HITUNG DAGANG DALAM PERKAWINAN
Artikel Dharma ke-45, April 2014
Ivan Taniputera
Ivan Taniputera
16 Agustus 2008, Semarang 01.06
Perkawinan
merupakan relasi yang unik dalam kehidupan manusia. Mengapa dikatakan
unik? Karena idealnya hanya melibatkan dua individu saja. Jadi ini
berbeda dengan relasi antar umat manusia yang lain, misalnya relasi
bisnis. Dalam relasi bisnis, pihak yang terlibat boleh lebih dari dua.
Namun dalam perkawinan, relasi yang ideal HANYA boleh melibatkan dua
orang saja. Bila ada pihak ketiga atau lebih, maka perkawinan akan
menjadi terguncang. Inilah uniknya perkawinan. Oleh karena sifatnya yang
unik ini, maka kita juga perlu mengulasnya dalam suatu kerangka
keunikan pula.
Dewasa ini, kita menyaksikan bahwa banyak perkawinan yang mengalami goncangan. Tentu saja banyak sekali alasannya, tetapi menurut saya kunci utama bagi penyebab goncangnya suatu perkawinan hanya terdapat dua sebab utama:
a.Pihak ketiga.
b.Diterapkannya hitung dagang dalam perkawinan.
Penyebab pihak ketiga sudah tidak perlu diulas lagi, karena telah jelas adanya. Untuk mengatasi gangguan pihak ketiga, masing-masing pasangan perlu mengembangkan apa yang namanya komitmen dan kesetiaan. Namun karena topik kita adalah hitung dagang dalam perkawinan, maka masalah pihak ketiga tidak akan kita ulas secara panjang lebar terlebih dahulu.
Dewasa ini, kita menyaksikan bahwa banyak perkawinan yang mengalami goncangan. Tentu saja banyak sekali alasannya, tetapi menurut saya kunci utama bagi penyebab goncangnya suatu perkawinan hanya terdapat dua sebab utama:
a.Pihak ketiga.
b.Diterapkannya hitung dagang dalam perkawinan.
Penyebab pihak ketiga sudah tidak perlu diulas lagi, karena telah jelas adanya. Untuk mengatasi gangguan pihak ketiga, masing-masing pasangan perlu mengembangkan apa yang namanya komitmen dan kesetiaan. Namun karena topik kita adalah hitung dagang dalam perkawinan, maka masalah pihak ketiga tidak akan kita ulas secara panjang lebar terlebih dahulu.
Jika
menilik namanya saja, maka hitung dagang ini melibatkan perhitungan
untung dan rugi. Perhitungan jenis ini hanya cocok dalam relasi bisnis
saja, tetapi tidak cocok bila diterapkan dalam perkawinan. Untuk
jelasnya saya akan mengemukakan contoh sebagai berikut. Seorang teman
datang pada saya untuk menanyakan masalah perkawinannya. Kebetulan ia
seorang wanita. Ia mengeluhkan bahwa suaminya tidak dapat bekerja,
sehingga ia yang harus mencukupi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, ia
menanyakan apakah sebaiknya bercerai saja. Tentu saja terhadap
pertanyaan semacam ini kita harus memikirkan jawabannya masak-masak.
Saya menanyakan, “Bukankah Anda seharusnya bangga?" Ia nampak bingung
dengan jawaban saya, “Bangga bagaimana?" Saya menjawab, “Bukankah dengan
berhasil menjadi tulang punggung keluarga Anda harusnya bangga?
Bukankah Anda beragama Buddha?" Memang kebetulan klien tersebut beragama
Buddha. Saya melanjutkan, “Dalam agama Buddha bukankah terdapat harapan
agar semua makhluk sejahtera batinnya? Apabila Anda telah menjadi
penopang dalam keluarga dan bahkan sanggup menghidupi suami Anda,
bukankah itu sama saja dengan menjadikan makhluk lain (dalam hal ini
suami Anda) berbahagia? Anda seharusnya bangga." Ia nampak terdiam
mendengarkan jawaban saya. Lalu setelah itu membantah, “Bukankah tugas
seorang suami adalah mencari nafkah bagi keluarganya?" Saya menjawab,
“Itu masalahnya! Anda telah menerapkan HITUNG DAGANG dalam keluarga.
Anda telah memilah-milah: INI TUGASMU DAN INI TUGASKU. Itulah sebabnya
maka perkawinan Anda terancam retak.
Apabila hitung
dagang sudah memasuki suatu perkawinan maka kehidupan masing-masing
individu akan menjadi tidak bahagia lagi. Perkawinan akan menjadi tak
ubahnya relasi bisnis, semua menuntut dan mempertimbangkan berdasarkan
konsep untung dan rugi. Suami atau isteri hendaknya tidak melakukan
sikap perhitungan semacam itu. Tugas atau pekerjaan apa yang bisa kita
pikul hendaknya kita laksanakan dengan senang hati. Jangan karena
menganggap bahwa itu tugas pasangan kita, maka kita melakukannya dengan
kekesalan atau mengeluh. Saya lalu melakukan pembacaan astrologi
terhadap suaminya. Ternyata hasilnya memang ia kurang pandai bekerja,
namun ia merupakan orang yang setia. Jadi setiap orang pasti ada
kelebihan dan kekurangannya.
Berdasarkan ajaran
agama Buddha, orang yang berhasil menikah tentu mempunyai ikatan karma
dari masa lampau. Ikatan itu bisa saja positif dan juga negatif. Saya
mengatakan pada wanita itu, bahwa kemungkinan pada masa lampau, ia
mempunyai hutang karma pada suaminya, sehingga kini ia harus
membayarnya. Jika ikatan karma ini diputus secara paksa pada kehidupan
sekarang, maka pada kehidupan selanjutnya, ikatan tersebut mungkin akan
tetap berlanjut. Sehingga perceraian tidaklah menunaikan masalah.
Ada pula orang yang mengeluhkan bahwa isterinya kurang pintar memasak. Ini adalah contoh bentuk hitung dagang yang lain lagi dalam perkawinan. Banyak suami merasa bahwa memasak adalah tugas isteri, sehingga ia harus melakukannya dengan baik. Tidak jarang masalah ini dapat menimbulkan persoalan besar dalam hubungan pernikahan.
Ada pula orang yang mengeluhkan bahwa isterinya kurang pintar memasak. Ini adalah contoh bentuk hitung dagang yang lain lagi dalam perkawinan. Banyak suami merasa bahwa memasak adalah tugas isteri, sehingga ia harus melakukannya dengan baik. Tidak jarang masalah ini dapat menimbulkan persoalan besar dalam hubungan pernikahan.
Berdasarkan
contoh-contoh di atas, hitung dagang merupakan sesuatu yang sangat
berbahaya apabila diterapkan dalam perkawinan. Semua pasangan adalah
hasil ikatan karma yang harus diterima dengan lapang dada. Dengan adanya
sikap saling menerima secara tulus, maka segalanya akan berlangsung
dengan baik. Jika suami kurang giat bekerja, maka isteri hendaknya
memberikan teladan yang baik atau dorongan semangat dengan tulus serta
halus. Jangan menggunakan bahasa yang kasar. Coba memikirkan bersama
pekerjaan apa yang sekiranya dapat dilakukan bersama. Bila isteri kurang
pandai memasak, maka juga hendaknya dibicarakan baik-baik. Jika memang
bukan bakatnya memasak maka tidak perlu dipaksakan. Semuanya hendaknya
diterima dengan lapang dada. Jangan terapkan hitung dagang dalam
perkawinan. Jangan memaksakan sesuatu. Malahan kita hendaknya bangga dan
berbahagia apabila pasangan kita berbahagia.
Meskipun demikian, hal ini tidaklah mencakup pelanggaran terhadap komitmen. Kita seharusnya tidak berpikir, “Biar saja pasangannya selingkuh agar ia bahagia." Hal ini berada di luar cakupan hitung dagang tadi. Selingkuh adalah pelanggaran terhadap komitmen, sehingga dapat disepadankan dengan tindakan kriminal. Membiarkan suatu perselingkuhan adalah tindakan yang tidak sehat dan harus dicari pemecahannya. Berselingkuh adalah tindakan yang sangat hina karena merupakan pelanggaran terhadap nilai kesetiaan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak budaya-budaya di masa lampau yang memberikan hukuman berat terhadap orang yang berselingkuh. Karyawan yang berselingkuh juga hendaknya tidak diperkerjakan. Apabila ia tidak sanggup setia terhadap pasangannya, bagaimana mungkin ia setia terhadap perusahaan.
Demikianlah sekelumit tulisan dari saya. Semoga bermanfaat. Semoga tulisan ini dapat menambah harmoni dalam kehidupan keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar