Perbandingan Konsep Arahat dan Bodhisattva dalam Buddhisme Theravada dan Mahayana
Ivan Taniputera
30 Maret 2006
Pengantar
Tulisan
ini merupakan hasil revisi salah satu bagian buku saya yang berjudul
Ehipassiko: Studi Banding Filosofis Buddhisme Aliran Utara dan Selatan
yang diterbitkan oleh Penerbit Suwung (Terima kasih banyak untuk Bapak
Agus atas izinnya memposting artikel ini ). Oleh karena ada seorang
kawan yang menanyakan mengenai perbedaan konsep arahat-bodhisattva dalam
Theravada dan Mahayana, maka saya memutuskan untuk merevisi bagian buku
saya tersebut yang khusus membahas mengenai arahat dan bodhisattva.
Adapun tulisan ini dimaksudkan untuk MEMADAMKAN konflik atau polemik
antara Theravada dan Mahayana. Jadi bukannya untuk menimbulkan polemik
baru. Karena itu, saya tidak akan melayani polemik apapun sehubungan
dengan tulisan ini. Lebih baik kita berpraktek atau melatih diri menjadi
arahat atau bodhisattva - apapun aliran yang kita anut - dan bukannya
memperdebatkannya.
Memperdebatkan konsep arahat atau bodhisattva
mana yang benar tidaklah membawa kita makin dekat pada pembebasan. Orang
yang mempermasalahkan perbedaan antar aliran adalah pribadi-pribadi
yang patut dikasihani. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita
semua. Semoga bermanfaat dan selamat membaca!
A. Arahat
Pandangan yang berbeda mengenai Arahat merupakan salah satu penyebab timbulnya polemik antara Mahayana dan Theravada. Secara garis besar Theravada berpendapat bahwa Arahat sudah sempurna dan merupakan pencapaian yang diidam-idamkan oleh penganut aliran tersebut; sedangkan Mahayana menganggap bahwa Arahat bukanlah pencapaian tertinggi, dan sebagai gantinya menganut pandangan bahwa Samyaksambuddha (Pali: Sammasambuddha) - yang direalisasi melalui jalan Bodhisattva (Pali: Bodhisatta) - adalah pencapaian tertinggi. Untuk mengetahui duduk permasalahannya, kita perlu meneliti apakah makna Arahat menurut Theravada dan Mahayana.
1. Pandangan Theravada mengenai Arahat.
Menurut Theravada, Arahat adalah tingkat kesucian tertinggi di antara empat macam tingkat kesucian yang terdiri dari: sotapatti (pemasuk arus), sakadagami (yang hanya akan terlahir sekali lagi), anagami (yang tidak akan terlahir kembali), dan Arahat. Menurut Abhidhamma, Arahat telah terbebas dari kelima hal, yaitu: kemelekatan akan wujud (rupa raga), kemelekatan pada yang bukan wujud (arupa-raga), mementingkan diri sendiri (mana), keresahan (uddhacca), dan kebodohan (avijja), -- sehingga dengan demikian ia telah merealisasi Nibbana.
Lebih jauh lagi, Abhidhamma menyatakan bahwa seorang Arahat memiliki sifat-sifat positif sebagai berikut: perasaan belas-kasih yang kuat dan kebaikan hati yang penuh kasih, persepsi yang cepat dan tepat, ketenangan dan ketrampilan dalam bertindak, keterbukaan kepada orang-orang lain dan kepekaan terhadap kebutuhan mereka. Atau dengan kata lain, seluruh sifat-sifat negatif dalam diri seorang Arahat telah ditransformasikan menjadi sifat-sifat positif.
Pandangan yang berbeda mengenai Arahat merupakan salah satu penyebab timbulnya polemik antara Mahayana dan Theravada. Secara garis besar Theravada berpendapat bahwa Arahat sudah sempurna dan merupakan pencapaian yang diidam-idamkan oleh penganut aliran tersebut; sedangkan Mahayana menganggap bahwa Arahat bukanlah pencapaian tertinggi, dan sebagai gantinya menganut pandangan bahwa Samyaksambuddha (Pali: Sammasambuddha) - yang direalisasi melalui jalan Bodhisattva (Pali: Bodhisatta) - adalah pencapaian tertinggi. Untuk mengetahui duduk permasalahannya, kita perlu meneliti apakah makna Arahat menurut Theravada dan Mahayana.
1. Pandangan Theravada mengenai Arahat.
Menurut Theravada, Arahat adalah tingkat kesucian tertinggi di antara empat macam tingkat kesucian yang terdiri dari: sotapatti (pemasuk arus), sakadagami (yang hanya akan terlahir sekali lagi), anagami (yang tidak akan terlahir kembali), dan Arahat. Menurut Abhidhamma, Arahat telah terbebas dari kelima hal, yaitu: kemelekatan akan wujud (rupa raga), kemelekatan pada yang bukan wujud (arupa-raga), mementingkan diri sendiri (mana), keresahan (uddhacca), dan kebodohan (avijja), -- sehingga dengan demikian ia telah merealisasi Nibbana.
Lebih jauh lagi, Abhidhamma menyatakan bahwa seorang Arahat memiliki sifat-sifat positif sebagai berikut: perasaan belas-kasih yang kuat dan kebaikan hati yang penuh kasih, persepsi yang cepat dan tepat, ketenangan dan ketrampilan dalam bertindak, keterbukaan kepada orang-orang lain dan kepekaan terhadap kebutuhan mereka. Atau dengan kata lain, seluruh sifat-sifat negatif dalam diri seorang Arahat telah ditransformasikan menjadi sifat-sifat positif.
3. Perbandingan pandangan mengenai Arahat di dalam Theravada dan Mahayana.
Setelah menganalisa kutipan-kutipan di atas dengan seksama, nampaknya konsep arahat antara Theravada dan Mahayana amat bertolak belakang; di mana perbedaannya dapat diringkaskan pada tabel berikut ini:
Theravada Mahayana
Sudah bebas dari ketakutan/ keresahan Belum bebas dari ketakutan/ kecemasan
Sudah mencapai Nibbana/ Nirvana Belum mencapai Nibbana/ Nirvana
Belas kasih yang kuat Tidak ada atau kurangnya belas kasih
Tujuan yang diagung-agungkan Tujuan yang patut dihindari.
Terbebas dari egoisme (mana) Masih terikat oleh egoisme
Apakah dengan demikian Theravada bertentangan dengan Mahayana?
Sepintas lalu memang demikian. Namun, kalau kita memperhatikan fakta bahwa Mahayana juga mengakui salah satu gelaran Buddha sebagai Arahat, maka kita patut mempertimbangkan kembali pendapat tersebut.
Untuk memecahkan perbedaan di atas, penulis berpendapat bahwa sesungguhnya konsep Arahat yang dimaksud oleh Theravada dan Mahayana adalah berbeda. Arahat yang dimaksud oleh Mahayana adalah "Arahat" palsu (1) , atau orang yang merasa dirinya telah menjadi Arahat. Pada masa awal berkembangnya Mahayana (sekitar abad pertama Masehi), telah terjadi degradasi pemahaman makna Arahat di kalangan Umat Buddha.
Banyak bhikkhu yang terlalu mementingkan naskah-naskah tertulis, mengasingkan dirinya, dan tidak begitu terdorong untuk melayani umat. Mereka melupakan belas kasih untuk menolong makhluk lain, dan hanya mementingkan pembebasan dirinya saja. Mereka mengasingkan diri dari masyarakat dan menyendiri untuk mempelajari naskah-naskah suci demi kepentingan dirinya saja. Mereka menjadi terlalu kaku, dingin dan angkuh. Kaum biarawan dan umat menjadi dua entitas yang saling asing satu sama lain. Pada zaman itu, Buddhisme seolah-olah hanya menjadi milik sekelompok orang saja. Padahal Buddha sendiri dan murid-murid utamanya - yang juga bergelar Arahat - tidaklah pernah menganjurkan sikap semacam itu. Inilah yang menjadi pemicu timbulnya gerakan Mahayana.Arahat-arahat palsu semacam itulah yang dicela oleh Mahayana, dan sebagai gantinya mereka memberikan alternatif melalui Jalan Bodhisattva, di mana belas kasih mendominasi; -- padahal sesungguhnya pada seorang Arahat sejati, sifat belas kasih inipun mendominasi. Kehangatan serta kepedulian terhadap orang lainpun ditekankan di dalam Mahayana, di mana sebelumnya Para Bhikkhu yang merasa dirinya Arahat menjadi kurang merakyat. Rujukan tentang hal ini dapat kita baca pada buku karya David J Kalupahana,:
Dengan adanya perkembangan skolatisisme, semangat kuat untuk kemajuan spiritual yang mula-mula ada di pihak para bhikkhu secara perlahan-lahan kemudian melemah. Mereka lebih suka hidup menyendiri, membaktikan hidup mereka untuk penelaahan dhamma (pariyatti) daripada melaksanakannya…….. Hal ini, bersama dengan kehidupan menyendiri yang dijalani para bhikkhu, menciptakan suatu kekosongan tertentu dalam kehidupan religius dari para pengikut awam.(2)
Mahayana timbul sebagai reaksi dan kritikan atas kondisi tersebut. Jadi kesimpulannya, Theravada sebenarnya mengajarkan mengenai sifat-sifat seorang Arahat sejati; sedangkan Mahayana merupakan kritikan terhadap arahat palsu, dan oleh sebab itu sesungguhnya tidak ada kontradiksi antara kedua aliran besar Buddhis tesebut bila kita bersedia mengamati duduk permasalahannya. K. Sri Dhammananda memberikan penjelasan mengenai Arahat yang sejati:
Untuk mencapai keArahatan, seseorang harus menghapuskan seluruh keserakahan serta sikap mementingkan diri sendiri. Hal tersebut mempengaruhi hubungannya dengan yang lain, seorang Arahat akan bertindak dengan belas kasih dan mencoba untuk mengajak yang lainnya agar ikut berjalan di atas Jalan menuju Pembebasan. Ia adalah bukti hidup bagi kebaikan yang ditimbulkan oleh mereka yang mengikuti Ajaran Sang Buddha. Pencapaian Nibbana adalah mustahil bagi orang yang masih mementingkan dirinya sendiri. Karenanya gagasan bahwa untuk menjadi Arahat merupakan tindakan yang mementingkan diri sendiri adalah tidak berdasar. (3)
Pendapat di atas juga diperkuat oleh David J Kalupahana,:
Satu dari kritikan utama yang muncul terhadap idola Buddha awal berupa "manusia sempurna" atau "yang mulia" (arahat) adalah bahwa ia lebih bersifat mementingkan diri sendiri daripada bersifat idola yang altruistik. Tetapi perlu diingat bahwa "manusia sempurna" ini merupakan produk akhir dari pengembangan kebajikan moral mulai dari tingkat dasar seperti yang dibicarakan dalam penjelasan yang disebut di atas.
Kebajikan-kebajikan moral yang dasar ini dalam satu bentuk atau lainnya dimaksudkan bukan hanya untuk pengembangan moral seseorang, melainkan juga membawakan kerukunan, kedamaian, dan kemajuan sosial. Hanya mereka telah melalui latihan moral yang demikian yang mampu mengembangkan kebajikan moral yang lebih tinggi (adhisila) dan konsentrasi mental (adhicitta) yang diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan yang lebih tinggi (adhipanna), dan selanjutnya mampu mencapai kebebasan (vimutti) (4)
Pada bagian berikutnya kita akan membahas mengenai konsep yang berbeda mengenai Bodhisattva di antara kedua aliran.
Setelah menganalisa kutipan-kutipan di atas dengan seksama, nampaknya konsep arahat antara Theravada dan Mahayana amat bertolak belakang; di mana perbedaannya dapat diringkaskan pada tabel berikut ini:
Theravada Mahayana
Sudah bebas dari ketakutan/ keresahan Belum bebas dari ketakutan/ kecemasan
Sudah mencapai Nibbana/ Nirvana Belum mencapai Nibbana/ Nirvana
Belas kasih yang kuat Tidak ada atau kurangnya belas kasih
Tujuan yang diagung-agungkan Tujuan yang patut dihindari.
Terbebas dari egoisme (mana) Masih terikat oleh egoisme
Apakah dengan demikian Theravada bertentangan dengan Mahayana?
Sepintas lalu memang demikian. Namun, kalau kita memperhatikan fakta bahwa Mahayana juga mengakui salah satu gelaran Buddha sebagai Arahat, maka kita patut mempertimbangkan kembali pendapat tersebut.
Untuk memecahkan perbedaan di atas, penulis berpendapat bahwa sesungguhnya konsep Arahat yang dimaksud oleh Theravada dan Mahayana adalah berbeda. Arahat yang dimaksud oleh Mahayana adalah "Arahat" palsu (1) , atau orang yang merasa dirinya telah menjadi Arahat. Pada masa awal berkembangnya Mahayana (sekitar abad pertama Masehi), telah terjadi degradasi pemahaman makna Arahat di kalangan Umat Buddha.
Banyak bhikkhu yang terlalu mementingkan naskah-naskah tertulis, mengasingkan dirinya, dan tidak begitu terdorong untuk melayani umat. Mereka melupakan belas kasih untuk menolong makhluk lain, dan hanya mementingkan pembebasan dirinya saja. Mereka mengasingkan diri dari masyarakat dan menyendiri untuk mempelajari naskah-naskah suci demi kepentingan dirinya saja. Mereka menjadi terlalu kaku, dingin dan angkuh. Kaum biarawan dan umat menjadi dua entitas yang saling asing satu sama lain. Pada zaman itu, Buddhisme seolah-olah hanya menjadi milik sekelompok orang saja. Padahal Buddha sendiri dan murid-murid utamanya - yang juga bergelar Arahat - tidaklah pernah menganjurkan sikap semacam itu. Inilah yang menjadi pemicu timbulnya gerakan Mahayana.Arahat-arahat palsu semacam itulah yang dicela oleh Mahayana, dan sebagai gantinya mereka memberikan alternatif melalui Jalan Bodhisattva, di mana belas kasih mendominasi; -- padahal sesungguhnya pada seorang Arahat sejati, sifat belas kasih inipun mendominasi. Kehangatan serta kepedulian terhadap orang lainpun ditekankan di dalam Mahayana, di mana sebelumnya Para Bhikkhu yang merasa dirinya Arahat menjadi kurang merakyat. Rujukan tentang hal ini dapat kita baca pada buku karya David J Kalupahana,:
Dengan adanya perkembangan skolatisisme, semangat kuat untuk kemajuan spiritual yang mula-mula ada di pihak para bhikkhu secara perlahan-lahan kemudian melemah. Mereka lebih suka hidup menyendiri, membaktikan hidup mereka untuk penelaahan dhamma (pariyatti) daripada melaksanakannya…….. Hal ini, bersama dengan kehidupan menyendiri yang dijalani para bhikkhu, menciptakan suatu kekosongan tertentu dalam kehidupan religius dari para pengikut awam.(2)
Mahayana timbul sebagai reaksi dan kritikan atas kondisi tersebut. Jadi kesimpulannya, Theravada sebenarnya mengajarkan mengenai sifat-sifat seorang Arahat sejati; sedangkan Mahayana merupakan kritikan terhadap arahat palsu, dan oleh sebab itu sesungguhnya tidak ada kontradiksi antara kedua aliran besar Buddhis tesebut bila kita bersedia mengamati duduk permasalahannya. K. Sri Dhammananda memberikan penjelasan mengenai Arahat yang sejati:
Untuk mencapai keArahatan, seseorang harus menghapuskan seluruh keserakahan serta sikap mementingkan diri sendiri. Hal tersebut mempengaruhi hubungannya dengan yang lain, seorang Arahat akan bertindak dengan belas kasih dan mencoba untuk mengajak yang lainnya agar ikut berjalan di atas Jalan menuju Pembebasan. Ia adalah bukti hidup bagi kebaikan yang ditimbulkan oleh mereka yang mengikuti Ajaran Sang Buddha. Pencapaian Nibbana adalah mustahil bagi orang yang masih mementingkan dirinya sendiri. Karenanya gagasan bahwa untuk menjadi Arahat merupakan tindakan yang mementingkan diri sendiri adalah tidak berdasar. (3)
Pendapat di atas juga diperkuat oleh David J Kalupahana,:
Satu dari kritikan utama yang muncul terhadap idola Buddha awal berupa "manusia sempurna" atau "yang mulia" (arahat) adalah bahwa ia lebih bersifat mementingkan diri sendiri daripada bersifat idola yang altruistik. Tetapi perlu diingat bahwa "manusia sempurna" ini merupakan produk akhir dari pengembangan kebajikan moral mulai dari tingkat dasar seperti yang dibicarakan dalam penjelasan yang disebut di atas.
Kebajikan-kebajikan moral yang dasar ini dalam satu bentuk atau lainnya dimaksudkan bukan hanya untuk pengembangan moral seseorang, melainkan juga membawakan kerukunan, kedamaian, dan kemajuan sosial. Hanya mereka telah melalui latihan moral yang demikian yang mampu mengembangkan kebajikan moral yang lebih tinggi (adhisila) dan konsentrasi mental (adhicitta) yang diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan yang lebih tinggi (adhipanna), dan selanjutnya mampu mencapai kebebasan (vimutti) (4)
Pada bagian berikutnya kita akan membahas mengenai konsep yang berbeda mengenai Bodhisattva di antara kedua aliran.
B. Bodhisattva
Bagian ini erat hubungannya dengan bagian sebelumnya, karena konsep Arahat dan Bodhisattva merupakan sesuatu yang berkaitan. Karena itu agar mendapatkan pemahaman yang baik mengenai bagian ini dianjurkan untuk membaca bagian sebelumnya terlebih dahulu. Dalam Bahasa Pali, Bodhisattva disebut dengan istilah Bodhisatta, yang artinya secara umum adalah calon Buddha. Menurut Theravada dan Mahayana sebelum terlahir menjadi Pangeran Siddharta, Sang Buddha adalah seorang Bodhisattva yang berdiam di Surga Tusita.
Kontroversi mulai timbul ketika ada pandangan bahwa seorang Bodhisattva sudah mencapai kesempurnaan dan kedudukannya lebih tinggi dibanding Arahat. Kita akan membahas hal tersebut dari sudut pandang Theravada dan Mahayana.
Bagian ini erat hubungannya dengan bagian sebelumnya, karena konsep Arahat dan Bodhisattva merupakan sesuatu yang berkaitan. Karena itu agar mendapatkan pemahaman yang baik mengenai bagian ini dianjurkan untuk membaca bagian sebelumnya terlebih dahulu. Dalam Bahasa Pali, Bodhisattva disebut dengan istilah Bodhisatta, yang artinya secara umum adalah calon Buddha. Menurut Theravada dan Mahayana sebelum terlahir menjadi Pangeran Siddharta, Sang Buddha adalah seorang Bodhisattva yang berdiam di Surga Tusita.
Kontroversi mulai timbul ketika ada pandangan bahwa seorang Bodhisattva sudah mencapai kesempurnaan dan kedudukannya lebih tinggi dibanding Arahat. Kita akan membahas hal tersebut dari sudut pandang Theravada dan Mahayana.
1. Pandangan Theravada mengenai Bodhisattva.
Seperti yang sudah kita singgung di atas menurut Buddhisme Theravada seorang Bodhisattva atau Bodhisatta adalah calon Buddha. Kalau kita analisa dari segi etimologis maka kata Bodhisatta terbentuk dari dua kata, yakni Bodhi yang bermakna penerangan atau pencerahan dan satta atau sattva dalam Bahasa Sansekerta yang berarti makhluk. Sehingga Bodhisatta berarti "makhluk yang beraspirasi untuk mencapai penerangan sempurna."
Di dalam Visuddhimagga IX disebutkan:
Sebagaimana halnya dengan Makhluk Agung (maha-satta: suatu sinonim yang sering dijumpai dalam Sutra-Sutra Mahayana bagi Bodhisatta, yang berarti "Makhluk yang mencari pencerahan" atau "makhluk yang ditentukan untuk mencapai Kebuddhaan.") memperhatikan kesejahteraan para makhluk, tidak dapat membiarkan penderitaan para makhluk, mengharapkan waktu yang lebih lama bagi tingkat kebahagiaan para makhluk yang lebih tinggi, tidak membeda-bedakan serta adil bagi para makhluk. (5)
Secara ringkas kutipan di atas menyatakan bahwa seorang Bodhisatta bergiat dalam mengusahakan kesejahteraan makhluk lain.
Literatur Theravada lainnya yang membahas mengenai Bodhisatta adalah Buddhavamsa (6). Pada literatur ini pandangan ideal seorang Bodhisatta dikembangkan hingga mencapai puncak yang tertinggi. Pada kitab ini disebutkan bahwa seorang Bodhisatta adalah seseorang yang berikrar untuk menjadi seorang Buddha yang sempurna (Samasambuddha) dikarenakan oleh belas kasihnya pada semua makhluk, yang melakukan berbagai macam kebajikan, dan yang menerima peramalan untuk pencapaian Kebuddhaannya pada masa mendatang (vyakarana). Sebagai tambahan seorang Bodhisatta yang disebutkan dalam Buddhavamsa berikrar untuk menjadi Bodhisatta setelah mencapai Kearahatan. Hal ini tercermin pada riwayat Bodhisatta Sumedha, kelahiran masa lampau dari Sang Buddha saat ia masih menempuh Jalan Bodhisatta. Saat itu Beliau terlahir pada masa Buddha Dipankara. Pada saat itu Sumedha merelakan tubuhnya diinjak oleh Buddha Dipankara agar kakiNya tidak kotor. Pada saat itu Sang Bodhisatta berpikir: "Jika mau, aku dapat membakar sampai habis kekotoranku sekarang [juga]. [Namun] apakah gunanya merealisasi Dhamma di sini [tanpa menguntungkan makhluk lain]? Setelah mencapai kemahatahuan, aku akan menjadi Buddha di dunia ini…"
Pandangan Theravada berikutnya mengenai Bodhisatta dikemukakan oleh Walpola Rahula:
Meskipun para penganut Buddhisme Theravada meyakini bahwa seseorang dapat menjadi Bodhisattva, namun mereka tidak mengharuskan atau menekankan bahwa seseorang harus menjadi seorang Bodhisattva… Terserah kepada masing-masing individu untuk memutuskan jalan mana yang akan diambilnya, entah sebagai Savaka, Paccekabuddha, atau Samaksambuddha (7)
Seperti yang sudah kita singgung di atas menurut Buddhisme Theravada seorang Bodhisattva atau Bodhisatta adalah calon Buddha. Kalau kita analisa dari segi etimologis maka kata Bodhisatta terbentuk dari dua kata, yakni Bodhi yang bermakna penerangan atau pencerahan dan satta atau sattva dalam Bahasa Sansekerta yang berarti makhluk. Sehingga Bodhisatta berarti "makhluk yang beraspirasi untuk mencapai penerangan sempurna."
Di dalam Visuddhimagga IX disebutkan:
Sebagaimana halnya dengan Makhluk Agung (maha-satta: suatu sinonim yang sering dijumpai dalam Sutra-Sutra Mahayana bagi Bodhisatta, yang berarti "Makhluk yang mencari pencerahan" atau "makhluk yang ditentukan untuk mencapai Kebuddhaan.") memperhatikan kesejahteraan para makhluk, tidak dapat membiarkan penderitaan para makhluk, mengharapkan waktu yang lebih lama bagi tingkat kebahagiaan para makhluk yang lebih tinggi, tidak membeda-bedakan serta adil bagi para makhluk. (5)
Secara ringkas kutipan di atas menyatakan bahwa seorang Bodhisatta bergiat dalam mengusahakan kesejahteraan makhluk lain.
Literatur Theravada lainnya yang membahas mengenai Bodhisatta adalah Buddhavamsa (6). Pada literatur ini pandangan ideal seorang Bodhisatta dikembangkan hingga mencapai puncak yang tertinggi. Pada kitab ini disebutkan bahwa seorang Bodhisatta adalah seseorang yang berikrar untuk menjadi seorang Buddha yang sempurna (Samasambuddha) dikarenakan oleh belas kasihnya pada semua makhluk, yang melakukan berbagai macam kebajikan, dan yang menerima peramalan untuk pencapaian Kebuddhaannya pada masa mendatang (vyakarana). Sebagai tambahan seorang Bodhisatta yang disebutkan dalam Buddhavamsa berikrar untuk menjadi Bodhisatta setelah mencapai Kearahatan. Hal ini tercermin pada riwayat Bodhisatta Sumedha, kelahiran masa lampau dari Sang Buddha saat ia masih menempuh Jalan Bodhisatta. Saat itu Beliau terlahir pada masa Buddha Dipankara. Pada saat itu Sumedha merelakan tubuhnya diinjak oleh Buddha Dipankara agar kakiNya tidak kotor. Pada saat itu Sang Bodhisatta berpikir: "Jika mau, aku dapat membakar sampai habis kekotoranku sekarang [juga]. [Namun] apakah gunanya merealisasi Dhamma di sini [tanpa menguntungkan makhluk lain]? Setelah mencapai kemahatahuan, aku akan menjadi Buddha di dunia ini…"
Pandangan Theravada berikutnya mengenai Bodhisatta dikemukakan oleh Walpola Rahula:
Meskipun para penganut Buddhisme Theravada meyakini bahwa seseorang dapat menjadi Bodhisattva, namun mereka tidak mengharuskan atau menekankan bahwa seseorang harus menjadi seorang Bodhisattva… Terserah kepada masing-masing individu untuk memutuskan jalan mana yang akan diambilnya, entah sebagai Savaka, Paccekabuddha, atau Samaksambuddha (7)
2. Pandangan Mahayana mengenai Bodhisattva.
Menurut naskah-naskah Mahayana, Bodhisattva adalah juga calon Buddha. Seorang Bodhisattva juga berikrar agar kelak dapat menjadi seorang Buddha yang sempurna dan lengkap (Samyaksambuddha). Hal tersebut dapat dibaca dalam Sutra Suvarnabhasottama bab III:
"Semoga aku menjadi seorang Buddha yang istimewa dengan ratusan ribu meditasi, dengan Dharani (magic formula) yang tak terbayangkan, dengan pencerapan-pencerapan (senses), dengan sepuluh kekuatan (bala), [dan tujuh] bagian pencerahan."
Seorang Bodhisattva berikrar pula untuk membantu memberi manfaat kepada semua makhluk sebagaimana yang tercantum pada Suvarnabhasottama Sutra dengan bab yang sama:
"Semoga aku menjalankan tugas/ karirku selama jutaan kalpa demi kepentingan tiap-tiap makhluk, sampai aku berhasil membebaskan mereka semua dari lautan kesengsaraan."
Berbagai sutra Mahayana juga menyebutkan bahwa Buddha memberikan peramalan mengenai pencapaian Kebuddhaan berbagai Bodhisattva.
Di dalam Sutra Avatamsaka (Sutra Dasabhumika), juga disebutkan mengenai sepuluh tingkatan kesucian Bodhisattva. Adapun tingkatan-tingkatan tersebut adalah Pramudita, Vimala, Prabhakari, Arcismati, Sudurjaya, Abhimukhi, Durangama, Acala, Sadhumati, dan Dharmamegha.
Seorang Bodhisattva menapaki tahapan tersebut satu persatu, hingga merealisasi Kebuddhaan, yang merupakan tingkatan tertinggi di atas Dharmamegha. Karena masih harus melalui tingkatan-tingkatan tersebut, berarti seorang Bodhisattva juga masih belum sempurna. Di dalam Sutra Samdhinirmocana bab VII, masing-masing tingkatan tersebut dihubungkan dengan kekotoran bathin (kilesha) [8] yang masih dimiliki Bodhisattva tersebut. Di mana naiknya seorang Bodhisattva ke tingkat yang lebih tinggi berarti penghapusan kotoran bathin tertentu yang masih dimilikinya. Makin tinggi tingkatannya makin halus kilesha yang tersisa. Dengan dihapuskannya kilesha terakhir pada tingkatan Dharmamegha tersebut seseorang mencapai tingkat Kebuddhaan.
Di sepanjang pelatihan spiritualnya dalam mencapai Kebuddhaan, seorang Bodhisattva melaksanakan tindakan-tindakan bajik yang disebut dengan paramita (lihat bagian khusus buku ini mengenai paramita). Tujuan paramita tersebut adalah untuk membawa kebahagiaan bagi makhluk lainnya.
3. Perbandingan pandangan dasar mengenai Bodhisattva di dalam Theravada dan Mahayana.
Setelah membandingkan kedua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua aliran sepakat bahwa:
1. Seorang Bodhisattva adalah calon Buddha.
2. Seorang Bodhisattva berikrar untuk menjadi Buddha.
3. Seorang Bodhisattva berjuang demi menguntungkan makhluk lainnya.
4. Para Bodhisattva juga menerima ramalan pencapaian Kebuddhaan (vyakarana) dari Buddha-Buddha terdahulu
Terlihat bahwa sebenarnya secara mendasar tidak ada perbedaan pengertian Bodhisattva di dalam Theravada dan Mahayana.
Setelah membandingkan kedua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua aliran sepakat bahwa:
1. Seorang Bodhisattva adalah calon Buddha.
2. Seorang Bodhisattva berikrar untuk menjadi Buddha.
3. Seorang Bodhisattva berjuang demi menguntungkan makhluk lainnya.
4. Para Bodhisattva juga menerima ramalan pencapaian Kebuddhaan (vyakarana) dari Buddha-Buddha terdahulu
Terlihat bahwa sebenarnya secara mendasar tidak ada perbedaan pengertian Bodhisattva di dalam Theravada dan Mahayana.
4. Ulasan pandangan yang berbeda mengenai Bodhisattva antara Theravada dan Mahayana.
Kini bagaimanakah dengan pendapat bahwa seorang Bodhisattva lebih tinggi dibandingkan dengan Arahat? Mahayana mengatakan bahwa Arahat tidak favorit dibandingkan Bodhisattva karena mereka hanya bertujuan untuk mencari keselamatan dirinya saja dan tidak membantu menyelamatkan makhluk lainnya. Marilah kita pelajari sutra-sutra Mahayana berikut ini mengenai Bodhisattva.
1. Sutra Mahratnakuta, sutra ke 35, yang berjudul Pembabaran Mengenai Kondisi Kebuddhaan Yang Tak Tertandingi menyebutkan:
Seorang Bodhisattva melampaui para Sravaka dan Pratyekabuddha dalam hal berikut, ia mencapai Nirvana, namun ia keluar lagi darinya, inilah yang membedakannya dengan Para Sravaka (Arahat) dan Pratyekabuddha.
2.Sutra Upayakausalya:
Bodhisattva-Mahasattva makhluk yang termulia, yang terunggul. Bodhisattva Mahasattva melatih semua dhyana dan samadhi, tetapi setelah melaksanakan itu semua, mereka kembali masuk ke Alam Nafsu untuk mengajari dan mengubah para makhluk hidup. Meskipun mereka melatih kekosongan, ketiadaan corak, dan ketiadaan aktivitas untuk mengubah makhluk hidup dan menyebabkan mereka menjadi Sravaka (Arhat) atau Pratyekabuddha, namun karena cinta kasih dan belas kasih agung, mereka selamanya tidak terpisah dari hati Bodhisattva.
3.Sutra Delapan Kesadaran Agung:
Roda kelahiran dan kematian bagaikan nyala api yang membakar sebuah rumah. Terdapat penderitaan yang tak terhingga. Pertama-tama kita harus berikrar untuk mengabdikan diri pada pengabdian kemanusiaan, kemudian menderita demi kepentingan mereka, dan akhirnya mempersilahkan mereka mencapai Nirvana, kebahagiaan mutlak yang mulia.
Untuk memecahkan permasalahan di atas, pertama-tama ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini; di dalam naskah-naskah Mahayana sekalipun pembebasan tetap harus diusahakan sendiri. Nibbana atau Nirvana tidaklah dapat dianugerahkan oleh makhluk lainnya, tetap kita harus berjuang sendiri-sendiri. Ini dinyatakan dengan jelas sekali dalam Sutra Mahaparinirvana Pacchimovada:
O, Para Bhikshu, berusahalah dengan giat dan bulatkan tekad untuk mencapai pembebasan! Segala sesuatu yang berubah dan tidak berubah merupakan manifestasi bentuk fenomena dari kemayaan! Tenanglah kalian! Tak lama kemudian Aku akan sirna! Inilah pesan-pesan terakhir-Ku!
Seorang Bodhisattva menurut Mahayana hanyalah membimbing para makhluk di dalam menempuh jalan yang benar menuju nirvana. Itulah pengertian yang benar bagi "menyelamatkan semua makhluk". Mereka menggunakan berbagai metode-jitu (skillful means) yang disebut upaya kausalya (merupakan salah satu di antara 10 Paramita Mahayana, lihat bagian buku ini yang khusus membahas mengenai paramita) dalam membimbing para makhluk agar selalu berada di jalan yang benar atau membawanya ke jalan tersebut apabila mereka belum berada di atasnya. Upaya kausalya berarti dengan terampil memanfaatkan berbagai metode untuk menarik perhatian dan mengarahkan para makhluk agar bersedia menapaki Jalan Dharma. Inilah salah satu keahlian para Bodhisattva. Para Bodhisattva dapat memahami keinginan dan kecenderungan para makhluk sehingga dapat mengajar mereka dengan metode yang tepat. Di sini kita menyimpulkan bahwa: setidaknya Mahayana dan Theravada setuju bahwa pencapaian nibbana tetap harus diusahakan oleh diri sendiri.
Untuk memahami akar gagasan Mahayana mengenai Bodhisattva serta latar belakang pandangan bahwa seorang Arahat hanya mengusahakan pembebasan dirinya saja, akan dikutipkan penjelasan Suwarto Tani:
Seorang arhat, yang telah terbebas, mengetahui bahwa dia tidak akan terlahir kembali. Dia telah menyelesaikan dengan baik apa yang harus dikerjakan. Dia telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada kehidupan suci. Dia mencapai kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasi pikiran dan hati. Dia sendiri menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh, menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai seorang pengkhotbah dan mengajarkan ajaran Buddha kepada orang lain. Guru tersebut sangat menganjurkan para siswanya untuk berkelana dan membabarkan kebenaran demi kebaikan dan pembebasan orang banyak, karena ia mengasihi sesama makhluk hidup dan menaruh belas kasihan pada mereka.
Demikianlah gagasan mengenai Arhat tersebut selama tiga abad sebelah parinibbana Sang Buddha. Tetapi nyatanya Para Bhikkhu Buddhisme mulai mengabaikan aspek-aspek perpenting tertentu gagasan tersebut pada abad kedua SM….. Mereka menjadi terlalu mementingkan diri sendiri dengan hidup menyendiri. Mereka tidak lagi melaksanakan semangat untuk membabarkan Dharma bagi yang lainnya di antara umat manusia. Mereka hanya mementingkan pembebasan diri mereka sendiri dan tidak lagi berpikir untuk mengajar dan membantu sesama manusia.(9)
Kutipan di atas melengkapi apa yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya mengenai arhat.
Berdasarkan kutipan tersebut kita boleh menyimpulkan bahwa para arhat pada mulanya juga memiliki semangat bodhisattva, yakni dalam wujud menyebarkan Dharma demi pembebasan makhluk lainnya. Hal tersebut terbukti pada Sutta Punnovana (Sutta ke-145 Majjhima Nikaya). Pada Sutta tersebut diriwayatkan mengenai murid Buddha yang bernama Punna. Ia mengatakan pada Buddha bahwa ia hendak mengajarkan Dhamma di Negeri Sunaparanta. Buddha mengingatkan bahwa penduduk negeri itu amat mengerikan dan kasar, serta menanyakan apakah yang akan terjadi bila mereka mencaci maki dan mengancam Punna. Ternyata, Punna memberikan jawaban yang sangat bagus:
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta mengancam dan mencaci makiku, maka aku akan berpikir [demikian]: ‘Warga Sunaparanta ini [memang] luar biasa, benar-benar luar biasa, mereka tidak meninjuku.’ Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia.”
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjumu, maka apa yang akan pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjuku, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak melempariku dengan segumpal tanah." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar melemparimu dengan tanah, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar melempariku dengan tanah, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak memukulku dengan tongkat." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulmu dengan tongkat, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulku dengan tongkat, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak menusukku dengan pisau." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukmu dengan pisau, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukku dengan pisau, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka belum membunuhku dengan pisau yang tajam." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhmu dengan pisau yang tajam, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhku dengan pisau yang tajam, maka aku seharusnya berpikir demikian:"Telah ada murid-murid Yang Terberkahi yang jijik, direndahkan, dan muak, dengan tubuh dan kehidupan, telah berharap agar dibunuh. Namun aku telah mengalami pembunuhan ini tanpa mencarinya." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Bagus, bagus, Punna! Engkau memiliki pengendalian diri dan kedamaian, engkau akan sanggup berdiam di Negeri Sunaparanta. Kini, Punna, saatnya untuk melakukan, apa yang engkau rasa baik."
Punna kemudian berangkat ke negeri tersebut. Sebagai hasil pembabaran Dhammanya, 500 orang penganut awam pria dan 500 penganut awam wanita mengenal kebenaran yang diajarkan Sang Buddha.
Di sini kita mempelajari dua hal penting. Pertama, tidak benar bahwa seorang arhat [yang asli] hanya mementingkan pembebasan dirinya saja. Banyak bukti dalam Kitab Suci Tipitaka Pali bahwa para arhat juga menyebarkan Dhamma demi membebaskan makhluk lainnya. Kedua, sikap Punna tersebut yang tetap sabar meskipun dianiaya dan dibunuh mencerminkan sikap seorang Bodhisattva yang welas asih. Padanan kisah tersebut terdapat dalam Sutra Saddharmapundarika bab XX, yang mengisahkan mengenai seorang Bodhisattva bernama Sadaparibhuta atau disebut juga Bodhisattva Yang Tidak Pernah Balas Mengutuk. Ia menerima dengan sabar cacian dan aniaya yang diberikan padanya, karena merasa bahwa orang-orang yang memusuhi dirinya kelak juga akan menjadi Buddha. Lebih jauh lagi, dalam Cariyapitaka Atthakata 292, yang merupakan literatur Buddhisme Theravada, disebutkan bahwa:
Seseorang hendaknya berpikir: "Aku tidak akan dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan pada mereka yang lain, dengan berharap semata. Aku harus berusaha untuk mewujudkannya."
Dalam Milindapanha 394 disebutkan:
Meditasi Cinta Kasih hendaknya dilakukan demi diri sendiri dan orang lain. Semua hendaknya diliputi cinta kasih. Inilah Ajaran Sang Buddha.
Dan pada Samyutta Nikaya II: 264 dikatakan:
Apabila seseorang memberi pemberian seratus uang logam pada pagi hari lalu siang hari dan sekali lagi pada malam harinya, dibanding seorang lain yang mengembangkan batin yang penuh cinta kasih pada pagi hari, siangnya dan malamnya walau hanya sepemerahan susu sapi, maka akan jauh lebih bermanfaat yang kedua. Oleh karenanya, hendaknya engkau melatih dirimu, dengan berpikir: "Kami akan mengembangkan pembebasan batin melalui cinta kasih. Kami akan sering berlatih. Kami akan menjadikannya sarana serta mendasari semua perbuatan. Kami akan berdiri kokoh di atasnya, menimbunnya dan lalu menganjurkannya."
Kutipan-kutipan dari naskah suci Theravada di atas menjelaskan pada kita bahwa sebenarnya aspek cinta dan belas kasih juga ditekankan dalam Theravada, sehingga dengan demikian para arhat sejatipun memiliki aspek cinta dan belas kasih tersebut. Namun sayangnya sebagian bhikkhu pada masa-masa yang lebih kemudian telah melupakan aspek tersebut, sehingga merusak pandangan umum mengenai kearahatan. Karenanya mereka lebih pantas disebut arahat palsu.
Kita dapat menyimpulkan bahwa timbulnya gagasan Mahayana bahwa Bodhisattva lebih tinggi dari arhat adalah sebagai reaksi atas kesalahan sikap sebagian bhikkhu dan pemuka Buddhis saat itu. Hal ini seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi kita, yakni membuat Buddhisme menjadi "merakyat" dan "membumi". Para pemuka Buddhisme dewasa ini seyogianya harus dapat memberikan pengabdian lebih pada umat.
Berikut ini akan kita bahas satu persatu kutipan-kutipan Sutra Mahayana di atas yang berhubungan dengan doktrin mengenai Bodhisattva. Berdasarkan konteks di atas kita seharusnya melihat bahwa kutipan sutra ke 35 dari kumpulan Maharatnakuta ditujukan sebagai sindiran bagi para bhikkhu dan pemuka agama pada zaman itu. Mereka disindir sebagai "arhat" dan "pratyekabuddha" palsu karena hanya mengurung diri dalam "nirvana" ciptaan mereka saja dan tidak bersedia keluar untuk melayani umat; karenanya, istilah "nirvana" di atas bukanlah dimaksudkan sebagai nirvana sebenarnya dan hanya dimaksudkan sebagai sindiran saja. Kata "nirvana" di atas dipergunakan untuk menyindir tempat pengasingan seorang bhikkhu yang menjauhkan diri dari umat awam. Seorang Bodhisattva dipuji karena bersedia meninggalkan tempat tersebut berkarya bagi kemanusiaan. Analoginya adalah saat kita menyindir orang yang pulang terlampau malam, kita dapat menyindirnya dengan ucapan, "Mengapa tidak pulang pagi saja?" Tentunya kita tidak mengharapkan agar ia benar-benar pulang pagi, bukan? Pola penafsiran yang sama hendaknya diterapkan pada kutipan sutra-sutra Mahayana di atas, dimana kita harus memahami konteks dan suasana spiritual saat timbulnya sutra-sutra itu. Kesan negatif terhadap para bhikkhu zaman itulah yang menyebabkan pengagungan terhadap konsep Bodhisattva.
Kutipan Sutra Upayakausalya di atas juga diawali dengan pengagung-agungan terhadap Bodhisattva, yakni dengan mengatakan bahwa mereka adalah makhluk termulia dan terunggul. Mereka juga mempelajari beraneka Ajaran Buddha, seperti kekosongan, ketiadaan corak, dan lain sebagainya. Namun setelah mempelajarinya mereka bersedia menerapkannya di tengah -tengah masyarakat, tidak seperti beberapa bhikkhu di zaman itu yang tidak berniat untuk mengimplikasikan pengetahuannya bagi humanisme. Pada zaman sekarang sekalipun kita juga sering tergoda untuk melakukan hal serupa, dengan banyak belajar dan mendengar Dharma, namun malas menyebarkannya demi terciptanya masyarakat yang lebih baik. Akibatnya, Buddhisme mengalami stagnasi.
Sutra Delapan Kesadaran Agung mengajarkan bahwa sebagai seorang Buddhis kita harus peduli dengan masalah kemasyarakatan. Sebagai seorang Buddhis kita tidak dapat menutup diri kita terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita - termasuk penderitaan yang dialami para makhluk -- jadi kita tidak cukup hanya mengurung diri dan mempelajari Dharma. Oleh karenanya Sutra Delapan Kesadaran Agung ini dapat dianggap sebagai sindiran bagi sebagian bhikkhu zaman itu yang terlalu mementingkan dirinya, menjadi melekat pada apa yang tertulis dan mengabaikan penderitaan makhluk lainnya. Lebih jauh lagi, kutipan sutra di atas juga menganjurkan agar kita agar bersedia menjadi pejuang kemanusiaan. Umat Buddha hendaknya tidak perlu takut menyuarakan kebenaran meskipun mendapat resiko dicaci maki atau dimusuhi.
Berdasarkan kutipan pernyataan Walpola Rahula di atas kita mengetahui bahwa di dalam Buddhisme Theravada umat dibebaskan untuk memilih pencapaian berupa Arhat, Pratyekabuddha, ataupun Samyaksambuddha, sedangkan di dalam Mahayana tujuan utamanya adalah menjadi Samyaksambuddha (Buddha yang sempurna dan lengkap). Tentu saja, hal ini tidak bertentangan, karena seseorang boleh saja memilih salah satu dari sekian banyak pilihan menjadi pilihan utamanya (10)
Sebagai penutup akan dikutipkan pendapat Kogen Mizuno:
Kebangkitan Mahayana, yang mendapatkan dukungan pada abad pertama sebelum Masehi, atau sekitar 400 tahun setelah Sakyamuni Buddha parinirvana, bertujuan untuk mengembalikan semangat asli dari Ajaran Sang Buddha, yang pada saat itu telah menjadi terlalu formal.(11)
Kini bagaimanakah dengan pendapat bahwa seorang Bodhisattva lebih tinggi dibandingkan dengan Arahat? Mahayana mengatakan bahwa Arahat tidak favorit dibandingkan Bodhisattva karena mereka hanya bertujuan untuk mencari keselamatan dirinya saja dan tidak membantu menyelamatkan makhluk lainnya. Marilah kita pelajari sutra-sutra Mahayana berikut ini mengenai Bodhisattva.
1. Sutra Mahratnakuta, sutra ke 35, yang berjudul Pembabaran Mengenai Kondisi Kebuddhaan Yang Tak Tertandingi menyebutkan:
Seorang Bodhisattva melampaui para Sravaka dan Pratyekabuddha dalam hal berikut, ia mencapai Nirvana, namun ia keluar lagi darinya, inilah yang membedakannya dengan Para Sravaka (Arahat) dan Pratyekabuddha.
2.Sutra Upayakausalya:
Bodhisattva-Mahasattva makhluk yang termulia, yang terunggul. Bodhisattva Mahasattva melatih semua dhyana dan samadhi, tetapi setelah melaksanakan itu semua, mereka kembali masuk ke Alam Nafsu untuk mengajari dan mengubah para makhluk hidup. Meskipun mereka melatih kekosongan, ketiadaan corak, dan ketiadaan aktivitas untuk mengubah makhluk hidup dan menyebabkan mereka menjadi Sravaka (Arhat) atau Pratyekabuddha, namun karena cinta kasih dan belas kasih agung, mereka selamanya tidak terpisah dari hati Bodhisattva.
3.Sutra Delapan Kesadaran Agung:
Roda kelahiran dan kematian bagaikan nyala api yang membakar sebuah rumah. Terdapat penderitaan yang tak terhingga. Pertama-tama kita harus berikrar untuk mengabdikan diri pada pengabdian kemanusiaan, kemudian menderita demi kepentingan mereka, dan akhirnya mempersilahkan mereka mencapai Nirvana, kebahagiaan mutlak yang mulia.
Untuk memecahkan permasalahan di atas, pertama-tama ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini; di dalam naskah-naskah Mahayana sekalipun pembebasan tetap harus diusahakan sendiri. Nibbana atau Nirvana tidaklah dapat dianugerahkan oleh makhluk lainnya, tetap kita harus berjuang sendiri-sendiri. Ini dinyatakan dengan jelas sekali dalam Sutra Mahaparinirvana Pacchimovada:
O, Para Bhikshu, berusahalah dengan giat dan bulatkan tekad untuk mencapai pembebasan! Segala sesuatu yang berubah dan tidak berubah merupakan manifestasi bentuk fenomena dari kemayaan! Tenanglah kalian! Tak lama kemudian Aku akan sirna! Inilah pesan-pesan terakhir-Ku!
Seorang Bodhisattva menurut Mahayana hanyalah membimbing para makhluk di dalam menempuh jalan yang benar menuju nirvana. Itulah pengertian yang benar bagi "menyelamatkan semua makhluk". Mereka menggunakan berbagai metode-jitu (skillful means) yang disebut upaya kausalya (merupakan salah satu di antara 10 Paramita Mahayana, lihat bagian buku ini yang khusus membahas mengenai paramita) dalam membimbing para makhluk agar selalu berada di jalan yang benar atau membawanya ke jalan tersebut apabila mereka belum berada di atasnya. Upaya kausalya berarti dengan terampil memanfaatkan berbagai metode untuk menarik perhatian dan mengarahkan para makhluk agar bersedia menapaki Jalan Dharma. Inilah salah satu keahlian para Bodhisattva. Para Bodhisattva dapat memahami keinginan dan kecenderungan para makhluk sehingga dapat mengajar mereka dengan metode yang tepat. Di sini kita menyimpulkan bahwa: setidaknya Mahayana dan Theravada setuju bahwa pencapaian nibbana tetap harus diusahakan oleh diri sendiri.
Untuk memahami akar gagasan Mahayana mengenai Bodhisattva serta latar belakang pandangan bahwa seorang Arahat hanya mengusahakan pembebasan dirinya saja, akan dikutipkan penjelasan Suwarto Tani:
Seorang arhat, yang telah terbebas, mengetahui bahwa dia tidak akan terlahir kembali. Dia telah menyelesaikan dengan baik apa yang harus dikerjakan. Dia telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada kehidupan suci. Dia mencapai kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasi pikiran dan hati. Dia sendiri menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh, menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai seorang pengkhotbah dan mengajarkan ajaran Buddha kepada orang lain. Guru tersebut sangat menganjurkan para siswanya untuk berkelana dan membabarkan kebenaran demi kebaikan dan pembebasan orang banyak, karena ia mengasihi sesama makhluk hidup dan menaruh belas kasihan pada mereka.
Demikianlah gagasan mengenai Arhat tersebut selama tiga abad sebelah parinibbana Sang Buddha. Tetapi nyatanya Para Bhikkhu Buddhisme mulai mengabaikan aspek-aspek perpenting tertentu gagasan tersebut pada abad kedua SM….. Mereka menjadi terlalu mementingkan diri sendiri dengan hidup menyendiri. Mereka tidak lagi melaksanakan semangat untuk membabarkan Dharma bagi yang lainnya di antara umat manusia. Mereka hanya mementingkan pembebasan diri mereka sendiri dan tidak lagi berpikir untuk mengajar dan membantu sesama manusia.(9)
Kutipan di atas melengkapi apa yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya mengenai arhat.
Berdasarkan kutipan tersebut kita boleh menyimpulkan bahwa para arhat pada mulanya juga memiliki semangat bodhisattva, yakni dalam wujud menyebarkan Dharma demi pembebasan makhluk lainnya. Hal tersebut terbukti pada Sutta Punnovana (Sutta ke-145 Majjhima Nikaya). Pada Sutta tersebut diriwayatkan mengenai murid Buddha yang bernama Punna. Ia mengatakan pada Buddha bahwa ia hendak mengajarkan Dhamma di Negeri Sunaparanta. Buddha mengingatkan bahwa penduduk negeri itu amat mengerikan dan kasar, serta menanyakan apakah yang akan terjadi bila mereka mencaci maki dan mengancam Punna. Ternyata, Punna memberikan jawaban yang sangat bagus:
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta mengancam dan mencaci makiku, maka aku akan berpikir [demikian]: ‘Warga Sunaparanta ini [memang] luar biasa, benar-benar luar biasa, mereka tidak meninjuku.’ Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia.”
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjumu, maka apa yang akan pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjuku, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak melempariku dengan segumpal tanah." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar melemparimu dengan tanah, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar melempariku dengan tanah, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak memukulku dengan tongkat." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulmu dengan tongkat, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulku dengan tongkat, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak menusukku dengan pisau." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukmu dengan pisau, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukku dengan pisau, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka belum membunuhku dengan pisau yang tajam." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhmu dengan pisau yang tajam, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhku dengan pisau yang tajam, maka aku seharusnya berpikir demikian:"Telah ada murid-murid Yang Terberkahi yang jijik, direndahkan, dan muak, dengan tubuh dan kehidupan, telah berharap agar dibunuh. Namun aku telah mengalami pembunuhan ini tanpa mencarinya." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Bagus, bagus, Punna! Engkau memiliki pengendalian diri dan kedamaian, engkau akan sanggup berdiam di Negeri Sunaparanta. Kini, Punna, saatnya untuk melakukan, apa yang engkau rasa baik."
Punna kemudian berangkat ke negeri tersebut. Sebagai hasil pembabaran Dhammanya, 500 orang penganut awam pria dan 500 penganut awam wanita mengenal kebenaran yang diajarkan Sang Buddha.
Di sini kita mempelajari dua hal penting. Pertama, tidak benar bahwa seorang arhat [yang asli] hanya mementingkan pembebasan dirinya saja. Banyak bukti dalam Kitab Suci Tipitaka Pali bahwa para arhat juga menyebarkan Dhamma demi membebaskan makhluk lainnya. Kedua, sikap Punna tersebut yang tetap sabar meskipun dianiaya dan dibunuh mencerminkan sikap seorang Bodhisattva yang welas asih. Padanan kisah tersebut terdapat dalam Sutra Saddharmapundarika bab XX, yang mengisahkan mengenai seorang Bodhisattva bernama Sadaparibhuta atau disebut juga Bodhisattva Yang Tidak Pernah Balas Mengutuk. Ia menerima dengan sabar cacian dan aniaya yang diberikan padanya, karena merasa bahwa orang-orang yang memusuhi dirinya kelak juga akan menjadi Buddha. Lebih jauh lagi, dalam Cariyapitaka Atthakata 292, yang merupakan literatur Buddhisme Theravada, disebutkan bahwa:
Seseorang hendaknya berpikir: "Aku tidak akan dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan pada mereka yang lain, dengan berharap semata. Aku harus berusaha untuk mewujudkannya."
Dalam Milindapanha 394 disebutkan:
Meditasi Cinta Kasih hendaknya dilakukan demi diri sendiri dan orang lain. Semua hendaknya diliputi cinta kasih. Inilah Ajaran Sang Buddha.
Dan pada Samyutta Nikaya II: 264 dikatakan:
Apabila seseorang memberi pemberian seratus uang logam pada pagi hari lalu siang hari dan sekali lagi pada malam harinya, dibanding seorang lain yang mengembangkan batin yang penuh cinta kasih pada pagi hari, siangnya dan malamnya walau hanya sepemerahan susu sapi, maka akan jauh lebih bermanfaat yang kedua. Oleh karenanya, hendaknya engkau melatih dirimu, dengan berpikir: "Kami akan mengembangkan pembebasan batin melalui cinta kasih. Kami akan sering berlatih. Kami akan menjadikannya sarana serta mendasari semua perbuatan. Kami akan berdiri kokoh di atasnya, menimbunnya dan lalu menganjurkannya."
Kutipan-kutipan dari naskah suci Theravada di atas menjelaskan pada kita bahwa sebenarnya aspek cinta dan belas kasih juga ditekankan dalam Theravada, sehingga dengan demikian para arhat sejatipun memiliki aspek cinta dan belas kasih tersebut. Namun sayangnya sebagian bhikkhu pada masa-masa yang lebih kemudian telah melupakan aspek tersebut, sehingga merusak pandangan umum mengenai kearahatan. Karenanya mereka lebih pantas disebut arahat palsu.
Kita dapat menyimpulkan bahwa timbulnya gagasan Mahayana bahwa Bodhisattva lebih tinggi dari arhat adalah sebagai reaksi atas kesalahan sikap sebagian bhikkhu dan pemuka Buddhis saat itu. Hal ini seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi kita, yakni membuat Buddhisme menjadi "merakyat" dan "membumi". Para pemuka Buddhisme dewasa ini seyogianya harus dapat memberikan pengabdian lebih pada umat.
Berikut ini akan kita bahas satu persatu kutipan-kutipan Sutra Mahayana di atas yang berhubungan dengan doktrin mengenai Bodhisattva. Berdasarkan konteks di atas kita seharusnya melihat bahwa kutipan sutra ke 35 dari kumpulan Maharatnakuta ditujukan sebagai sindiran bagi para bhikkhu dan pemuka agama pada zaman itu. Mereka disindir sebagai "arhat" dan "pratyekabuddha" palsu karena hanya mengurung diri dalam "nirvana" ciptaan mereka saja dan tidak bersedia keluar untuk melayani umat; karenanya, istilah "nirvana" di atas bukanlah dimaksudkan sebagai nirvana sebenarnya dan hanya dimaksudkan sebagai sindiran saja. Kata "nirvana" di atas dipergunakan untuk menyindir tempat pengasingan seorang bhikkhu yang menjauhkan diri dari umat awam. Seorang Bodhisattva dipuji karena bersedia meninggalkan tempat tersebut berkarya bagi kemanusiaan. Analoginya adalah saat kita menyindir orang yang pulang terlampau malam, kita dapat menyindirnya dengan ucapan, "Mengapa tidak pulang pagi saja?" Tentunya kita tidak mengharapkan agar ia benar-benar pulang pagi, bukan? Pola penafsiran yang sama hendaknya diterapkan pada kutipan sutra-sutra Mahayana di atas, dimana kita harus memahami konteks dan suasana spiritual saat timbulnya sutra-sutra itu. Kesan negatif terhadap para bhikkhu zaman itulah yang menyebabkan pengagungan terhadap konsep Bodhisattva.
Kutipan Sutra Upayakausalya di atas juga diawali dengan pengagung-agungan terhadap Bodhisattva, yakni dengan mengatakan bahwa mereka adalah makhluk termulia dan terunggul. Mereka juga mempelajari beraneka Ajaran Buddha, seperti kekosongan, ketiadaan corak, dan lain sebagainya. Namun setelah mempelajarinya mereka bersedia menerapkannya di tengah -tengah masyarakat, tidak seperti beberapa bhikkhu di zaman itu yang tidak berniat untuk mengimplikasikan pengetahuannya bagi humanisme. Pada zaman sekarang sekalipun kita juga sering tergoda untuk melakukan hal serupa, dengan banyak belajar dan mendengar Dharma, namun malas menyebarkannya demi terciptanya masyarakat yang lebih baik. Akibatnya, Buddhisme mengalami stagnasi.
Sutra Delapan Kesadaran Agung mengajarkan bahwa sebagai seorang Buddhis kita harus peduli dengan masalah kemasyarakatan. Sebagai seorang Buddhis kita tidak dapat menutup diri kita terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita - termasuk penderitaan yang dialami para makhluk -- jadi kita tidak cukup hanya mengurung diri dan mempelajari Dharma. Oleh karenanya Sutra Delapan Kesadaran Agung ini dapat dianggap sebagai sindiran bagi sebagian bhikkhu zaman itu yang terlalu mementingkan dirinya, menjadi melekat pada apa yang tertulis dan mengabaikan penderitaan makhluk lainnya. Lebih jauh lagi, kutipan sutra di atas juga menganjurkan agar kita agar bersedia menjadi pejuang kemanusiaan. Umat Buddha hendaknya tidak perlu takut menyuarakan kebenaran meskipun mendapat resiko dicaci maki atau dimusuhi.
Berdasarkan kutipan pernyataan Walpola Rahula di atas kita mengetahui bahwa di dalam Buddhisme Theravada umat dibebaskan untuk memilih pencapaian berupa Arhat, Pratyekabuddha, ataupun Samyaksambuddha, sedangkan di dalam Mahayana tujuan utamanya adalah menjadi Samyaksambuddha (Buddha yang sempurna dan lengkap). Tentu saja, hal ini tidak bertentangan, karena seseorang boleh saja memilih salah satu dari sekian banyak pilihan menjadi pilihan utamanya (10)
Sebagai penutup akan dikutipkan pendapat Kogen Mizuno:
Kebangkitan Mahayana, yang mendapatkan dukungan pada abad pertama sebelum Masehi, atau sekitar 400 tahun setelah Sakyamuni Buddha parinirvana, bertujuan untuk mengembalikan semangat asli dari Ajaran Sang Buddha, yang pada saat itu telah menjadi terlalu formal.(11)
5. Apakah Ikrar Bodhisattva hanya dikenal dalam Buddhisme Mahayana?
Jawabnya ternyata adalah tidak. Di dalam Buddhavamsa 2A: 56 yang terdapat dalam kanon Pali ternyata disebutkan ikrar Bodhisatta Sumedha, yang merupakan kelahiran masa lampau dari Sang Buddha saat Beliau masih menempuh Jalan Bodhisatta:
"Apakah gunanya aku menyeberang seorang diri, menjadi seseorang yang menyadari kekuatanku? Setelah meraih kemaha-tahuan, aku akan menyebabkan dunia ini bersama dengan para dewa untuk menyeberang [bersama-sama]. Memotong aliran samsara, menghancurkan tiga proses dumadi (becomings), menaiki perahu Dhamma. Aku akan menyebabkan dunia ini beserta para dewa untuk menyeberang." (12)
Kutipan di atas nyata sekali sangat dekat isinya dengan Ikrar Bodhisattva yang terdapat dalam Mahayana.
Sejarah juga membuktikan bahwa banyak tokoh-tokoh Buddhis Theravada yang menjalankan ikrar Bodhisattva atau memandang diri mereka sendiri sebagai Bodhisattva (13). Mahavamsa mengisahkan bahwa Raja Duttagamani (abad kedua SM) dari Srilanka menolak untuk terlahir di alam dewa setelah menjalani hidup sebagai seorang samanera. Ia lebih memilih untuk terlahir kembali di dunia ini agar dapat memajukan Buddhisme dan Sangha. Meskipun Duttagamani tidak disebutkan sebagai seorang Bodhisattva dalam Mahavamsa, namun tentu saja ia memenuhi kriteria-kriteria sebagai seorang Bodhisattva. Raja Sirisamghabodhi menyelamatkan warga Srilanka dari kekeringan yang mematikan serta mengorbankan kepalanya sendiri demi mencegah peperangan. Raja Buddhadasa yang mengasihi semua makhluk, seolah-olah mereka adalah anak-anaknya sendiri. Raja Upatissa (masih dari Srilanka) telah menjalankan sepuluh parami pada masa pemerintahannya.Semenjak abad kedelapan Masehi, hubungan antara kedudukan raja dengan Kebodhisattvaan menjadi makin sering terjadi. Kita dapat menjumpai banyak fakta bahwa raja-raja beragama Buddha Theravada dari Srilanka, Burma (sekarang disebut Myanmar) dan Muangthai yang menyatakan diri mereka sebagai Bodhisattva. Raja Nissanka Malla (1187-1196) dari Polonnaruwa, Srilanka membuat pernyataan: "Aku akan menunjukkan diriku dalam wujud yang sejati yang dilimpahi dengan…kualitas-kualitas bajik seorang Raja Bodhisatta, yang bagaikan orang tua melindungi dunia dan agama."
Raja Parakramabahu VI dalam segel kerajaannya menyebut dirinya sebagai Bodhisatta Parakramabahu. Raja Mahinda IV bahkan lebih jauh lagi menyatakan bahwa seorang yang bukan Bodhisatta tidak akan dapat menjadi Raja Srilanka.
Kini kita beralih ke Burma. Di negeri tersebut contoh hubungan antara raja dan Bodhisattva diperlihatkan oleh Raja Kyanzittha, yang menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta, yang kelak akan menjadi seorang Buddha, yang menyelamatkan dan membebaskan semua makhluk, yang memiliki cinta dan belas kasih bagi semua makhluk di segala jaman, serta yang telah diramalkan oleh Sang Buddha untuk menjadi seorang Buddha yang sempurna." Raja Alaungsithu menulis bahwa ia akan menolong semua makhluk mencapai "Kota yang Terberkahi" (nibbana).”
Raja-raja Sri Tribhuvanaditya, Thiluin Man, Cansu I, dan Natonmya semuanya menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta. Di Muangthai, Raja Lu Tai dari Sukhothai berharap untuk "menjadi seorang Buddha demi membantu semua makhluk meninggalkan samsara."
Masih banyak lagi tokoh-tokoh Theravada lainnya, yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, juga berikrar untuk menjadi Bodhisatta.
Pengarang komentar kitab Jataka (Jatakattakatha) menutup karangannya dengan ikrar untuk melaksanakan sepuluh parami agar pada masa mendatang ia dapat menjadi Buddha dan membimbing para makhluk yang berada di dunia ini dan alam dewa menuju nibanna, sehingga terbebas dari kelahiran dan kematian yang tanpa henti. Buddhaghosa, penulis komentar yang terkenal tersebut juga diyakini oleh para Bhikkhu di Anuradhapura sebagai penjelmaan Bodhisatta Metteya. Bhikkhu besar dari Srilanka Doratiyaveye (sekitar 1900) setelah menerima ajaran rahasia dari guru meditasinya, menolak untuk mempraktekkannya. Penolakan itu disebabkan karena ia merasa bahwa teknik meditasi tersebut akan menyebabkannya menjadi seorang Arahat atau setidaknya sotapanna, padahal ia menganggap diri sebagai seorang Bodhisatta dan telah berikrar untuk menjadi seorang Buddha kelak. Bhikkhu Maha Tipitaka Culabhaya dalam komentarnya mengenai Milindapanha menulis: "Buddho Bhaveyyam" atau "Semoga aku menjadi seorang Buddha.”
Jawabnya ternyata adalah tidak. Di dalam Buddhavamsa 2A: 56 yang terdapat dalam kanon Pali ternyata disebutkan ikrar Bodhisatta Sumedha, yang merupakan kelahiran masa lampau dari Sang Buddha saat Beliau masih menempuh Jalan Bodhisatta:
"Apakah gunanya aku menyeberang seorang diri, menjadi seseorang yang menyadari kekuatanku? Setelah meraih kemaha-tahuan, aku akan menyebabkan dunia ini bersama dengan para dewa untuk menyeberang [bersama-sama]. Memotong aliran samsara, menghancurkan tiga proses dumadi (becomings), menaiki perahu Dhamma. Aku akan menyebabkan dunia ini beserta para dewa untuk menyeberang." (12)
Kutipan di atas nyata sekali sangat dekat isinya dengan Ikrar Bodhisattva yang terdapat dalam Mahayana.
Sejarah juga membuktikan bahwa banyak tokoh-tokoh Buddhis Theravada yang menjalankan ikrar Bodhisattva atau memandang diri mereka sendiri sebagai Bodhisattva (13). Mahavamsa mengisahkan bahwa Raja Duttagamani (abad kedua SM) dari Srilanka menolak untuk terlahir di alam dewa setelah menjalani hidup sebagai seorang samanera. Ia lebih memilih untuk terlahir kembali di dunia ini agar dapat memajukan Buddhisme dan Sangha. Meskipun Duttagamani tidak disebutkan sebagai seorang Bodhisattva dalam Mahavamsa, namun tentu saja ia memenuhi kriteria-kriteria sebagai seorang Bodhisattva. Raja Sirisamghabodhi menyelamatkan warga Srilanka dari kekeringan yang mematikan serta mengorbankan kepalanya sendiri demi mencegah peperangan. Raja Buddhadasa yang mengasihi semua makhluk, seolah-olah mereka adalah anak-anaknya sendiri. Raja Upatissa (masih dari Srilanka) telah menjalankan sepuluh parami pada masa pemerintahannya.Semenjak abad kedelapan Masehi, hubungan antara kedudukan raja dengan Kebodhisattvaan menjadi makin sering terjadi. Kita dapat menjumpai banyak fakta bahwa raja-raja beragama Buddha Theravada dari Srilanka, Burma (sekarang disebut Myanmar) dan Muangthai yang menyatakan diri mereka sebagai Bodhisattva. Raja Nissanka Malla (1187-1196) dari Polonnaruwa, Srilanka membuat pernyataan: "Aku akan menunjukkan diriku dalam wujud yang sejati yang dilimpahi dengan…kualitas-kualitas bajik seorang Raja Bodhisatta, yang bagaikan orang tua melindungi dunia dan agama."
Raja Parakramabahu VI dalam segel kerajaannya menyebut dirinya sebagai Bodhisatta Parakramabahu. Raja Mahinda IV bahkan lebih jauh lagi menyatakan bahwa seorang yang bukan Bodhisatta tidak akan dapat menjadi Raja Srilanka.
Kini kita beralih ke Burma. Di negeri tersebut contoh hubungan antara raja dan Bodhisattva diperlihatkan oleh Raja Kyanzittha, yang menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta, yang kelak akan menjadi seorang Buddha, yang menyelamatkan dan membebaskan semua makhluk, yang memiliki cinta dan belas kasih bagi semua makhluk di segala jaman, serta yang telah diramalkan oleh Sang Buddha untuk menjadi seorang Buddha yang sempurna." Raja Alaungsithu menulis bahwa ia akan menolong semua makhluk mencapai "Kota yang Terberkahi" (nibbana).”
Raja-raja Sri Tribhuvanaditya, Thiluin Man, Cansu I, dan Natonmya semuanya menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta. Di Muangthai, Raja Lu Tai dari Sukhothai berharap untuk "menjadi seorang Buddha demi membantu semua makhluk meninggalkan samsara."
Masih banyak lagi tokoh-tokoh Theravada lainnya, yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, juga berikrar untuk menjadi Bodhisatta.
Pengarang komentar kitab Jataka (Jatakattakatha) menutup karangannya dengan ikrar untuk melaksanakan sepuluh parami agar pada masa mendatang ia dapat menjadi Buddha dan membimbing para makhluk yang berada di dunia ini dan alam dewa menuju nibanna, sehingga terbebas dari kelahiran dan kematian yang tanpa henti. Buddhaghosa, penulis komentar yang terkenal tersebut juga diyakini oleh para Bhikkhu di Anuradhapura sebagai penjelmaan Bodhisatta Metteya. Bhikkhu besar dari Srilanka Doratiyaveye (sekitar 1900) setelah menerima ajaran rahasia dari guru meditasinya, menolak untuk mempraktekkannya. Penolakan itu disebabkan karena ia merasa bahwa teknik meditasi tersebut akan menyebabkannya menjadi seorang Arahat atau setidaknya sotapanna, padahal ia menganggap diri sebagai seorang Bodhisatta dan telah berikrar untuk menjadi seorang Buddha kelak. Bhikkhu Maha Tipitaka Culabhaya dalam komentarnya mengenai Milindapanha menulis: "Buddho Bhaveyyam" atau "Semoga aku menjadi seorang Buddha.”
Para Bodhisattva berikrar bahwa mereka akan menyelamatkan seluruh makhluk, tetapi karena makhluk hidup tak terhingga jumlahnya. Apakah ikrar semacam itu masih relevan?
Jawab: Masih, karena di dalam membicarakan suatu ikrar kita mementingkan suatu "totalisme" yang menunjukkan ketulusan di dalam ikrar tersebut. Tidak mungkin seorang Bodhisattva mengatakan bahwa ia hanya hendak menyelamatkan 1, 10, 100, 1000, 1 juta, ataupun 1 milyar makhluk saja. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia hanya hendak menyelamatkan 1/6, 1/8, atau ½ dari jumlah makhluk yang ada. Kalau ia berikrar demikian maka ikrarnya masih belum tulus, karena masih ada sifat membeda-bedakan. Dengan demikian, ikrar semacam itu bukanlah ikrar sejati dan tidak mengandung belas kasih universal.
Sama halnya dengan seorang murid yang berikrar bahwa ia tidak akan membolos lagi. Janji tersebut berlaku tanpa kecuali. Kalau seorang murid telah berjanji demikian maka itu artinya sampai kapanpun ia tidak akan membolos. Demikian pula dengan para Bodhisattva, meskipun jumlah makhluk hidup tak terhitung, kita menyadari bahwa masing-masing menanggung buah karmanya sendiri.
Lebih jauh lagi, apabila kita memahami bahwa makhluk hidup itu semuanya sebenarnya kosong (shunya) maka sebenarnya `tidak ada' makhluk hidup yang diselamatkan. `Jumlah' makhluk hidup tampaknya luar biasa tak terhingga bagi mereka yang melekat pada pandangan adanya suatu "aku" yang kekal (atta).
Di dalam Mahayana terdapat Bodhisattva-Bodhisattva lainnya seperti Avalokitesvara, Kshi-tigarbha, Manjushri, Samantabhadra, Mahasthamaprapta, Bhaisajyaraja, dan lain-lain, sedangkan di dalam Buddha Theravada hanya dikenal satu Bodhisattva saja yakni Metteya (Maitreya). Apakah hal tersebut menunjukkan pertentangan antara Mahayana dan Theravada?
Jawabnya tentu saja tidak. Ada beberapa jawaban untuk hal ini. Pertama kali tidak disebutkannya suatu hal, bukanlah kriteria bahwa hal tersebut tidak ada, misalnya ada kalimat yang berbunyi sebagai berikut: "contoh sayuran adalah bayam, kubis, dan sawi." Lalu apakah dengan demikian lobak dan wortel bukan termasuk sayuran? Kalau misalnya penulis membuat kalimat baru: "contoh sayuran adalah bayam, kubis, sawi, wortel, lobak, dan buncis." Apakah kedua kalimat di atas bertentangan? Tentu tidak bukan? Demikian juga halnya dengan masalah Bodhisattva di atas. Theravada tidak mencantumkan nama-nama Bodhisattva lainnya, bukan berarti kedua hal tersebut bertentangan (tidak ada).
Sesungguhnya kalau ditinjau dari segi ilmiah (tanpa memandang Kanon Pali maupun Sansekerta), Metteya maupun Avalokitesvara, [Kshitigarbha, Manjushri, dll.] adalah sama saja; dalam artian bahwa mereka semua bukanlah tokoh yang benar-benar pernah hidup dalam sejarah dan sama-sama tidak dapat dibuktikan keberadaannya secara historis. Dari sudut pandang seorang skeptis/ non-Buddhis, Metteya (meskipun namanya tercatat dalam Kanon Pali) dan Avalokitesvara (meskipun namanya tidak tercatat dalam Kanon Pali) adalah sama-sama fiktifnya. Tanyakanlah kepada penganut Agama non-Buddhis, "Apakah Anda percaya akan keberadaan Metteya?" Jawabnya pasti "tidak."
Tanyakan pula, "Apakah Anda percaya akan keberadaan Avalokitesvara?"
Jawabnya juga pasti "tidak." Kita tidak dapat memungkiri bahwa tiap-tiap agama mengandung unsur faith atau keyakinan, yakni keyakinan terhadap "sesuatu" yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah [dengan menggunakan metode-metode sains] dan ini tentunya tidak dapat diperdebatkan. Theravada juga mengakui adanya dewa, naga, Mara, surga, neraka, alam-alam kehidupan lain (yang juga diyakini oleh Mahayana), namun tentu saja keberadaannya juga tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan metode-metode sains. Hal ini menunjukkan bahwa baik Theravada maupun Mahayana sama-sama tidak terbebas dari "mitos."
Penting pula untuk memahami mengenai makna Avalokitesvara yang sesungguhnya menurut Ajaran Buddhisme Mahayana. -- Menurut Ajaran Mahayana yang sejati masalahnya bukan terletak pada percaya ataupun tidak percaya. Pandangan ini diwakili oleh Buddhisme Zen yang mengatakan bahwa Avalokitesvara sejati berada dalam pikiran kita sendiri, jadi tidak ada keharusan untuk meyakini keberadaannya. Demikian pula dengan yang diajarkan oleh Buddhisme Vajrayana yang memiliki ritual (sadhana) meditasi Avalokitesvara. Di dalam sadhana tersebut kita membayangkan diri kita berubah menjadi Avalokitesvara, dimana hal ini melambangkan transformasi pikiran kita menjadi pikiran Avalokitesvara yang mewakili metta karuna. Kita memeditasikan diri kita sebagai Avalokitesvara yang membagi kebahagiaan kepada semua makhluk dan meneladani kebajikan Avalokitesvara.
Jadi kesimpulannya Mahayana sendiripun tidak mengajarkan umatnya untuk meminta-minta pada Avalokitesvara. Avalokitesvara adalah suatu teladan untuk melatih Ajaran Sang Buddha. Yang Arya Mahaguru Sheng-yen dalam bukunya Pedang Pusaka Kebijaksanaan juga memaparkan hal tersebut. Kalau kita melihat beberapa gambar atau patung Avalokitesvara, tampaklah Beliau sedang memegang tasbih.
Pertanyaannya tasbih tersebut dipergunakan untuk membaca atau mengulang nama siapakah? Pertanyaan ini adalah sebuah kung-an atau koan (pertanyaan yang membimbing menuju pencerahan pada Buddhisme Zen). Master Sheng-yen menjawabnya bahwa tasbih itu dipergunakan untuk membaca nama Avalokitesvara atau namanya sendiri. Hal ini mengajarkan bahwa kita harus bergantung pada diri kita sendiri, sebagaimana Avalokitesvara yang melafalkan namanya sendiri secara berulang-ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar