sukhavati-nya. Namun, di dalam Buddhisme Mahayana sendiri, yang penting bukanlah Buddha Amitabha itu "ada" atau "tidak ada," melainkan metode praktek meditasinya. Dengan demikian, tidaklah penting, apakah Buddha Amitabha itu "eksis" atau "tidak." Membantah atau membuktikan eksistensi Buddha Amitabha dengan setumpuk bukti-bukti doktrinal atau intelektualisme merupakan sesuatu yang tidak tepat sasaran.
Efek samping berikutnya adalah timbulnya kebingungan terhadap ajaran Buddha, sehingga membangkitkan pertanyaan atau keraguan yang tidak perlu. Sebagai contoh adalah yang berkenaan dengan ritual memberi makan hantu kelaparan (preta), sebagaimana yang dipraktekkan oleh Buddhisme Mahayana (3) dan juga Theravada (4) Ada orang yang mempertanyakan apakah makanan yang dipersembahkan dapat benar-benar mencapai hantu kelaparan tersebut. Ini memang seolah-olah merupakan pertanyaan kritis, tetapi intisari ritual itu tidaklah terletak pada diterima atau tidaknya makanan persembahan pada para hantu kelaparan. Makna ritual ini sebenarnya terletak pada pembangkitan belas kasih dalam hati seseorang, yang peduli pada penderitaan makhluk lain. Ini dinyatakan oleh Buddha pada bagian akhir sutra tersebut:

Harapan bahwa dengan makanan ini semua orang akan beroleh usia panjang serta kedamaian. Dapat membangkitkan kemurnian dalam hati seseorang. Semua dewa akan senantiasa melindunginya, karena ia telah melakukan dana-paramita yang sempurna (5).

Jadi tata-cara ritual di atas, sesungguhnya adalah wujud pelaksanaan dana-paramita, yang tidak dapat dipahami berdasarkan pikiran intelek semata. Kebingungan itu selanjutnya dapat menimbulkan akibat buruk beserta keraguan atau sikap skeptis berlebihan terhadap Dharma. Bahkan akhirnya seseorang mungkin meninggalkan Dharma.
Seseorang mungkin pula menjadi sombong karena merasa telah memiliki banyak pengetahuan Dharma. Ia akan dengan mudah mencela orang lain yang dianggapnya tidak memiliki pengetahuan memadai. Padahal tingkat pencapaian spiritual tidaklah ditentukan oleh banyaknya pengetahuan yang dimiliki.
Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta di atas, secara ringkas pengabaian terhadap praktek dapat membawa akibat buruk sebagai berikut:

1.Timbulnya anggapan bahwa alirannya sendiri yang paling baik dan mencela aliran lain.
2.Timbul kebingungan dan keraguan terhadap Dharma.
3.Timbulnya pertanyaan yang tidak perlu.
4.Timbulnya kesombongan.
5.Meninggalkan Dharma.

Sebagai penutup, ada satu hal penting yang perlu diungkapkan di sini: penelaahan dan studi terhadap Dharma secara benar sesungguhnya adalah juga praktek Dharma. Ditinjau dari sudut pandang Mahayana, membaca sutra tanpa mengetahui artinya saja sudah merupakan tindakan terpuji, apalagi jika sanggup memahami maknanya. Jadi selama akibat-akibat buruk di atas tidak timbul, studi terhadap Dharma tidak dapat dikatakan berbeda dengan praktek.

3.Praktek mengabaikan teori atau intelektualisme

Hanya mementingkan praktek dan mengabaikan teori juga tidak akan membawa kemajuan spiritual, bahkan seseorang dapat terjerumus ke dalam jurang hambatan spiritual, seperti meyakini atau mempraktekkan sesuatu secara membuta, padahal apa yang disangkanya selaras dengan Ajaran Buddha itu justru bertentangan dengan Dharma. Oleh karena itu, Buddha pernah mengajarkan pada suku Kalama agar mempertimbangkan segala sesuatu masak-masak terlebih dahulu:

Oleh karena itu, warga suku Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis di dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai logika atau kesimpulan belaka, juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama, juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu atau karena ingin menghormati seorang pertapa yang menjadi gurumu... tetapi terimalah kalau engkau sudah membuktikannya sendiri... (6).

Berdasarkan kutipan di atas, jelas sekali bahwa Buddhisme juga mementingkan intelektualisme. Apa yang didengar atau dibaca hendaknya direnungkan terlebih dahulu dengan seksama. Di zaman globalisasi ini, banyak guru-guru dan ajaran palsu telah bermunculan, bahkan banyak yang mengusung label Buddhis. Oleh karena itu, melalui pemahaman terhadap ajaran yang benar, seseorang akan dapat dengan mudah mengenali guru-guru palsu tersebut dan tidak mempraktekkan ajarannya secara membuta.
Pemahaman yang baik merupakan dasar bagi kemajuan dalam praktek. Pada Sutra Seratus Perumpamaan, Buddha memaparkan kisah perumpamaan sebagai berikut:

Suatu kali ada orang bodoh yang pergi mengunjungi rumah kawannya. Sahabatnya itu menyuguhkan makanan pada tamunya. Karena makanannya ternyata hambar rasanya, tuan rumah menambahkan sedikit garam padanya. Orang bodoh yang menjadi tamu itu mencicipi masakannya kembali, dan merasa bahwa makanan itu sudah lebih enak. Ia berpikir bahwa rasa lezat itu berasal dari garam yang baru saja ditambahkan. Karena berpikir bahwa makanannya akan menjadi makin enak, ditambahkannya banyak garam. Kemudian orang bodoh itu makan lagi dengan perut kosong. Namun kemudian perutnya terasa tidak enak dan ia jatuh sakit (7)

Jadi jelas sekali, orang yang melakukan sesuatu tanpa dasar pemahaman yang benar, justru berpotensi merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Orang bodoh dalam kisah di atas tidak memahami bahwa garam hendaknya hanya ditambahkan secukupnya saja. Agar dapat mengetahui bahwa garam yang terlalu banyak justru merusak cita rasa makanan atau bahkan menyebabkan sakit perut, seseorang tidak perlu mengalami cerita di atas. Ia dapat belajar dari pengalaman orang lain atau menarik konsekuensi logis dari peristiwa lain yang terjadi di alam - bahwa segala sesuatu memerlukan keseimbangan. Dalam mempraktekkan meditasi Buddhis, seseorang hendaknya mempelajari terlebih dahulu secara seksama apa yang dimaksud dengan meditasi benar. Lebih jauh lagi, saat hendak melakukan perbuatan baik, seseorang juga harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perbuatan baik yang benar. Dharma mengandung makna yang luas dan dalam sehingga tak akan selesai dipelajari hingga seseorang meninggal, oleh karena itu belajar Dharma seharusnya merupakan proses yang berkesinambungan. Jadi di samping praktek, seseorang juga seyogianya terus menerus mempelajari Dharma.
Orang yang terlalu mementingkan praktek dapat pula terjerumus ke dalam kesombongan. Ada beberapa wujud kesombongan yang mungkin timbul. Pertama-tama, karena melekat pada suatu bentuk praktek, ia barangkali merasa bahwa apa yang dijalaninya itu merupakan sesuatu yang paling unggul dan mulai mencela orang lain. Umpamanya dengan mengatakan, "Meditasiku adalah yang paling unggul dan tercepat dalam membawa seseorang pada pembebasan." Orang yang gemar melakukan perbuatan amal dapat pula terjerumus dalam kesombongan dengan berpikir, "Melakukan perbuatan amal jauh lebih baik daripada duduk bermeditasi seperti patung." Seluruh pemikiran di atas bertentangan dengan semangat Buddhisme, sehingga tidak mencerminkan buah praktek Dharma yang benar. Seseorang mungkin pula mencela orang lain yang tidak sepaham dengannya sebagai orang yang tidak berpraktek Dharma dengan benar. Padahal yang dijadikan acuan adalah diri sendiri atau ke"aku"annya. Jadi tolok ukur praktek orang lain adalah kesepahaman dengan dirinya. Ke"aku"an praktisi semacam ini justru menjadi semakin tinggi, sehingga melenceng dari semangat Buddhisme yang asli.
Lebih jauh lagi, sebelum seseorang menjalankan meditasi, perlu terlebih dahulu mengetahui dasar-dasarnya dengan baik. Sutra Shuragama menyebutkan potensi timbulnya hambatan psikofisikal, yang disebut dengan "iblis skandha." Secara keseluruhan terdapat lima kelompok hambatan psikofisikal ini (sesuai dengan panca-skandha), yang masing-masing dibagi lagi menjadi sepuluh jenis (secara keseluruhan ada 50). Berikut ini adalah kutipan dari Sutra Shurangama mengenai salah satu wujud "iblis" yang menyerang rupa-skandha:

Ananda, apabila saat itu seseorang yang dengan mendalam mengamati kegemilangan nan ajaib itu, maka keempat unsur tidak lagi bekerja, dan dengan segera tubuh akan sanggup mengatasi hambatan. Kondisi ini disebut "kegemilangan murni yang menyatu ke lingkungan sekelilingnya." Ini merupakan kondisi sementara dalam proses pelatihan diri dan tidak menandakan perealisasian mulia sama sekali. Bila ia tidak berpikir bahwa ia telah menjadi seorang suciwan, maka hal ini baik sekali. Tetapi bila ia memandang dirinya telah menjadi seorang suciwan, maka kondisi semacam itu mudah sekali jatuh ke dalam pengaruh iblis.

Dalam bermeditasi seseorang mudah sekali mengalami hal-hal yang "luar biasa," seperti melihat cahaya gemilang. Ini merupakan proses yang biasa dan sama sekali tidak menandakan suatu realisasi spiritual tingkat unggul. Tetapi, orang yang tidak mengerti barangkali akan merasa bahwa ia telah mencapai suatu tingkatan spritual yang tinggi. Pada kondisi kejiwaan semacam ini, mudah sekali baginya untuk bersikap sombong dan jatuh ke dalam pengaruh hambatan batiniah yang diistilahkan dengan "iblis" tersebut. Apabila seseorang tidak mempelajari sutra di atas terlebih dahulu, akan mudah baginya terjerat ke dalam pandangan salah yang pada akhirnya menimbulkan kesombongan. Oleh karena itu, studi sutra bukanlah sesuatu yang remeh atau tidak perlu. Seseorang yang meremehkan studi sutra, mudah sekali terjerat oleh kesalahan dalam berpraktek. Pentingnya mempelajari Dharma dapat dijumpai pula dalam Sutra Buddhavacana Maitreya Bodhisattva yang menyebutkan mengenai Pranidhana-Maha-Dasa atau Sepuluh Janji Utama yang terdiri dari:

1.Hormat kepada para Buddha
2.Memuji Buddha
3.Memuja Buddha
4.Bertobat
5.Ikut bergembira
6.Memohon kepada Buddha untuk memutarkan Roda Dharma
7.Memohon kepada Buddha untuk menetap di semesta
8.Tekun menuntut ajaran Buddha
9.Mengabdi kepada segala makhluk
10.Menyalurkan jasanya (8)
Silakan perhatikan janji utama keenam dan kedelapan, yang memohon agar Buddha senantiasa membabarkan Dharma serta ketekunan dalam mempelajari Dharma.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, kita dapat melihat akibat buruk pengabaian terhadap teori:

1.Timbulnya kesombongan (dirinya lebih hebat dari orang lain yang "tidak sepaham" dengannya atau merasa metode meditasinya yang terbaik serta paling benar)
2.Percaya sesuatu secara membuta (meyakini sepenuhnya perkataan seorang guru, orang yang dianggap bijaksana, atau yang tertulis pada sebuah buku)
3.Mudah jatuh ke dalam pandangan salah (iblis skandha)
4.Apa yang dipraktekkannya mungkin melenceng dari Dharma

4.Pandangan terhadap skolatisisme Buddhis

Dewasa ini minat terhadap Buddhisme semakin meningkat di dunia Barat, sehingga membangkitkan banyak sarjana Buddhis, seperti Paul Williams, David J. Kaluhapana, Thomas Cleary, John Blofeld, Peter Della Santina, Kogen Mizuno, dan lain sebagainya. Masing-masing berusaha menghadirkan Buddhisme sebagaimana adanya, tanpa diselimuti oleh sentimen keagamaan. Salah satu hal yang menjadi pokok bahasan para ahli Buddhologi adalah masalah otentisitas sutra-sutra Buddhis:

Terdapat bukti bahwa bangsa Tionghua secara khusus begitu terkesan pada sutra-sutra Mahayana, sehingga mereka mengarang sejumlah sutra "asli tapi palsu," yang beberapa di antaranya memainkan peranan penting dalam perkembangan Buddhisme Tiongkok. Mahaguru Zen Jepang yang bernama Dogen (abad ketigabelas), pada masa mudanya di Tiongkok, mencurigai bahwa Surangama Sutra (berbeda dengan Surangamasamadhi Sutra yang dianggap asli), salah satu sutra penting dalam Buddhisme Zen, bukanlah sutra otentik yang berasal dari India. Pandangan ini kini diterima oleh para sarjana pada umumnya.... Terlepas dari semua itu, tradisi pra-Mahayana menganggap bahwa seluruh sutra Mahayana adalah palsu! (9).

Para sarjana tersebut di atas membedah kitab suci Buddhisme dengan wahana intelektulitas dan kritik teks, sehingga sampai pada kesimpulan di atas. Memang benar, bahwa ditinjau dari segi historis serta kritik teks, naskah-naskah Mahayana diragukan keasliannya. Belakangan, ditemukan pula bukti bahwa kanon Pali yang lebih tua sekalipun juga mengalami evolusi, khususnya Vinaya Pitaka:

Ternyata kemurnian naskah Pali yang asli itu tidaklah seperti yang kita yakini sebelumnya. Terdapat bagian-bagian yang ditambahkan belakangan, seperti bagian Patimokkha Pali yang disebut Matika. Sutta-sutta menyebutkan bahwa bagian itu terdiri dari 150 butir aturan pelatihan, tanpa Aniyata dan Sekhiyavatta, yang ditambahkan belakangan setelah zaman penulisan sutta tersebut. Sementara itu, Vibhanga Pali, yang mengupas butir-butir aturan pelatihan diri dalam Patimokkha, menyebutkan mengenai persembahan yang diberikan umat pada cetiya. Ini memperlihatkan bahwa naskah ini berasal dari zaman yang lebih kemudian lagi, dimana cetiya telah menjadi tempat yang dianggap suci serta umat mulai terbiasa membawa persembahan ke sana. Contoh lain lagi adalah tercantumnya prosedur-prosedur yang harus dilakukan saat menghadapi perpecahan dalam sangha, tetapi ini bukanlah kebiasaan yang dianut Sang Buddha, karena para guru hendaknya berusaha mempersatukan kembali siswa-siswa mereka yang bertikai. Mereka seharusnya tidak menetapkan suatu metode yang justru makin memperlebar jurang perpecahan yang terjadi. Tambahan itu mungkin saja berasal dari para bhikkhu Mahavihara dan Abhayagirivihara di Srilanka yang terlibat perpecahan. Penulisan sabda-sabda lisan itu nampaknya tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa murni serta memiliki kesadaran penuh, karena kecerobohan tidak berlaku bagi mereka. Sehubungan dengan Kitab Vibhanga, tidaklah jelas apakah yang tertulis di sana adalah sabda-sabda Buddha sendiri ataukah berasal dari buah pemikiran penulisnya, karena terdapat pertentangan di dalamnya. Contoh kesalahan dalam Vibhanga adalah penjelasannya mengenai butir aturan bagi kain compang-camping lama (old rug), sebagaimana yang tercantum dalam butir aturan Nissaggiya Pacittiya, Kosiya-vagga 5. Penulis Vibhanga mendefinisikannya sebagai Jubah yang dikenakan hanya sekali. Padahal kain compang-camping itu seharusnya dipergunakan sebagai alas duduk dan bukannya dikenakan sebagai jubah. Warnanya saja berbeda dengan jubah yang biasa dikenakan oleh para bhikkhu. Kesalahan ini terjadi karena pada bagian sebelumnya ia baru saja membahas mengenai jubah lama (Nissaggiya Pacittiya, Civara-vagga 4), yang menyatakan bahwa jubah itu dianggap ama� apabila telah dikenakan sekali. Karena ceroboh ia menyalin begitu saja penjelasannya itu pada bagian selanjutnya (10).

Apa yang diungkapkan para sarjana itu adalah suatu fakta yang harus dihadapi oleh umat Buddha. Tetapi apakah fakta-fakta seperti itu akan menjadi serangan terhadap Buddhisme atau meruntuhkan keyakinan umat Buddha? Bila fakta semacam itu sanggup diposisikan dengan benar, tentu saja tidak akan berpengaruh terhadap keyakinan umat Buddha, karena pandangan Buddhis terhadap otentisitas jauh berbeda dengan tolok ukur para ahli Buddhologi tersebut. Umat Buddha memandang otensitas dari segi substansi atau isi suatu teks Buddhis. Jadi kendati suatu teks atau naskah yang dikatakan disabdakan oleh Buddha ternyata berasal dari masa ratusan atau ribuan tahun sesudah Buddha memasuki nirvana, tetapi apabila isinya selaras dengan semangat asli Buddhisme, ia tetap dianggap "otentik." Dalam salah satu kisah Zen disebutkan mengenai seorang guru yang membawa muridnya memandangi sebuah lukisan yang indah karya seniman ternama. Murid itu sangat mengabumi mahakarya seni tersebut. Ketika diberitahu bahwa karya itu sesungguhnya bukan karya asli seniman tersebut, sang murid menjadi kecewa. Namun gurunya mengatakan, "Karya asli seniman terkemuka itu atau bukan, toh engkau telah mengagumi keindahannya."
Dengan demikian, hasil penelitian para sarjana Buddhologi, bukanlah ancaman bagi Buddhisme; bahkan sebaliknya memberikan nuansa baru bagi umat Buddha dalam memahami sejarah asal mula agamanya. Banyak ajaran dalam naskah-naskah Buddhis yang dapat dipahami lebih baik dengan metode kritik teks serta hermeneutika, yakni menempatkan naskah itu pada konteks zamannya. Untuk itu diperlukanlah disiplin ilmu Barat, sehingga skolatisisme menjadi sesuatu yang kompatibel dan saling melengkapi dengan Buddhisme tradisional. Seseorang dapat menjadi seorang praktisi atau umat Buddha yang baik dan sekaligus seorang sarjana yang senantiasa mengedepankan metode ilmiah dalam mengulas sesuatu.
Ada sebagian orang yang menyatakan bahwa, skolatisisme Buddhis tidak mendatangkan manfaat, karena tidak membawa seseorang pada praktek Dharma. Pandangan ini tidak dapat dibenarkan, karena tujuan skolatisisme atau kajian ilmiah terhadap Buddhisme tidak dimaksudkan sebagai kegiatan spiritual. Dengan demikian, argumen yang menentang skolatisisme di atas tidak tepat, karena tujuan keduanya saja sudah berbeda. Skolatisisme ditujukan untuk mempelajari suatu ajaran secara ilmiah, sehingga setidaknya dapat diketahui bagaimana sejarah perkembangannya dari masa ke masa; sebaliknya, praktek Dharma merupakan kegiatan spiritual yang ditujukan untuk membimbing seseorang makin dekat pada pembebasan. Bila skolatisisme dianggap tidak bermanfaat, maka mempelajari cabang-cabang sains yang lain (fisika, kimia, biologi, dan lain sebagainya) juga harus dianggap tidak berguna (dengan alasan bahwa mempelajari sains juga tidak membawa seseorang pada praktek Dharma). Pandangan seperti itu jelas tidak sesuai bagi dunia modern dan dapat menimbulkan kesalah-pahaman bahwa Buddhisme bersikap anti-sains. Kajian ilmiah terhadap Buddhisme merupakan sesuatu yang berbeda dan tidak dapat dicampur adukkan dengan kegiatan spiritual Buddhis. Masing-masing harus memiliki ruang lingkupnya sendiri-sendiri dan tidak dapat dicampur-adukkan. Bagi seseorang yang hidup di muka bumi ini dan masih terjun di tengah-tengah masyarakat, harus terjadi keseimbangan antara praktek Dharma dan aktifitas duniawi. Menyatakan bahwa praktek Dharma adalah yang terpenting dan mengabaikan kegiatan duniawi, juga merupakan pandangan ekstrim yang bertentangan dengan Buddhisme. Bahkan seorang rohaniwan Buddhis terkadang juga masih berkutat dalam kegiatan-kegiatan duniawi.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa tujuan seseorang mempelajari Dharma ada dua macam: sebagai penunjang praktek (spiritual) dan sebagai kajian ilmiah (skolatisisme). Mempelajari Buddhisme sebagai kajian ilmiah semata sesungguhnya juga merupakan jalan menuju Kebuddhaan, seperti yang dinyatakan dalam Sutra Saddharmapundarika bab II:

Jika terdapat seseorang dengan pikiran kalut
Memasuki stupa ataupun candi
Dan Menangis meskipun hanya mengucapkan Namah Buddha (Terpujilah Buddha)
Ia telah menapaki Jalan Kebuddhaan.

Berdasarkan kutipan di atas, seseorang yang sekalipun dengan pikiran kacau mengucapkan nama Buddha, dikatakan telah menapaki jalan menuju Kebuddhaan. Oleh karena itu, seorang sarjana yang mempelajari Buddhisme, kendati hanya demi kajian ilmiah semata, seharusnya juga dapat dianggap telah mengikat jodoh karma dengan Kebuddhaan. Dengan demikian, skolatisisme bukanlah sesuatu yang tercela atau dianggap remeh; bahkan dapat pula dianggap sebagai bagian praktek Dharma. Meskipun seorang sarjana Buddhologi belum membawa apa yang dipelajarinya ke dalam tataran praktek spiritual, tetap saja ia dapat dikatakan telah "berpraktek."

5.Teori dan praktek - Realita nan tunggal

Di dalam Sutra Samdhinirmocana dinyatakan:

Ajaran Buddha adalah terlepas dari jangkauan dari bahasa/ kata-kata, dan ia terbebas pula dari dualisme. Kedalamannya berada di luar jangkauan pemahaman orang bodoh. Di dalam pandangan salah yang mereka anut, orang-orang bodoh menyenangi dualisme serta menumpukan kepercayaan pada kata-kata [semata].

Buddhisme mengajarkan bahwa kata-kata semata tidaklah mewakili hakekat atau esensi sejati segala sesuatu. Kata-kata atau bahasa adalah semata-mata wahana yang diciptakan guna mengomunikasikan "sesuatu" pada orang lain; tetapi ia bukanlah "sesuatu" itu sendiri. Karena terbebas dari batasan kata-kata, Realita Terunggul juga terbebas dari dualisme. Dengan demikian, teori dan praktek apabila ditinjau dari sudut Realita Terunggul bukanlah sesuatu yang berbeda atau bertentangan. Mempertentangkan teori dan praktek jelas bertolak bekang dengan makna sejati Buddhisme, karena sesungguhnya kedua hal itu adalah suatu kesatuan "kedemikianan segala sesuatu" (tathata) yang tak terpisahkan dalam dharmadatu. Jadi tidak ada "teori" dan juga tidak ada "praktek," karena semuanya adalah wujud konsep-konsep atau gagasan berupa kata-kata yang bermain dalam benak seseorang. Teori adalah praktek dan praktek juga adalah teori.

CATATAN KAKI

(1) Kukai Major Works, halaman 76.
(2) Shingon Refractions, halaman 276.
(3) Lihat Sutra Dharani Penolong Hantu Kelaparan dengan Mulut Berapi yang Disabdakan Buddha (Sansekerta: Pretamukhanijvalayasarakaradharanisutra; Mandarin: Foshuojiubayankoueguituoluonijing) - Taisho Tripitaka 1313.
(4) Lihat Tirokuddha Sutta.
(5) Terjemahan dari bahasa Mendarin.
(6) Kalama Sutta.
(7) Sutra Seratus Perumpamaan, kisah pertama.
(8) Dharma Pitaka halaman 272.
(9) Mahayana Buddhism halaman 39.
(10) The Entrance to the Vinaya: Vinayamukha, volume one, halaman x - xi.

Daftar Pustaka

Dharma Pitaka, Sangha Mahayana Indonesia

Hakeda, Yoshito S. Kukai Major Works: Translated, with an Account of His Life and a Study of His Thought, Columbia University Press, New York, 1972.

Keenan, John P. The Scripture on the Explication of Underying Meaning, Numata Center, 2000 (Catatan: terjemahan bahasa Inggris bagi Sutra Samdhinirmocana)

Sadakata, Akira. Buddhist Cosmology: Philosophy and Origins, Kosei Publishing Co., Tokyo, 2004.

Tanahashi, Kazuaki & Levitt, Peter. A Flock of Fools: Ancient Buddhist Tales of Wisdom and Laughter From The One Hundred Parable Sutra, Grove Press, 2004 (Catatan: terjemahan bahasa Inggris bagi Sutra Seratus Perumpamaan).

Unno, Mark. Shingon Refractions: Myoe and the Mantra of Light, Wisdom Publications, Boston, 2004.

Vajirananavarorasa, Phra. The Entrance to The Vinaya: Vinayamukha vol. 1, Mahamakutarajavidyalaya, Bangkok, 1992.

Watson, Burton. The Lotus Sutra, Columbia University Press, New York, 1993 (Catatan: terjemahan bahasa Inggris bagi Sutra Saddharmapundarika).

William, Paul. Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations, Rotledge, London, 1989.

Last edited by usnisha; 13-02-09 at 09:35.