Senin, 31 Desember 2012

RENUNGAN AKHIR TAHUN 2012


RENUNGAN AKHIR TAHUN 2012

Ivan Taniputera
31-12-2012



Sebentar lagi tahun 2012 menurut penanggalan yang biasa kita pergunakan akan berakhir. Sebenarnya "berakhirnya tahun 2012" itu adalah ilusif sifatnya. Manusia menciptakan pembagian-pembagian khayali terhadap waktu yang sebenarnya tiada berujung dan tiada berpangkal. Semenjak zaman awal sejarahnya, manusia menciptakan beraneka macam pembagian ilusif terhadap waktu, berdasarkan gerakan berbagai benda langit. Kendati demikian, apa yang kita sebut "gerakan" benda langit itupun juga ternyata ilusif atau khayalan semata. Sebagai contoh adalah "gerakan" matahari. Ternyata bukan matahari yang bergerak terhadap bumi, melainkan bumi yang "bergerak" mengorbit matahari. Namun dengan semakin berkembangnya konsep manusia mengenai fisika modern, "diam" dan "bergerak" pun menjadi relatif pula sifatnya. Secara ringkas, pergantian tahun bila kita renungkan secara mendalam, sebenarnya adalah ilusi. Jikalau manusia sudah tiada lagi, masih adakah "tahun," "bulan," dan "jam"?

Meskipun tahun serasa berganti, tetapi hakikat kehidupan ini, yakni (1) segala sesuatu serba tak memuaskan, (2) segala sesuatu berada dalam arus perubahan tanpa henti, dan (3) segala sesuatu tidak memiliki inti sejati, masih belum berganti. Ketiga hakikat mendasar itu tetap ada, meskipun tahun-tahun terus "berganti." Namun ketiga hakikat tersebut bukanlah sesuatu yang perlu kita benci dan jauhi, melainkan disadari dan dipahami. Membenci dan berupaya menjauhi sesuatu yang telah menjadi hakikat mendasar adalah kesia-siaan belaka. Kita hanya dapat menyadari dan menyelaminya, sehingga tidak lagi menciptakan kebencian atau keengganan terhadapnya. Diri kita dan apapun yang berada di sekitar kita adalah serba tak memuaskan, bahkan termasuk apa yang kita sukai sekalipun juga suatu saat akan mengalami perubahan; itulah sebabnya disebut serba tak memuaskan. Ketiga hakikat itu sebenarnya adalah suatu kesatuan yang jalin menjalin. Saya biasa membuat teh hangat yang akan saya minum sambil membaca atau menyelesaikan sesuatu, karena terlalu asyiknya teh itu terlupakan dan menjadi dingin. Bila sudah dingin tentu tidak enak lagi diminum. Teh tidak selamanya hangat. Mekanisme thermodinamika yang sudah menjadi hukum alam adalah penyebab bagi kenyataan tersebut.

Umat manusia sendiri di sepanjang sejarahnya memang telah berupaya menyiasati perubahan tersebut. Sebagai contoh adalah menemukan bagaimana mengawetkan makanan. Tetapi apakah makanan dapat diawetkan selamanya? Jawabnya tidak. Kita hanya memperpanjang saja masa "layak konsumsi" bagi makanan itu. Perubahan tetap menjadi hakikatnya. Manusia juga menciptakan berbagai ilmu terkait antisipasi bagi masa depan, seperti manajemen risiko dan lain sebagainya dengan harapan menyiasati hakikat perubahan nan tak terduga sebelumnya.


Walaupun sifatnya adalah ilusif, kita dapat pula memanfaatkan momen pergantian tahun ini sebagai saatnya merenungkan diri kita sendiri. Mengenai apa yang sudah dan belum kita lakukan. Bagaimana kita dapat menjadi manusia lebih baik yang bersedia berbagi terhadap sesama. Pada zaman yang sangat kapitalistik ini, keserakahan telah meraja lela ke mana-mana. Padahal keserakahan itu terbukti mengakibatkan keruntuhan yang menyengsarakan banyak orang.  Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi milik semua orang, telah diperdagangkan dan dinilai dengan uang, layaknya kita menjual sayur atau buah. Ilmu pengetahuan kita timbang dan masukkan dalam keranjang-keranjang serta dilabeli dengan harga, siap dipertukarkan dengan sejumlah uang bagi yang mampu. Tentu saja ini sangat memalukan dan menyedihkan. Ilmu pengetahuan adalah salah satu alat menciptakan masyarakat yang lebih baik. Semoga ilmu pengetahuan dapat dikembalikan pada kedudukannya yang sejati demi menaburkan manfaat bagi umat manusia dan tak lagi menjadi barang komoditas yang diperjual-belikan, layaknya sayur beserta buah-buahan. Kita harus berani menghembuskan angin perubahan di tahun yang baru. Semoga segala sesuatu makin baik di tahun yang baru. Selamat tahun baru 2013!

Sabtu, 29 Desember 2012

Ajaran untuk Selalu Berpikir Positif Studi Atas PUNNOVADA SUTTA (Sutta ke 145 dari Majjhima Nikaya)

Ajaran Agar Senantiasa Berpikir Positif
Studi Atas PUNNOVADA SUTTA (Sutta ke 145 dari Majjhima Nikaya)

 Ivan Taniputera
29 Desember 2012
Pembahasan kali ini diambil dari PUNNOVADA SUTTA, yang merupakan
Sutta ke 145 dari MAJJHIMA NIKAYA.

Judul Sutta

Jika diterjemahkan ke dalam Bhs Indonesia, maka maknanya adalah
AJARAN UNTUK PUNNA.

Pembahasan isi Sutta

Sutta dibuka demikian:

[SUTTA]:
"Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu kesempatan Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Ananthapindika."

Pada sore hari itu, Yang Arya Punna bangkit dari meditasinya dan memohon wejangan Dhamma singkat dari Sang Buddha, karena setelahnya Beliau akan mengasingkan diri, berlatih dengan rajin dan hati yang
teguh.

Sang Buddha kemudian memberikan wejangan demikian.

[SUTTA]:
"Punna, ada bentuk-bentuk yang dicerap oleh mata, [kemudian] diharapkan, diingini, timbul ketertarikan, muncul rasa suka, [lalu] bersinggungan dengan hawa nafsu keinginan serta bujukan nafsu. Jika seorang Bhikkhu menyukainya, membiarkan [perasaan itu] muncul, serta membiarkan kemelekatan tersebut, perasaan senang [akan hal itu] timbul dalam dirinya. Dengan bangkitnya kesenangan tersebut, maka hadir [pula] penderitaan, [demikianlah] yang Kukatakan."

Kemudian Sang Buddha mengulangi nasehat yang sama untuk telinga dengan obyek suara, hidung dengan obyek bebauan dan lain sebagainya. Sang Buddha menjelaskan juga bahwa dengan lenyapnya keinginan maka pada saat itu pulalah penderitaan sirna.

[SUTTA]:
"Jika seorang Bhikkhu tidak merasa suka padanya, tidak membiarkan [perasaan itu] terjadi, dan tidak melekat padanya, [maka] musnahlah perasaan senang [akan hal tersebut]. Dengan musnahnya perasaan senang [akan hal tersebut] sirna pula penderitaan, [demikianlah] yang Kukatakan."

Sang Buddha lalu menanyakan ke negeri manakah Yang Arya Punna hendak mengasingkan diri, yang kemudian dijawab bahwa Beliau hendak mengasingkan diri ke Negeri Sunaparanta. Sang Buddha mengingatkan bahwa penduduk negeri tersebut amat mengerikan dan kasar, serta menanyakan apakah yang akan terjadi bila mereka mencaci maki dan mengancam Yang Arya Punna.
Punna memberikan jawaban yang bagus untuk diteladani.

[SUTTA]:
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta mengancam dan mencaci makiku, maka aku akan berpikir [demikian]: "Warga Sunaparanta ini [memang] baik hati, benar-benar baik hati,  karena mereka tidak meninjuku." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjumu, maka apa yang akan pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjuku, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang baik hati, benar-benar baik hati, karena mereka tidak melempariku dengan segumpal tanah." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Wahai Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, "

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar melemparimu dengan tanah, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar melempariku dengan tanah, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang baik hati, benar-benar baik hati karena mereka tidak memukulku dengan tongkat." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulmu dengan tongkat, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulku dengan tongkat, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang baik hati, benar-benar baik hati, karena mereka tidak menusukku dengan pisau." Maka aku seharusnya berpikir demikian, wahai Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukmu dengan pisau, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"

"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukku dengan pisau, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang baik hati, benar-benar baik hati, karena mereka belum membunuhku dengan pisau yang tajam." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhmu dengan pisau yang tajam, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"

"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhku dengan pisau yang tajam, maka aku seharusnya berpikir demikian:"Ada siswa-siswa Hyang Buddha yang jijik, benci, dan muak, dengan tubuh beserta kehidupan ini, berharap agar mereka dibunuh saja. Namun aku telah mengalami pembunuhan ini tanpa mencarinya." Maka aku seharusnya berpikir demikian, wahai Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."
"Bagus, bagus, Punna! Engkau memiliki pengendalian diri dan kedamaian batin, engkau akan sanggup berkarya di Negeri Sunaparanta. Kini, Punna, saatnya melakukan, apa yang engkau anggap baik."

Lalu berangkatlah Punna ke negeri tersebut, dan ia berhasil membawa masing-masing 500 orang penganut awam pria beserta 500 penganut awam wanita ke dalam Dhamma serta ia sendiri mencapai nibanna

Selesai 20 Agustus 2002
Direvisi tanggal 29 Desember 2012.

Kamis, 20 Desember 2012

Rotiisme (Agama Roti)


ROTIISME (AGAMA ROTI)

Ivan Taniputera

19 Desember 2012

Alkisah konon di zaman dahulu berdirilah agama Rotiisme (Agama Roti), yang praktik spiritualnya adalah membuat roti yang enak dan lezat. Pendirinya adalah Bapak Roti.  Beliau adalah seorang pakar pembuat roti yang luar biasa. Barangsiapa yang makan roti buatannya, bukan hanya merasakan kepuasan di lidah, melainkan juga kebahagiaan luar biasa dalam batinnya. Benar-benar roti yang luar biasa sepanjang zaman.

Beberapa tahun sepeninggal pendirinya, agama ini kemudian terpecah menjadi beberapa aliran. Aliran pertama (sebut saja Aliran A)  mengajarkan serangkaian aturan baku dalam membuat roti. Para penganutnya menghafalkan serangkaian proses dan metoda yang konon dapat membuat roti bercita rasa lezat seperti sang pendiri dulu. Bahkan mereka juga mengajarkan para penganutnya mengenakan seragam tukang roti-yang konon juga dikenakan oleh sang pendiri rotiisme, yakni baju merah, celemek putih, dan topi putih juru masak. Semua aturan telah ditetapkan dengan baku, mulai dari membeli bahan, menyiapkan adonan, dan lain sebagainya. Mereka kerap merasa sebagai pewarisan ajaran sejati Bapak Roti.

Aliran kedua (sebut saja Aliran B), mengajarkan bahwa mengenang pendiri Agama Roti dapat meningkatkan semangat dalam membuat roti yang enak. Oleh karenanya, sambil membuat roti, mereka memusatkan pikiran pada sang pendiri Agama Roti dengan menyebutkan atau mengulang namanya terus menerus, "Bapak Roti..Bapak Roti..." Tetapi mereka dalam membuat rotinya juga melakukan berbagai improvisasi demi menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya membuat roti-roti dengan rasa baru, walaupun bahan dasarnya tetap sama.

Aliran ketiga (sebut saja Aliran C), melakukan perkembangan lebih lanjut dengan menerbitkan banyak risalah mengenai filsafat pembuatan roti. Jadi sambil tetap membuat roti, mereka mencoba memaknai secara mendalam berbagai proses dalam membuat roti. Misalnya mengaduk tepung itu ibaratnya mengaduk pikiran atau kesadaran terdalam, agar memunculkan hakikat ketidak-bergerakan pikiran. Pokoknya mereka mencoba menemukan falsafah yang terasa rumit bagi orang awam demi menjelaskan tahapan-tahapan pembuatan roti. Memang perguruan atau aliran ini banyak menciptakan buku-buku panduan pembuatan aneka ragam roti.

Aliran keempat (sebut saja Aliran D), membuat roti dengan mencoba merenungkan makna-makna terselubung dari pembuatan roti. Agak mirip dengan aliran C, tetapi ini diberi nuansa "rahasia." Oleh karenanya agar kunci-kunci makna tahapan pembuatan roti dapat lebih diresapi, aliran atau perguruan pembuat roti ini mengajarkan apa yang dinamakan "mantra-mantra rahasia." Tiap tahapan konon harus disertai oleh "mantra-mantra rahasia" agar dapat menyelami kedalaman proses pembuatan roti, yang sulit dipahami oleh pikiran konvensional. Begitulah yang diajarkan oleh perguruan D ini.

Aliran kelima (sebut saja aliran atau perguruan E), mengajarkan bahwa "membuat roti ya membuat roti." Tidak perlu pakai buku panduan, tidak perlu pakai buku manual. Alasan mereka membuat roti yang enak dan lezat adalah masalah penyatuan hati dan pikiran pada hakikat kelezatan cita rasa roti nan tak terkatakan. Jika demikian, untuk apa segenap buku resep pembuatan roti. Buku resep bukanlah roti, demikianlah argumen mereka.

Nah, kawan-kawanku yang bijaksana, manakah di antara mereka yang merupakan pewaris sejati dari Bapak Roti, apakah perguruan A, B, C, D, dan E? Dinantikan jawaban Anda. Terima kasih sebelumnya.

Jawaban saya adalah:

Pewaris sejati bukan dilihat dari aliran atau perguruan A, B, C, D, atau E; melainkan dari apakah mereka DAPAT MEMBUAT ROTI YANG ENAK SEPERTI PENDIRINYA DULU ATAU TIDAK. Meskipun dari aliran A, B, C, D, atau E, kalau roti yang mereka hasilkan tidak enak, maka mereka tetap saja bukan pewaris sejati dari Bapak Roti. Oleh karenanya, jangan melihat alirannya, melainkan lihatlah apakah roti yang dihasilkan sekualitas dengan Bapak Roti atau tidak. Semoga bermanfaat.

UNTUK NEGERIKU TERCINTA AGAR BEBAS PERTENTANGAN SEKTARIANISME.

http://www.facebook.com/notes/ivan-taniputera/rotiisme-agama-roti/10151369428126942

Senin, 03 Desember 2012

MANTRA PENYIRNA KEGALAUAN

MANTRA PENYIRNA KEGALAUAN

Ivan Taniputera
4 Desember 2012




Selama beberapa hari ini, kita telah membahas mengenai kegalauan. Kini kita akan mengulas mengenai mantra penyirna kegalauan. Begitu mendengar mengenai mantra penyirna kegalauan, mungkin sebagian orang akan berkata dengan nada mengejek, "Wah, apakah ada mantra semacam itu?" Selaini itu, juga masih banyak tanggapan lainnya. Sebenarnya ada mantra ampuh penyirna kegalauan. Bunyinya adalah:

"MENYEBERANGLAH, MENYEBERANGLAH KE PANTAI SEBERANG, PANTAI KEBAHAGIAAN."

Bagi sebagian orang, tentunya ada yang sudah langsung memahami makna mantra tersebut. Namun ada baiknya kita tetap membahas seluk beluk dan bagaimana mantra itu dapat mengatasi kegalauan. Pertama-tama kita membahas dahulu apa yang dimaksud dengan Pantai Seberang. Pantai Seberang itu adalah lawan dari Pantai Sini. Pantai Sini adalah tempat yang dipenuhi dengan kegalauan, penderitaan, kesedihan, usia tua, penyakit, kematian, dan hal-hal buruk lainnya. Sedangkan Pantai Seberang adalah "tempat" yang bebas kegalauan. Anda boleh menyebutnya "Pantai Bebas Galau." Kini tinggal Anda menyeberang saja menuju "Pantai Bebas Galau" itu. Caranya adalah dengan menggunakan perahu KESADARAN. Anda menyadari saja kegalauan itu, tanpa berkeinginan mengatasinya. Anda memahami bahwa kegalauan itu ada karena sosok khayal yang disebut sang "aku," sebagaimana yang sudah diulas pada catatan sebelumnya. Semakin Anda mencoba mengatasi kegalauan, Anda akan semakin putus asa, karena sosok khayal tersebut makin berperanan dan punya keinginan lebih besar dalam mengatasi kegalauan. Anda tidak bisa mengatasi suatu permasalahan dengan mengandalkan sesuatu yang khayali sifatnya. Itu adalah upaya yang sia-sia. Bagaimana perut Anda akan kenyang hanya dengan mengkhayalkan mengenai nasi goreng. Itu adalah sesuatu yang mustahil.

Sang "aku" ingin menyirnakan kegalauan, tetapi dia sendiri adalah sosok khayalan, lalu bagaimana dia dapat melakukannya? Sama dengan Anda minta tolong pada Superman atau Batman. Sangat tidak masuk akal.  Oleh karenanya, kita harus membuang keinginan menyirnakan kegalauan. Kita hanya menyadari saja, bahwa kegalauan adalah seperti ini adanya. Jangan ada upaya mengkritik, mencela, atau menyalahkan diri sendiri. Dengan adanya kesadaran, semuanya akan mengendap. Ibaratnya adalah air yang keruh oleh pasir. Semakin Anda mengaduk-aduk air itu, maka airnya akan semakin keruh. Namun jika Anda membiarkan saja air itu, maka pasirnya akan mengendap sendiri dan airnya menjadi jernih. Pikiran kita yang galau adalah seperti itu, ibaratnya adalah air yang keruh oleh pasir. Jika kita aduk terus, kekeruhan justru semakin bertambah. Namun jika kita hanya menyadari saja, maka lambat laun ia akan mengendap dan pikiran menjadi jernih kembali. Kegalauan sirna. Demikianlah yang dimaksud berlayar menuju Pantai Seberang atau Pantai Bebas Galau. Kendarailah perahu kesadaran Anda.

Dengan menyadari dan memahami Anda akan tiba di Pantai Bebas Galau. Sekali lagi, praktik kesadaran dan pemahaman ini bukan untuk menghakimi atau mencela sesuatu, melainkan hanya menyadari saja. Tidak lebih dari itu. Bila Anda masih mengembangkan pandangan dualitas, itu berarti bahwa Anda masih mengaduk-aduk air yang keruh. Pasirnya akan semakin mengeruhkan air. Namun, jika Anda sanggup menjadi pengamat saja, airnya lambat laun akan jernih. Penyadaran ini juga bukan berarti Anda bertanya-tanya, "Kapan kegalauanku sirna?" Perhatikan kata "ku" dalam "kegalauanku." Dengan adanya "ku" berarti masih ada kesan sang "aku." Padahal itu hanya sosok khayalan yang Anda ciptakan. Anda mengundang kembali sosok khayalan tersebut masuk kembali dalam kehidupan Anda, sehingga kegalauan juga akan tetap ada.

Begitu Anda sudah sampai di Pantai Seberang, Anda akan menyadari bahwa sebenarnya Anda masih di Pantai Sini juga. Karena begitu kita menyelami hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, Sini dan Seberang juga adalah ilusi. Anda ternyata juga masih berada di Pantai Sini, karena ruang dan waktu sebenarnya adalah ilusi yang kita proyeksikan ke masa sekarang. Namun, kita tidak akan membahas hal ini lebih jauh.

Selamat mengendarai perahu kesadaran Anda.

Apakah Yang Menyebabkan Galau?

APAKAH YANG MENYEBABKAN GALAU?

Ivan Taniputera
3 November 2012




Jika kita menanyakan apakah penyebab galau, maka jawabannya ada beraneka ragam; misalnya karena mendapatkan nilai yang buruk dalam ujian, berpisah dengan orang yang dikasihi, tidak punya uang, khawatir dengan masa depan, dan lain sebagainya. Barangkali jika seluruh jagad raya ini diubah menjadi tulisan, maka masih belumlah cukup menampung segenap jawabannya. Permasalahan hidup umat manusia sangatlah beraneka ragam. Meskipun demikian, sebenarnya faktor utama penyebab galau itu dapat diringkas menjadi dua hal ini saja:

(1) Berjumpa dengan hal yang tidak disukai.
(2) Tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau diharapkan.

Anda mengharapkan nilai bagus, tetapi yang didapat justru nilai buruk. Anda suka nilai bagus dan tidak suka nilai buruk. Mari kita telusuri lebih jauh lagi. Ternyata suka dan tidak suka adalah ciptaan dari sosok khayal yang disebut "aku." Sosok khayal ini tidaklah lebih nyata ketimbang Batman atau Superman. Anda menciptakannya di sepanjang hidup Anda. Menumpuk berbagai identitas dan gagasan, sehingga terciptalah sosok khayal yang disebut "aku" itu. Kendati demikian, Anda terjatuh kembali dalam suatu khayalan yang lebih dalam, yakni menganggap bahwa sosok khayal atau sang "aku" itu sebagai sesuatu yang "nyata." Anda lalu menjadikannya sebagai titik acuan bagi segala hal, sehingga muncul gagasan "aku" dan "milikku."

Sang "aku" itu dengan dipengaruhi konsep khayal keserba-menduaan (dualisme) lantas menciptakan gagasan mengenai "yang disukai" dan "tak disukai." Demikianlah bola salju khayalan menggelinding semakin besar. Dipadukan dengan gagasan "aku" dan "milikku," Anda membangkitkan pemikiran "aku harus menjadikan yang disukai menjadi milikku" dan "aku harus menjauhkan diri dari yang tak disukai sehingga tak menjadi milikku." Pada kenyataannya dunia penuh ketidak-pastian. Yang pasti hanyalah ketidak-pastian itu sendiri. Oleh karenanya Anda tidak dapat selalu mendapatkan apa yang disukai dan bahkan mungkin malah mendapatkan apa yang tidak disukai. Memang demikianlah kondisi dunia ini. Semuanya tidak selalu berada dalam kendali kita. Itulah sebabnya jika berjumpa atau mendapatkan hal yang disukai atau tidak mendapatkan hal yang diharapkan, timbul penderitaan atau kegalauan dalam diri kita.  Semoga bermanfaat.

Minggu, 02 Desember 2012

Manakah Yang Lebih Nyata, Diri Anda Sendiri Atau Batman dan Superman?


Manakah Yang Lebih Nyata, Diri Anda Sendiri Atau Batman dan Superman?

Ivan Taniputera
2 November 2012



Jika Anda diajukan pertanyaan di atas, Anda kemungkinan akan langsung menjawab bahwa diri Andalah yang nyata, sedangkan Batman dan Superman adalah tidak nyata. Tetapi benarkah demikian? Marilah kita mengajukan pertanyaan, benarkah diri Anda adalah nyata? Apakah identitas diri yang kita sebut "aku" itu adalah nyata? Kita renungkan seorang bayi yang baru lahir. Apakah dia tahu bahwa dirinya itu pria atau wanita? Apakah ia mengetahui termasuk dalam ras atau suku apakah dirinya? Apakah dia tahu termasuk warga negara apakah dirinya? Apakah dia tahu siapakah namanya? Apakah dia tahu apakah agamanya? Gender, ras, suku, kebangsaan, agama, dan identitas lainnya yang membentuk "diri kita" itu adalah diberitahukan belakangan oleh orang tua atau masyarakat sekitar kita. Semua identitas itu adalah hasil konvensi atau perjanjian semata dan sifatnya bersyarat. Dengan demikian, keseluruhan identitas yang kita ketahui belakangan itu adalah hasil ciptaan belaka. Saat kita dilahirkan, tidak ada yang namanya gender, ras, suku, kebangsaan, kewarga-negaraan, dan lain sebagainya. Berbekalkan seluruh identitas tersebut, kita lantaqs menciptakan "diri kita sendiri." Termasuk kesan-kesan, "aku adalah orang baik," "aku adalah orang jahat," "aku adalah orang pandai," "aku adalah orang bodoh." Semua itu adalah bahan-bahan yang kita gunakan untuk menciptakan semacam sosok, yang kita labeli sebagai "diriku." Oleh karena saat kita dilahirkan sosok ini belumlah ada, maka boleh dikatakan bahwa sosok "aku" ini adalah khayal.

Jika sifatnya yang khayal dan merupakan reka cipta pikiran, lalu apakah bedanya dengan sosok Batman dan Superman? Kedua tokoh super hero tersebut juga hasil ciptaan pikiran. Pikiran kitalah yang menciptakan sosok tersebut, sehingga seolah-olah menjadi "ada." Yakni ada dalam khayalan kita. Sosok "diri" itu yang kita ciptakan dan bangun perlahan-lahan seiring hidup kita adalah juga sama khayalnya dengan Batman dan Superman. Kita dipaksa merasakan bahwa sosok "aku" itu nyata adanya. Padahal, bagaimanakah bentuk sang "aku" itu sebelum kita dilahirkan?

Semoga bermanfaat sebagai renungan.