Praktik Dharma Menumbuhkan Cinta Kasih
Ivan Taniputera
25 Desember 2011
Praktik Dharma berikut ini cukup sederhana dan diambil dari Sutra Suvarnabhasottama (Jinguangmingjing). Salah satu bagian sutra tersebut mengisahkan mengenai seseorang bernama Jalavahana, yang merupakan kelahiran terdahulu Buddha Shakyamuni yang menyelamatkan 10.000 ekor ikan. Masih menurut Sutra Suvarnabhasottama, terdapat seorang Buddha bernama Ratnasikkhin, berikrar bahwa makhluk apapun yang mendengar namanya akan terlahir di alam dewa. Ketika itu, Jalavana yang penuh belas kasih menjumpai 10.000 ikan sedang sekarat. Beliau teringat ajaran mengenai menyebutkan nama Buddha tersebut dan menerapkannya pada 10.000 ekor ikan di atas. Hasilnya, ikan-ikan itu terlahir di alam dewa. Sebenarnya, intisari praktik Dharma di atas adalah menumbuhkan cinta kasih. Bayangkan jutaan, milyaran, dan bahkan tak terhingga makhluk-makhluk malang yang karena kebodohannya terlahir sebagai hewan. Dengan melafalkan nama Buddha Ratnasikkhin di atas, sehingga makhluk-makhluk tersebut mendengarnya, kita memancarkan cinta kasih dan berharap mereka bebas dari penderitaannya.
Saat mengunjungi rumah makan, kita kerap menjumpai makhluk-makhluk masih hidup yang tinggal menunggu ajalnya saja karena akan dimasak. Barangkali sebagian besar di antara kita jarang memikirkan betapa menderitanya mereka. Oleh karena itu, sedari sekarang pada merekalah kita memancarkan belas kasih kita. Kita berharap agar mereka dapat menuju Tanah Buddha Sukhavati. Kita dapat pula melafalkan nama Buddha Amitabha bagi mereka. Cinta kasih dewasa ini memang sangat langka dan mahal. Peperangan dan praktik bernuansa kebencian merebak ke mana-mana. Semoga bermanfaat.
Minggu, 25 Desember 2011
Praktik Dharma Menumbuhkan Cinta Kasih
Renungan Akhir Tahun Bagi Umat Buddha
Renungan Akhir Tahun Bagi Umat Buddha
Ivan Taniputera
25 Desember 2011
Tak terasa kita telah tiba pada penghujung tahun 2011. Serasa awal tahun 2011 baru kemarin. Waktu terus berjalan dan bahkan berlari tanpa kita sanggup menghentikannya. Hal ini selaras dengan prinsip anicca (anitya) yang diajarkan dalam Buddhadharma. Semuanya adalah tidak kekal, dan bahkan Dharma sendiri juga tidak kekal. Suatu saat Dharma juga akan musnah. Dalam beberapa Sutra Buddhis, Buddha Sakyamuni beberapa kali menekankan hal ini, sebagai contoh adalah Arya Candragarbha Pariprccha Sutra:
Lalu Sang Bhagava menjawab, “Baik sekali engkau menanyakannya guna melenyapkan keraguanmu. Dengarkanlah baik-baik dan aku akan menjelaskannya padamu. Setelah aku parinirvana, perenungan akan Dharma Sejati akan bertahan selama dua ribu tahun.” Kemudian bodhisattva Candragarbha bertanya, “Wahai Bhagava, bagaimanakah Dharma Sejati ini akhirnya akan lenyap? Karena alasan apakah ia mengalami kemerosotannya?, dan siapakah yang akan menyebabkannya musnah?”
Berdasarkan sedikit kutipan di atas, Dharma juga tidak kekal. Memasuki tahun 2012 berarti bertambah pula usia Dharma. Berikut ini adalah kutipan lain dari Udana 6.3 yang mengungkapkan prinsip ketidak-kekalan:
Apa yang dulunya ada, kemudian tidak lagi;
Apa yang dulunya tidak ada, kemudian ada;
Apa yang dulunya ada, tidak akan ada lagi;
Dan sekarangpun tidak ada.
Kendati kita hidup dalam ketidak-kekalan, bukan berarti kita tidak perlu melakukan apa-apa. Justru karena hidup kita ini terbatas, maka kita hendaknya senantiasa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Jangan sampai kita meninggalkan jejak yang tidak bajik (akusala) di muka bumi ini. Jika tidak dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama, kita hendaknya tidak merugikan atau membuat makhluk lain menderita, karena hal itu tidak akan membawa kebahagiaan:
Jika kamu takut sakit, jika kamu tidak menyukai rasa sakit,
Jangan melakukan perbuatan jelek secara terbuka atau secara tersembunyi.
Jika kamu sudah melakukan perbuatan jelek atau melakukannya sekarang,
Kamu tidak akan bisa lolos dari rasa sakit, walaupun kamu mencoba melarikan diri. (Udana 5.4)
Orang yang tidak terkendali menusuk orang dengan kata-kata
Seperti halnya gajah perang ditusuk anak panah.
Waktu mendengar kata-kata kasar diucapkan padanya
Seorang bhikkhu harus menahannya tanpa rasa benci. (Udana 4.8)
Siapa yang menyakiti makhluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan,
Walaupun dia sendiri mencari kebahagiaan,
Dia tidak mendapatkannya sesudah kematian.
Siapa yang tidak melukai makhluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan,
Sementara dia sendiri mencari kebahagiaan,
Dia mendapatkannya sesudah kematian (Udana 2.3)
Oleh karenanya, jelas sekali bahwa menyakiti makhluk lain, baik secara fisik, ucapan, maupun pikiran tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Bahkan itu akan menjadi semacam belenggu yang mengikat kita pada ketidak-bahagiaan. Seorang siswa Buddha sejati akan memahami hal ini dan bersikap waspada terhadap segenap tindak-tanduknya. Jika yang ditabur adalah kebajikan, kebajikan pulalah yang akan dituai. Sebaliknya, bila yang ditabur adalah ketidak-bajikan, ketidak bajikanlah yang akan dituai.
Kita menyaksikan bahwa dewasa ini, dunia sungguh miskin cinta kasih. Peperangan dan kejahatan terhadap kemausiaan meletus di mana-mana. Kita saksikan di bahwa di sebuah negara yang dilanda gelombang anarkis, bom meledak di mana-mana dan merengut banyak korban jiwa. Ini benar-benar merupakan tragedi terhadap kemanusiaan dan semua makhluk. Kendati keberadaan umat manusia di muka bumi semakin tua, tetapi nafsu kebencian tetap ada. Manusia belum juga belajar dari masa lalu. Umat Buddha seharusnya menjadi saluran cinta kasih dan persahabatan di muka bumi, terhadap semua penganut agama, suku, dan golongan.
Meskipun Dharma telah bertambah lagi usianya seiring berlalunya tahun. Masalah sektarian masih banyak membelenggu umat Buddha. Bahkan tidak jarang sekat-sekat sektarian ini malah menciptakan kebencian di antara umat Buddha sendiri. Bagaimana mungkin umat Buddha menjadi saluran cinta kasih dan persahabatan, jika kebencian antar sekte masih merebak di antara mereka sendiri? Dengan demikian, sesama umat Buddha hendaknya dapat meredakan semangat sektarian ini saling bergandengan tangan. Kita patut mengakui bahwa di masing-masing aliran terdapat perbedaan ajaran. Tetapi perbedaan ini hendaknya tidak menjadi halangan dalam mempersatukan umat Buddha. Perpecahan itu sendiri tidaklah ada gunanya. Kendi atau tempat air yang sudah pecah akan dibuang ke tempat sampah. Dengan demikian, kita patut membangkitkan semangat cinta kasih dan persatuan dalam sanubari masing-masing dan menghindarkan perpecahan sektarian.
Umat Buddha juga hendaknya senantiasa menaburkan ajaran kepemimpinan yang baik, agar negeri kita menjadi makin sejahtera. Salah satu teladan kepemimpinan yang mulia terdapat dalam Damamuka Nidana Sutra (Sutra of the Wise an Foolish). Di dalamnya terdapat seorang raja yang rakyatnya menderita kelaparan. Sang raja kemudian mengorbankan dirinya agar dapat terlahir sebagai ikan raksasa demi mengenyangkan rakyatnya. Seorang pemimpin yang baik bukanlah sosok yang selalu ingin dibenarkan, diagungkan, dihormati, disembah, dan lain sebagainya. Menjadi pemimpin berarti berkorban dan hal ini telah gamblang dijelaskan dalam ajaran Hyang Buddha. Menjadi pemimpin bukan berarti “mengambil,” melainkan “memberi.” Dengan demikian, prinsip inilah yang hendaknya ditaburkan oleh umat Buddha. Menjadi pemimpin perlu mendengar aspirasi rakyat dan bukannya menutup telinga terhadap apa yang dibutuhkan rakyat. Mendengar juga bukan berarti hanya mendengar, melainkan menciptakan kebaikan bagi seluruh rakyat.
Sebagai penutup, marilah kita mengingat pula bahwa Dharma hanya bermanfaat bila kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma bukanlah alat berdebat atau adu argumentasi. Jika Dharma hanya menjadi penghambat jalan kita menuju kebahagiaan, maka itu akan menjadi adharmik. Karena tulisan ini dibuat pada saat saudara-saudara yang beragama Kristen dan Katolik sedang merayakan Hari Natal, maka izinkanlah saya mengucapkan Selamat Natal bagi yang merayakannya. Semoga tahun yang baru ini mendatangkan kebahagiaan bagi kita dan semua makhluk.
Daftar Pustaka:
Anggawati, Lanny & Cintiawati, Wena (penerjemah). Kitab Suci Udana: Khotbah-khotbah Inspirasi Buddha, Vidyasena, 1995.
Nattier, Jan. Once Upon A Future Time: Studies in a Buddhist Prophecy of Decline, Asian Humanities Press, 1991
The Saddharma Pundarika Sutra.
Ivan Taniputera
25 Desember 2011
Tak terasa kita telah tiba pada penghujung tahun 2011. Serasa awal tahun 2011 baru kemarin. Waktu terus berjalan dan bahkan berlari tanpa kita sanggup menghentikannya. Hal ini selaras dengan prinsip anicca (anitya) yang diajarkan dalam Buddhadharma. Semuanya adalah tidak kekal, dan bahkan Dharma sendiri juga tidak kekal. Suatu saat Dharma juga akan musnah. Dalam beberapa Sutra Buddhis, Buddha Sakyamuni beberapa kali menekankan hal ini, sebagai contoh adalah Arya Candragarbha Pariprccha Sutra:
Lalu Sang Bhagava menjawab, “Baik sekali engkau menanyakannya guna melenyapkan keraguanmu. Dengarkanlah baik-baik dan aku akan menjelaskannya padamu. Setelah aku parinirvana, perenungan akan Dharma Sejati akan bertahan selama dua ribu tahun.” Kemudian bodhisattva Candragarbha bertanya, “Wahai Bhagava, bagaimanakah Dharma Sejati ini akhirnya akan lenyap? Karena alasan apakah ia mengalami kemerosotannya?, dan siapakah yang akan menyebabkannya musnah?”
Berdasarkan sedikit kutipan di atas, Dharma juga tidak kekal. Memasuki tahun 2012 berarti bertambah pula usia Dharma. Berikut ini adalah kutipan lain dari Udana 6.3 yang mengungkapkan prinsip ketidak-kekalan:
Apa yang dulunya ada, kemudian tidak lagi;
Apa yang dulunya tidak ada, kemudian ada;
Apa yang dulunya ada, tidak akan ada lagi;
Dan sekarangpun tidak ada.
Kendati kita hidup dalam ketidak-kekalan, bukan berarti kita tidak perlu melakukan apa-apa. Justru karena hidup kita ini terbatas, maka kita hendaknya senantiasa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Jangan sampai kita meninggalkan jejak yang tidak bajik (akusala) di muka bumi ini. Jika tidak dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama, kita hendaknya tidak merugikan atau membuat makhluk lain menderita, karena hal itu tidak akan membawa kebahagiaan:
Jika kamu takut sakit, jika kamu tidak menyukai rasa sakit,
Jangan melakukan perbuatan jelek secara terbuka atau secara tersembunyi.
Jika kamu sudah melakukan perbuatan jelek atau melakukannya sekarang,
Kamu tidak akan bisa lolos dari rasa sakit, walaupun kamu mencoba melarikan diri. (Udana 5.4)
Orang yang tidak terkendali menusuk orang dengan kata-kata
Seperti halnya gajah perang ditusuk anak panah.
Waktu mendengar kata-kata kasar diucapkan padanya
Seorang bhikkhu harus menahannya tanpa rasa benci. (Udana 4.8)
Siapa yang menyakiti makhluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan,
Walaupun dia sendiri mencari kebahagiaan,
Dia tidak mendapatkannya sesudah kematian.
Siapa yang tidak melukai makhluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan,
Sementara dia sendiri mencari kebahagiaan,
Dia mendapatkannya sesudah kematian (Udana 2.3)
Oleh karenanya, jelas sekali bahwa menyakiti makhluk lain, baik secara fisik, ucapan, maupun pikiran tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Bahkan itu akan menjadi semacam belenggu yang mengikat kita pada ketidak-bahagiaan. Seorang siswa Buddha sejati akan memahami hal ini dan bersikap waspada terhadap segenap tindak-tanduknya. Jika yang ditabur adalah kebajikan, kebajikan pulalah yang akan dituai. Sebaliknya, bila yang ditabur adalah ketidak-bajikan, ketidak bajikanlah yang akan dituai.
Kita menyaksikan bahwa dewasa ini, dunia sungguh miskin cinta kasih. Peperangan dan kejahatan terhadap kemausiaan meletus di mana-mana. Kita saksikan di bahwa di sebuah negara yang dilanda gelombang anarkis, bom meledak di mana-mana dan merengut banyak korban jiwa. Ini benar-benar merupakan tragedi terhadap kemanusiaan dan semua makhluk. Kendati keberadaan umat manusia di muka bumi semakin tua, tetapi nafsu kebencian tetap ada. Manusia belum juga belajar dari masa lalu. Umat Buddha seharusnya menjadi saluran cinta kasih dan persahabatan di muka bumi, terhadap semua penganut agama, suku, dan golongan.
Meskipun Dharma telah bertambah lagi usianya seiring berlalunya tahun. Masalah sektarian masih banyak membelenggu umat Buddha. Bahkan tidak jarang sekat-sekat sektarian ini malah menciptakan kebencian di antara umat Buddha sendiri. Bagaimana mungkin umat Buddha menjadi saluran cinta kasih dan persahabatan, jika kebencian antar sekte masih merebak di antara mereka sendiri? Dengan demikian, sesama umat Buddha hendaknya dapat meredakan semangat sektarian ini saling bergandengan tangan. Kita patut mengakui bahwa di masing-masing aliran terdapat perbedaan ajaran. Tetapi perbedaan ini hendaknya tidak menjadi halangan dalam mempersatukan umat Buddha. Perpecahan itu sendiri tidaklah ada gunanya. Kendi atau tempat air yang sudah pecah akan dibuang ke tempat sampah. Dengan demikian, kita patut membangkitkan semangat cinta kasih dan persatuan dalam sanubari masing-masing dan menghindarkan perpecahan sektarian.
Umat Buddha juga hendaknya senantiasa menaburkan ajaran kepemimpinan yang baik, agar negeri kita menjadi makin sejahtera. Salah satu teladan kepemimpinan yang mulia terdapat dalam Damamuka Nidana Sutra (Sutra of the Wise an Foolish). Di dalamnya terdapat seorang raja yang rakyatnya menderita kelaparan. Sang raja kemudian mengorbankan dirinya agar dapat terlahir sebagai ikan raksasa demi mengenyangkan rakyatnya. Seorang pemimpin yang baik bukanlah sosok yang selalu ingin dibenarkan, diagungkan, dihormati, disembah, dan lain sebagainya. Menjadi pemimpin berarti berkorban dan hal ini telah gamblang dijelaskan dalam ajaran Hyang Buddha. Menjadi pemimpin bukan berarti “mengambil,” melainkan “memberi.” Dengan demikian, prinsip inilah yang hendaknya ditaburkan oleh umat Buddha. Menjadi pemimpin perlu mendengar aspirasi rakyat dan bukannya menutup telinga terhadap apa yang dibutuhkan rakyat. Mendengar juga bukan berarti hanya mendengar, melainkan menciptakan kebaikan bagi seluruh rakyat.
Sebagai penutup, marilah kita mengingat pula bahwa Dharma hanya bermanfaat bila kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma bukanlah alat berdebat atau adu argumentasi. Jika Dharma hanya menjadi penghambat jalan kita menuju kebahagiaan, maka itu akan menjadi adharmik. Karena tulisan ini dibuat pada saat saudara-saudara yang beragama Kristen dan Katolik sedang merayakan Hari Natal, maka izinkanlah saya mengucapkan Selamat Natal bagi yang merayakannya. Semoga tahun yang baru ini mendatangkan kebahagiaan bagi kita dan semua makhluk.
Daftar Pustaka:
Anggawati, Lanny & Cintiawati, Wena (penerjemah). Kitab Suci Udana: Khotbah-khotbah Inspirasi Buddha, Vidyasena, 1995.
Nattier, Jan. Once Upon A Future Time: Studies in a Buddhist Prophecy of Decline, Asian Humanities Press, 1991
The Saddharma Pundarika Sutra.
Langganan:
Postingan (Atom)