Selasa, 13 Juni 2017

ARTIKEL DHARMA KE-48: SIAPAKAH KAUM TERBUANG?-RENUNGAN ATAS VASALA SUTTA-SUTTA NIPATA

ARTIKEL DHARMA KE-48: SIAPAKAH KAUM TERBUANG?-RENUNGAN ATAS VASALA SUTTA-SUTTA NIPATA.
.
Ivan Taniputera.
14 Juni 2017.
.
Pada kesempatan kali ini, kita akan melakukan renungan terhadap Vasala Sutta yang menjadi bagian Sutta Nipata. Kita akan menarik berbagai intisari ajaran yang terdapat di dalamnya.
.
Pertama-tama, pada sutta ini Buddha mengajarkan bahwa mulia dan tidaknya seseorang bukan diperoleh atas dasar keturunan, melainkan atas perilaku luhur yang dimilikinya.
.
Agar dapat memahami sutta ini lebih baik, maka kita perlu sedikit mengenal latar belakang tradisi yang berlaku di India pada masa tersebut. Terdapat sekelompok orang yang disebut “kaum terbuang.” Mereka ini adalah orang-orang yang para leluhurnya dahulu pernah melakukan suatu kesalahan, sehingga akhirnya dikeluarkan dari masyarakat. Kaum ini menempati lapisan paling bawah atau rendah pada jenjang hirarki sosial di India. Mereka akan dijauhi dan dianggap hina, serta sering diperlakukan tidak baik.
.
Oleh karenanya, Hyang Buddha lalu mengajarkan apakah sesungguhnya yang dimaksud “kaum terbuang” itu. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
.
Pertama-tama, Hyang Buddha membabarkan ajaran dalam bentuk syair, bahwa orang penuh amarah, dendam, berjiwa munafik, dan berpandangan salah adalah “kaum terbuang” yang sesungguhnya.
.
Orang yang mencelakai makhluk lain tanpa berbelas kasihan adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang melakukan pembantaian (genosida), membawa kehancuran, dan penindasan adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang mencuri milik orang lain adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang mengingkari hutang-hutangnya (berhutang tetapi sewaktu ditagih ia menyatakan tidak berhutang atau menolak membayar) adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang tidak menyantuni mereka yang patut menerimanya padahal mempunyai harta kekayaan berlimpah adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang tidak menghormati mereka yang patut dihormati dan bahkan mencelanya adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
.
Dengan demikian “terbuang” dan tidaknya seseseorang semata-mata ditentukan oleh perilakunya sendiri. Kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya seseoranglah yang telah membuang dirinya sendiri melalui perilaku buruk dan tidak layak. Agar dapat menuai keberuntungan dan keberhasilan dalam hidup, kita hendaknya senantiasa waspada serta mawas diri. Jangan sampai kita “membuang” diri kita sendiri.
.
Demikianlah sedikit renungan kita atas Vasala Sutta.

Kamis, 08 Juni 2017

ARTIKEL DHARMA KE-47: MERUGIKAN MAKHLUK LAIN: SUATU RENUNGAN DARI PUSTAKA SUCI UDANA

ARTIKEL DHARMA KE-47:MERUGIKAN MAKHLUK LAIN: SUATU RENUNGAN DARI PUSTAKA SUCI UDANA.
.
Ivan Taniputera.
9 Juni 2017.
.
Saya baru saja menemukan syair sangat baik yang berasal dari Pustaka Suci Udana. Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini kita akan merenungkannya. Adapun sumber yang saya pergunakan adalah terjemahan bahasa Inggris bagi Pustaka Suci Udana oleh Dawsonne Melanchthon Strong (London, 1902). Ini menandakan bahwa ketertarikan bangsa Barat terhadap Agama Buddha telah berlangsung lebih dari seratus tahun lalu.
.
"He was seeking his own pleasure, does injury to the living, For such a one there is no happiness hereafter. But he who seeking his own pleasure, injures not the living, For such a one there is happiness hereafter." (Udana II: 3).
.
Terjemahan:
“Ia yang mengejar kebahagiaannya sendiri, dengan menyakiti makhluk hidup lain.
Baginya tiada kebahagiaan yang didapat setelahnya.
Namun ia yang mencari kebahagiaannya sendiri, [namun] tidak menyakiti makhluk hidup lain,
Baginya kebahagiaan akan didapat setelahnya.” (Udana II:3).
.
Latar belakang Hyang Buddha membabarkan ajaran di atas adalah setelah Beliau menyaksikan sekelompok pemuda di Savatthi sedang memukuli seekor ular dengan tongkat. Karenanya, syair di atas memperlihatkan belas kasih luar biasa Hyang Buddha yang tiada terbatas serta tidak membeda-bedakan. Bahkan seekor ular pun hendaknya tidak disakiti, kendati ular mungkin berbahaya bagi manusia.
.
Sepanjang sejarah umat manusia, selalu saja terdapat pribadi-pribadi tertentu yang mengejar keuntungan pribadi tetapi dengan memerah serta merugikan orang lain. Mungkin mereka dapat mencapai apa yang mereka inginkan. Mungkin mereka dapat meraih kemenangan dengan cara demikian. Mungkin mereka nampak bahagia. Tetapi apakah kebahagiaan yang mereka peroleh merupakan kebahagiaan sejati?
.
Raja Ashoka berhasil menaklukkan Kalinga dengan menumpahkan begitu banyak darah. Belakangan ia menyesali hal tersebut. Kaisar Qin Shihuang berhasil menyatukan China. Namun berapa banyak korban yang jatuh? Sepanjang hidupnya, ia dilanda kekhawatiran luar biasa terhadap keselamatan nyawanya. Bahkan ia sangat takut terhadap kematian dan mencari obat panjang usia. Banyak juga para penjahat besar yang hidupnya dilanda ketakutan dan terpaksa tinggal berpindah-pindah tempat. Dunia seolah-olah mengejar dan menolak mereka. Akhir hidup mereka sungguh tragis. Pang Juan yang mengorbankan Sun Bin demi manggapai ambisinya juga menemui akhir hidup tragis.
.
Sebaliknya, banyak orang yang berhasil mewujudkan ambisinya dengan tanpa mengorbankan orang lain dan dunia masih menghormati mereka sebagai pribadi-pribadi mulia. Contohnya adalah para cendekiawan besar dan para pemenang hadiah Nobel. Kita tidak dapat mengatakan secara pasti bahwa mereka tidak mempunyai ambisi dan penemuan mereka semata-mata dilandasi oleh sikap altruisme. Tetapi yang pasti mereka menghasilkan suatu karya besar tanpa perlu mengorbankan atau menyakiti makhluk lain. Sebagai contoh adalah Johannes Kepler yang menemukan hukum pergerakan planet. Ia memiliki ambisi untuk memecahkan lebih jauh misteri alam semesta. Mungkin ia mengharapkan penghargaan dari kaisar. Kendati demikian, semua itu dilakukan tanpa mengorbankan makhluk lain. Ia berhasil mewujudkan ambisi dengan kemampuannya sendiri.
.
Oleh karenanya, berdasarkan syair di atas kita dapat menarik pelajaran sebagai berikut. Dalam tataran duniawi memiliki ambisi menurut ajaran Hyang Buddha tidaklah salah. Kita boleh saja mempunyai cita-cita atau keinginan yang hendak dipenuhi. Hanya saja cara mewujudkannya harus melalui jalan keluhuran dan cinta kasih. Bila tidak, kita tidak akan mendapatkan kesejahteraan batin. Apabila kita menginginkan suatu benda yang bagus, maka uang untuk membeli barang tersebut hendaknya diperoleh dengan benar. Jika kita ingin memperoleh jabatan yang baik, maka hal tersebut hendaknya diwujudkan dengan cara benar. Bukan dengan menjelek-jelekkan atau menindas sesama rekan kerja dan bawahan. Agar naik pangkat, kita justru hendaknya terlebih dahulu mendukung atau membantu rekan kerja beserta bawahan kita.