Kamis, 21 Februari 2013

PENGERTIAN KARMA YANG BENAR

PENGERTIAN KARMA YANG BENAR

Ivan Taniputera
21 Februari 2013




Dewasa ini banyak orang yang memiliki pengertian karma yang keliru. Seorang murid sebelum ujian tidak mau belajar dan ia mendapatkan nilai buruk. Kebetulan karena berasal dari keluarga Buddhis sewaktu ditegor orang tuanya, ia mengatakan, "Sudah karma saya mendapatkan nilai buruk." Kisah lain lagi adalah seorang gadis yang hamil di luar nikah. Ia lalu mengatakan, "Sudah karmaku hamil di luar nikah." Hal ini diungkapkan guna menutupi kesalahan diri sendiri, tanpa bersedia memahami hakikat bekerjanya karma. Tetapi apakah benar demikian pengertian karma?

Pertama-tama karma bukanlah fatalisme, namun karma juga bukan sesuatu yang acak atau random mutlak. Dengan demikian, memahami karma haruslah dari sudut pandang Jalan Tengah yang menghindari segenap pemikiran ekstrim. Karma masih mengizinkan adanya pilihan yang bebas. Di sinilah kehendak bebas manusia berperan. Artinya karma masih menyisakan ruang bagi kita untuk bergerak. Karma adalah ibaratnya dinding yang membatasi ruang gerak tersebut. Namun di dalam ruangan itu sendiri kita masih mempunyai serangkaian pilihan, yang bebas kita pilih. Hal yang terpenting karma bukanlah alat pembenaran diri.

Oleh karenanya, kita memiliki pilihan terbatas. Batasan-batasan itulah yang ditentukan oleh buah karma kita terdahulu. Kendati demikian, batasan itu sendiri juga masih mungkin mengalami perubahan, berdasarkan tindakan kita sekarang. Batasan itu mungkin meluas atau menyempit, tergantung perbuatan beserta upaya kita sendiri. Manusia memiliki akal budi, sehingga mampu menentukan apa yang baik dan buruk. Jika ia menolak menggunakan akal budinya, maka itu pun adalah pilihan, bukan karma.

Sehubungan dengan gadis yang dimabuk asmara sehingga hamil di luar nikah, ia tentunya memiliki akal budi yang mampu menimbang segenap perbuatan beserta konsekuensinya. Jikalau ia tidak mau menggunakan akal budinya tersebut, maka itu adalah pilihannya.  Anak yang tidak mau belajar tadi juga memiliki pilihan. Sang anak punya pilihan antara belajar dan tidak belajar. Ia menjatuhkan pilihannya pada tidak belajar. Tentunya masing-masing pilihan memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Inilah hukum sebab akibat. Setelah suatu pilihan dijatuhkan, konsekuensinya tidak dapat kita hindarkan. Inilah buah karma. Karma sendiri berarti "perbuatan." Setelah seorang anak tidak lulus ujian, dia pun masih memiliki pilihan, yakni mengubah perilaku malas belajarnya menjadi rajin belajar. Ia dapat mengikuti ujian berikutnya dengan belajar lebih tekun. Begitu pula seorang gadis yang hamil di luar nikah. Ia dapat melahirkan bayinya dan setelah itu menjalani kehidupannya kembali dengan baik. Ia dapat menjaga anaknya agar tidak mengalami seperti dirinya. Demikianlah, pilihan-pilihan itu ada. Tidak ada alasan menyerah begitu saja, karena sekali karma bukan fatalisme.

Menggunakan karma sebagai pembenaran diri justru akan mematikan perkembangan ke arah lebih baik. Manusia pada hakikatnya perlu terus belajar menjadi lebih baik.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar