SUTRA MEMASUKI RAHIM/ SUTRA KELAHIRAN KEMBALI
Bhavasankrantisutra
Dalam kanon Taisho Tripitaka terdapat 3 terjemahan sutra ini, yakni:
Taisho Tripitaka 575:
佛說大方等修多羅王經
Foshuo
dafangdengxiuduoluowangjing
Penterjemah dari bahasa
Sansekerta ke bahasa Mandarin: YA. Bodhiruci (Putiliuzhi)
Taisho Tripitaka 576:
佛說轉有經
Foshuo
zhuanyoujing
Penterjemah dari bahasa
Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin YA. Fotuoshanduo
Taisho Tripitaka 577:
佛說大乘流轉諸有經
Foshuo
dacheng liuzhuanzhuyoujing
Penterjemah dari bahasa
Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin: YA. Yijing
Diterjemahkan dari
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh Ivan Taniputera.
Jasa pahala terjemahan ini dilimpahkan pada Empat Permata.
.
Dilarang menyebar luaskan sebagian atau seluruh terjemahan ini tanpa
seizin penerjemah. Jika telah mendapatkan izin untuk disebar-luaskan
maka tidak boleh menambah atau mengurangi apa pun yang terdapat di
terjemahan ini dari awal sampai akhir, dan linknya harus tetap
dicantumkan.
.
Kritik dan saran membangun untuk kesempurnaan terjemahan diterima dengan senang hati.
.
Adoration to all the
Buddha and Bodhisattvas!
Hormat pada semua Buddha
dan Bodhisattva!
1. Thus I have heard. The Blessed One once stayed at the Bamboo-grove called
Kalantakanivasa, which is situated in Rajagriha, with a large assembly composed
of Bhikshu numbering two hundred and fifty and innumerable Bodhisattva
Mahasattvas. Thereupon, the Blessed One who was surrounded by many hundred of
thousands of followers, beholding ahead, preached Dharma and explained
Brahmacarya (celibacy) which is blessing in the beginning, blessing in the
middle, blessing in the end, full of good significance, full of good letters
and syllables, unique quite perfect, quite pure and quite clean.
DEMIKIANLAH YANG TELAH KUDENGAR. Suatu ketika, Yang Terberkahi (Sang Buddha) sedang
berada di Hutan Bambu yang disebut Kalantakanivasa, Rajagriha. Beliau disertai
oleh sekumpulan besar bhikshu
berjumlah dua ratus lima puluh orang dan tak terhingga para bodhisattva mahasattva. Pada kesempatan
itu, Buddha yang dikelilingi oleh ratusan ribu siswanya, berpaling ke depan,
membabarkan Dharma dan menjelaskan
mengenai brahmacarya yang indah pada
bagian awalnya, indah pada bagian tengahnya, indah pada bagian akhirnya, sarat
dengan makna mendalam, indah pilihan tutur kata dan tata bahasanya, tiada
bandingannya, sempurna, serta tak bercela.
***
2. Then Bimbisara the king
of Magadha, an expert in arts, with all his royal pomp and grandeur and with
all royal forces, came out of Rajagrha the great city and arrived at the Bamboo
grove where the Blessed One was staying. On arriving, he bowed at the feet of
the Blessed One and walking around Him three times from left to right, stood in
a corner While standing there, Bimbisara the King of Magadha, the expert in
arts, asked the Blessed One thus: How, O Blessed One, does an action that has
been done, long after its accumulation is checked and it has disappeared,
present itself at the time of death and appear before the mind (manas); and how
is there no annihilation (avipransa) of actions when everything is empty?
Kemudian
Bimbisara, Raja Magadha, yang ahli dalam [berbagai cabang] kesenian, dengan
diiringi segenap kemegahan serta kemuliaan kerajaannya dan seluruh angkatan
perangnya, keluar dari Rajagriha - kota besar itu - dan tiba di Hutan Bambu;
tempat di mana Yang Terberkahi saat itu sedang membabarkan Dharma. Setibanya di sana, ia menyembah ke kaki Yang Terberkahi dan
mengelilinginya tiga kali searah jaruh jam, [lalu] berdirilah ia di suatu sisi.
Setelah itu, Bimbisara, Raja Magadha, yang ahli dalam [berbagai cabang]
kesenian, menanyakan pada Buddha, "Yang Terberkahi, bagaimana mungkin
suatu tindakan yang telah selesai dilakukan, lama setelah itu terjadi, dapat
muncul kembali dalam pikiran (manas)
seseorang saat kematiannya; dan mengapa buah perbuatan yang telah kita lakukan
tidak lenyap (avipransa) begitu saja,
padahal diajarkan bahwa semuanya adalah “kosong”?"
***
3. The Blessed One replied
to Bimbisara the king of Magadha, the expert in arts as follows: Take for
example, O King, a man, who while asleep, dreams that he was roving about with
some beautiful young woman of a city. When he wakes up from sleep, he may
remember that young woman. What do you think, O king? does that woman exist in
dream?
Yang
Terberkahi menjawab pada Bimbisara, Raja Magadha, yang ahli dalam [berbagai
cabang] kesenian, sebagai berikut, "Ambillah sebagai contoh, wahai raja!
Seorang pria, yang pada saat tidurnya bermimpi berjalan-jalan dengan beberapa
wanita muda yang cantik dari suatu kota. Ketika terjaga dari tidurnya, ia
barangkali masih terkenang pada para wanita muda tersebut. Bagaimanakah pendapat
Anda, wahai raja, apakah wanita dalam mimpinya itu benar-benar nyata?"
***
4. He said: no, Blessed
One.
Ia menjawab, " Tidak,
Yang Terberkahi."
***
5. The Blessed One said: What do you think, O king? Would
that man be considered wise who would cling to that woman (who appeared) in his
dream.
Yang
Terberkahi bertanya [pada Raja Bimbisara], "Bagaimanakah pendapat Anda,
wahai raja, apakah pria tersebut dikatakan bijaksana, apabila ia tergila-gila
pada wanita yang muncul dalam mimpinya tersebut?"
***
6. He said: No, Blessed One, And why so? Because the young
woman in the dream does not exist at all; not could she be got at; then how
could there be any roving about with her? And thus he becomes and object of
failure and fatigue.
Raja
Bimbisara menjawab, "Tidak, Yang Terberkahi. Mengapa demikian? Karena
wanita muda dalam mimpi itu tidak benar-benar ada. Mustahil untuk
sungguh-sungguh berjumpa dengannya. Bagaimana mungkin perjalanan bersama wanita
itu dianggap sebagai sesuatu yang nyata? Hanya rasa patah hati dan putus
asa-lah yang akan dialami pria tersebut.”
7. The Blessed One said: even so, O king, a foolish,
untaught, worldling, when he sees beautiful forms, becomes attached to them;
being attached to them, he begins to like them and after liking, he feels a
passion for them; and feeling passion he performs the action that springs from
the passion indignation and ignorance by means of body speech and mind: and
that action which is performed disappears. Disappearing, it does not go towards
the east, nor south, nor west,
nor
north, nor up, nor down, nor to the interemediate points.
Buddha,
Yang Terberkahi berkata, "Meskipun demikian, O, raja, seorang bodoh, yang
tidak memiliki wawasan kebijaksanan dan cenderung pada segala sesuatu yang
bersifat keduniawian; apabila melihat sesuatu yang elok dipandang, menjadi
melekat dan terikat padanya. Timbul rasa senang terhadap hal itu, yang kemudian
diikuti oleh bangkitnya hawa nafsu keinginan. Selanjutnya, karena dorongan hawa
nafsu keinginan tersebut dan dengan disertai oleh kebencian dan kebodohan, ia
melakukan berbagai tindakan; baik melalui tubuh fisik, ucapan maupun
pikirannya. Setelah selesai dilakukan, tindakan itu [kemudian] dikatakan
“lenyap.” Tetapi, kita tidak dapat mengatakan bahwa tindakan itu “lenyap” menuju
ke arah timur, selatan, barat, utara, atas, bawah, ataupun ke penjuru-penjuru
di antara [keenam] arah mata angin tersebut.
***
8.But at a later period later on, when the time of death
comes in and when the last consciousness disappears buy the exhaustion of one's
actions of similar kind, that action appears before the mind as the young woman
to a man who was asleep and was awakened from sleep.
Tetapi
beberapa waktu kemudian, saat kematian tiba, dan ketika kesadaran yang terakhir
lenyap karena matangnya karma
seseorang. [Kilasan] bayangan [segenap] tindakan [yang pernah dilakukannya] itu
muncul [kembali] dalam benaknya, bagaikan [kenangan] akan para wanita muda
dalam mimpi pria [yang telah disebutkan di atas].
***
9.So, O
king, the last consciousness disappears and the first consciousness associated
with rebirth is born either amongst gods, or men, or demons, or in the hells or
in the womb of a beasts or amongst pretas, And immediately after this first
consciousness disappears, O king a new series of thought belonging to that
(first consciousness) arise where the experience of ripening of the act is to
be enjoyed. There is, O king, nothing that goes from this world to another; but
death (cyutti) and rebirth (upapatti) take place.
Maka,
wahai raja, kesadaran terakhir lenyap, dan kesadaran pertama yang berkaitan
dengan tumimbal lahir terlahir di antara para dewa, manusia, asura, makhluk
penghuni neraka, di dalam rahim hewan buas, atau di antara kaum preta. Segera setelah kesadaran pertama
lenyap, wahai Raja, serangkaian pikiran baru yang merupakan bagian kesadaran
pertama itu timbul, di mana buah karma
perbuatan-perbuatan terdahulunya akan dialami orang itu. Oleh karenanya, wahai
Raja, tidak ada yang berlalu dari alam ini menuju ke [alam] lainnya, melainkan
kematian (cyutti) dan kelahiran
kembali-lah (upapatti) yang terjadi.
***
10.What is, O king, the disappearance of the last
consciousness that is known as "death" What the manifesting of the
first consciousness that is known as "rebirth". The last consciousness,
o king, when it ceases, does not go anywhere. The first consciousness, when it
arises, does not come from anywhere. And why so? Because they gave no reality.
So, O king, the last consciousness is itself of void, death of itself void,
action of itself void, first consciousness of itself void, rebirth of itself
void. And the inexhaustibility of actions comes to play. Immediately after the
disappearance of the first consciousness associated with rebirth, O king, an
uninterrupted new series of thought arises, where the experience of the
ripening of the act is to be enjoyed. So spoke the Blessed One. The Buddha
(sugata) the commander (sasta) having spoken in this way, aid as follows:
Wahai
Raja, lenyapnya kesadaran terakhir itulah yang dikenal dengan istilah
"kematian" [dan selanjutnya] munculnya kesadaran pertama itulah yang
dikenal sebagai "kelahiran kembali". Kesadaran terakhir, O, Raja,
jika lenyap, tidak pergi ke manapun jua. Kesadaran pertama, jika timbul, tidak
datang dari manapun jua. Mengapa demikian? Karena keduanya bukanlah sesuatu
yang nyata. Karena itu, O, Raja, kesadaran terakhir sendiri adalah sunya (kosong), kematian sendiri adalah sunya (kosong), tindakan/perbuatan
sendiri adalah sunya (kosong),
kesadaran pertama sendiri adalah sunya
(kosong), kelahiran kembali sendiri adalah juga sunya (kosong). Sementara itu, matangnya buah karma seseorang yang [sesungguhnya telah] mengambil peranan. Segera
setelah lenyapnya kesadaran pertama yang dihubungkan dengan kelahiran kembali,
O, Raja, bangkitlah suatu rangkaian pemikiran baru yang tak terputus, dimana
matangnya buah karma masa lampaunya
mulai dirasakan [dalam wujud berbagai peristiwa yang dialami orang itu].
Demikianlah yang telah disabdakan oleh Yang Terberkahi. Inilah yang diajarkan
oleh Buddha, Sang Pemimpin Dunia.
***
11.
All this is only a mane and established in name only (sanjnamatra). There is nothing capable of
speech apart from words.
Semua
ini hanyalah sekedar nama atau istilah (sanjnamatra)
belaka .Kendati demikian, tiada seorangpun yang dapat mengungkapkan atau
mengkomunikasikan sesuatu tanpa kata-kata.
***
12. By whatever particular names, particular things may be
called, they (the things) do not exist in them (those names) indeed; this is
what is known as thinghood (dharmata) of all things (dharam).
Nama
apapun yang dipergunakan untuk menyebut segala sesuatu, [sesungguhnya] tidaklah
mencerminkan kesejatian benda atau hal tersebut (bukanlah benda atau hal itu
sendiri), inilah yang dikenal sebagai kedemikianan (dharmata) segala sesuatu (dharam).
CATATAN: Istilah “meja,” tidaklah
mencerminkan meja itu sendiri. Ia adalah semata-mata sebuah nama. Orang Inggris
menyebutnya sebagai table dan orang
Jerman dengan Tisch.
***
13. The nature of the name (namata) is void of itself (naman).
The name does not exist in name Nameless are all things: bur they are
illuminated by names.
Dengan
demikian, hakekat sejati suatu nama atau istilah (namata) adalah kosong (naman).
Suatu nama [sebenarnya] tidaklah memiliki hakekat sejati. Segala sesuatu
sesungguhnya adalah tidak bernama, tetapi umat manusia menamai semuanya, demi
memudahkan penyebutannya.
CATATAN: “Meja” sesungguhnya adalah
sekedar nama, yang berasal dari perjanjian atau konsensus bersama (dalam wujud
kosa kata suatu bahasa) untuk menyebut benda itu sebagai “meja.” Meskipun semua
nama dan istilah itu tidak mencerminkan hakekat sejati suatu benda atau sifat,
namun tetap sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hati sebagai alat
mengkomunikasikan sesuatu.
***
14. These things are non existent, but born of imagination
(kalpana). That imagination if itself void by which the void things are
discriminated.
Lebih
jauh lagi, semua itu bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan terlahir dari
imaji-imaji (kalpana) [semata]. Imaji
tersebut, yang sesungguhnya juga kosong, diwujudkan dalam sikap membeda-bedakan
segala sesuatu.
***
15. That which is uttered by a man of correct perception that
"the eye see the form (rupa) is called Relative truth (samvrtisatya) in
the view of the world of false faith.
Inilah
yang dikatakan oleh seseorang dengan pandangan benar, bahwa: "indra
penglihatan yang melekat pada segenap wujud lahiriah (rupa) berada dalam cakupan Kebenaran Relatif (samvrtisatya), dimana [tingkatan kebenaran semacam] ini dianut oleh
orang yang masih berpandangan salah.
***
16. Where the leader (nayaka=Buddha) teaches that the
perception (darsana) arises by the aid
of a concatenation (of causes and conditions) the wise declare that it is the
upacarabhumi of the Absolute Truth.
Sang
Buddha mengajarkan bahwa persepsi (darsana)
timbul dengan dukungan rangkaian sebab dan akibat; orang bijaksana menyebutnya
sebagai upacarabhumi Kebenaran
Terunggul.
***
17. The eye sees not the form and the mind knows not dharmas;
This is the Absolute truth unto which the world reaches not.
Mata
tidak melekat pada [aneka] wujud lahiriah (rupa)
dan pikiran tidak melekat pada beraneka macam fenomena. Inilah Kebenaran
Terunggul yang tidak dipahami oleh umat awam.
***
18. Thus spoke the Blessed One, Bimbisara the king of
Magadha, the expert in arts, those Bodhisattvas and Bhikshus and the would
comprising gods, men, demons and angels, being pleased, greatly praised the
teaching of the Blessed One.
Demikianlah
yang disabdakan oleh Yang Terberkahi. Bimbisara - Raja Magadha yang menguasai
aneka cabang kesenian, para bodhisattva,
beserta para bhiksu, dewa, manusia,
asura, dan segenap makhluk suci, merasa terpuaskan. Mereka semua
sungguh-sungguh memuji ajaran yang baru saja dibabarkan oleh Yang Terberkahi.
***
Here ends the Noble
Bhavasakranti, a Mahayana Sutra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar