Sabtu, 29 Desember 2012

Ajaran untuk Selalu Berpikir Positif Studi Atas PUNNOVADA SUTTA (Sutta ke 145 dari Majjhima Nikaya)

Ajaran Agar Senantiasa Berpikir Positif
Studi Atas PUNNOVADA SUTTA (Sutta ke 145 dari Majjhima Nikaya)

 Ivan Taniputera
29 Desember 2012
Pembahasan kali ini diambil dari PUNNOVADA SUTTA, yang merupakan
Sutta ke 145 dari MAJJHIMA NIKAYA.

Judul Sutta

Jika diterjemahkan ke dalam Bhs Indonesia, maka maknanya adalah
AJARAN UNTUK PUNNA.

Pembahasan isi Sutta

Sutta dibuka demikian:

[SUTTA]:
"Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu kesempatan Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Ananthapindika."

Pada sore hari itu, Yang Arya Punna bangkit dari meditasinya dan memohon wejangan Dhamma singkat dari Sang Buddha, karena setelahnya Beliau akan mengasingkan diri, berlatih dengan rajin dan hati yang
teguh.

Sang Buddha kemudian memberikan wejangan demikian.

[SUTTA]:
"Punna, ada bentuk-bentuk yang dicerap oleh mata, [kemudian] diharapkan, diingini, timbul ketertarikan, muncul rasa suka, [lalu] bersinggungan dengan hawa nafsu keinginan serta bujukan nafsu. Jika seorang Bhikkhu menyukainya, membiarkan [perasaan itu] muncul, serta membiarkan kemelekatan tersebut, perasaan senang [akan hal itu] timbul dalam dirinya. Dengan bangkitnya kesenangan tersebut, maka hadir [pula] penderitaan, [demikianlah] yang Kukatakan."

Kemudian Sang Buddha mengulangi nasehat yang sama untuk telinga dengan obyek suara, hidung dengan obyek bebauan dan lain sebagainya. Sang Buddha menjelaskan juga bahwa dengan lenyapnya keinginan maka pada saat itu pulalah penderitaan sirna.

[SUTTA]:
"Jika seorang Bhikkhu tidak merasa suka padanya, tidak membiarkan [perasaan itu] terjadi, dan tidak melekat padanya, [maka] musnahlah perasaan senang [akan hal tersebut]. Dengan musnahnya perasaan senang [akan hal tersebut] sirna pula penderitaan, [demikianlah] yang Kukatakan."

Sang Buddha lalu menanyakan ke negeri manakah Yang Arya Punna hendak mengasingkan diri, yang kemudian dijawab bahwa Beliau hendak mengasingkan diri ke Negeri Sunaparanta. Sang Buddha mengingatkan bahwa penduduk negeri tersebut amat mengerikan dan kasar, serta menanyakan apakah yang akan terjadi bila mereka mencaci maki dan mengancam Yang Arya Punna.
Punna memberikan jawaban yang bagus untuk diteladani.

[SUTTA]:
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta mengancam dan mencaci makiku, maka aku akan berpikir [demikian]: "Warga Sunaparanta ini [memang] baik hati, benar-benar baik hati,  karena mereka tidak meninjuku." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjumu, maka apa yang akan pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjuku, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang baik hati, benar-benar baik hati, karena mereka tidak melempariku dengan segumpal tanah." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Wahai Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, "

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar melemparimu dengan tanah, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar melempariku dengan tanah, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang baik hati, benar-benar baik hati karena mereka tidak memukulku dengan tongkat." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulmu dengan tongkat, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulku dengan tongkat, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang baik hati, benar-benar baik hati, karena mereka tidak menusukku dengan pisau." Maka aku seharusnya berpikir demikian, wahai Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukmu dengan pisau, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"

"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukku dengan pisau, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang baik hati, benar-benar baik hati, karena mereka belum membunuhku dengan pisau yang tajam." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."

"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhmu dengan pisau yang tajam, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"

"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhku dengan pisau yang tajam, maka aku seharusnya berpikir demikian:"Ada siswa-siswa Hyang Buddha yang jijik, benci, dan muak, dengan tubuh beserta kehidupan ini, berharap agar mereka dibunuh saja. Namun aku telah mengalami pembunuhan ini tanpa mencarinya." Maka aku seharusnya berpikir demikian, wahai Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian."
"Bagus, bagus, Punna! Engkau memiliki pengendalian diri dan kedamaian batin, engkau akan sanggup berkarya di Negeri Sunaparanta. Kini, Punna, saatnya melakukan, apa yang engkau anggap baik."

Lalu berangkatlah Punna ke negeri tersebut, dan ia berhasil membawa masing-masing 500 orang penganut awam pria beserta 500 penganut awam wanita ke dalam Dhamma serta ia sendiri mencapai nibanna

Selesai 20 Agustus 2002
Direvisi tanggal 29 Desember 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar