Senin, 17 Februari 2014

CACING PADA KOTORAN ANJING

CACING PADA KOTORAN ANJING

Artikel Dharma ke-42, Februari 2014

Ivan Taniputera
17 Februari 2014



Alkisah ada dua orang guru yang merasa bahwa mereka telah berhasil menghilangkan keakuannya. Oleh karenanya, mereka lantas bertanding guna membuktikan hal itu. Caranya adalah dengan bertanding menyebut dirinya menjadi sosok atau sesuatu yang paling hina. Siapa yang bersedia menjadikan dirinya sebagai sosok atau sesuatu paling hina, maka dialah yang menang. 

Guru pertama berkata, "Aku adalah seekor anjing."
Guru kedua berkata, "Aku adalah kotoran anjing."
Guru pertama berkata lagi," Aku adalah cacing pada kotoran anjing."
Guru kedua berkata, "Baik kamu menang."

Bagaimanakah kita memaknai perlombaan di atas. Sesungguhnya perlombaan di atas adalah suatu anekdot menarik. Meskipun berlomba membuktikan keakuan siapa yang paling rendah, namun sesungguhnya perlombaan di atas justru memperkuat keakuan masing-masing. Suatu perlombaan adalah mengenai menang dan kalah: Aku menang dan kamu kalah. 

Pada kenyataannya di muka bumi banyak orang yang melakukan "perlombaan spiritual" semacam itu. Mereka berlomba-lomba memperlihatkan bahwa dirinya memiliki lebih sedikit keakuan, lebih sedikit kekotoran batin, lebih sedikit kemelekatan, dan lain sebagainya. Tetapi benarkah spiritualisme adalah sesuatu yang dapat dilombakan? Inilah yang perlu kita renungkan bersama. Benarkah mereka memiliki lebih sedikit kemelekatan. Bukankah pada suatu perlombaan itu terdapat unsur "kemelekatan untuk menang"?

Guru kedua yang berkata, "Baik kamu menang," pun sebenarnya mengatakan demikian untuk menang. Karena membiarkan guru pertama menang, maka ia hendak menyatakan bahwa dirinya "lebih hina" dibandingkan guru pertama. Karena menyatakan dirinya "lebih hina" dari guru pertama, maka dirinyalah secara kata-kata yang menang. Jadi taktiknya adalah memenangkan orang lain demi memenangkan dirinya sendiri. Dengan demikian, guru kedua lebih cerdik, tetapi dari sisi realisasi spiritual tetap saja ia masih memiliki keakuan dan keakuannya tidak lebih kecil dibandingkan guru pertama.

Jadi, perlombaan tersebut adalah gagal karena perealisasian spiritual tidak bisa dilombakan. Anda memiliki realisasi spiritual lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan orang lain itu tidaklah penting.

Kini adakah di antara Anda sekalian yang masih ingin berlomba membuktikan keakuannya paling rendah atau tidak lagi memiliki keakuan? Atau siapakah di antara kalian yang tidak lagi memiliki keakuan (atta)? Silakan tunjuk jari.

Sabtu, 08 Februari 2014

TERJEMAHAN YANG TEPAT BAGI SABBE SATTA BHAVANTU SUKKHITATA

TERJEMAHAN YANG TEPAT BAGI SABBE SATTA BHAVANTU SUKKHITATA

Artikel Dharma ke-41, Februari 2014

Ivan Taniputera.
8 Februari 2014



Banyak umat Buddhis menerjemahkan "Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata" sebagai "Semoga semua makhluk berbahagia." Namun marilah kita merenungkan apakah terjemahan ini tepat. Sebelumnya kita perlu mencari dahulu makna kata "sukkha." Kata "sukkha" pada mulanya secara etimologis dapat dipisahkan menjadi su (baik) dan kha (lubang poros). Lubang poros yang dimaksud di sini adalah lubang poros roda kereta. Jika lubang porosnya baik maka kereta dapat melaju dengan kencang. Oleh karenanya, kata sukkha awalnya berarti "berjalan dengan cepat atau mudah," yang mengacu pada lajunya kereta. Hal ini mengandung konotasi "berfungsi dengan baik," yakni lubang poros kereta yang berfungsi dengan baik. Pada perkembangan selanjutnya, kata sukkha dalam bahasa Pali memang dapat diterjemahkan sebagai "sejahtera" (well-being) atau "kebahagiaan" (happiness).

Jika demikian, kita kembali pada pertanyaan awal, apakah terjemahan "semoga semua makhluk berbahagia" itu tepat? Kata "bahagia" sendiri dalam bahasa Indonesia memiliki banyak tingkatan. Orang dapat berbahagia atas sesuatu yang buruk atau baik. Bahkan "orang dapat berbahagia di atas penderitaan orang lain." Sebagai contoh jika kita mengharapkan semua makhluk "berbahagia," maka kita juga hendaknya mengharapkan agar tukang copet akan mendapatkan banyak hasil copetan. Bila hasil copetannya banyak maka sang tukang copet tentunya akan berbahagia, bukan? Seorang pencuri juga akan "berbahagia" kalau hasil curiannya banyak.

Oleh karenanya berdasarkan argumen dan contoh di atas, maka terjemahan "semoga semua makhluk berbahagia" kurang tepat, karena dapat menimbulkan kesalah-pahaman dan perdebatan. Lalu apakah yang terjemahan yang tepat? Terjemahan yang tepat menurut hemat saya adalah "Semoga Semua Makhluk Sejahtera." "Bahagia" yang dimaksud di sini sesungguhnya mengacu pada "kesejahteraan batin." Jika seseorang sejahtera batinnya, ia tidak akan melakukan kejahatan. Ia tidak akan mencuri. Ia tidak akan mencopet. Dengan demikian, terjemahan "semoga semua makhluk sejahtera" adalah sesuatu yang lebih tepat.

Hal ini juga tidak bertentangan dengan makna awal bagi kata "sukkha," yakni mengacu pada fungsi. Jika segalanya berfungsi dengan baik (dalam hal ini batin yang sejahtera), maka orang tidak akan melakukan kejahatan pada orang lain. Orang tidak akan mencuri. Orang tidak akan mencopet. Jadi kita kembalikan maknanya pada konotasi fungsi.

Namun jikalau Anda ingin tetap berpegang pada terjemahan "bahagia," maka hendaknya ditambahkan sebagai berikut "Semoga semua makhluk memiliki pikiran (batin) yang bahagia." Jika seseorang memiliki batin yang bahagia, maka ia juga tidak akan melakukan kejahatan. Ia tidak akan mencuri. Ia tidak akan mencopet.

Dengan memberikan terjemahan yang tepat, kita akan dapat menyampaikan pesannya secara lebih baik.

Semoga bermanfaat.